by

Zonasi Menjawab Tantangan Perbaikan Pemerataan Pendidikan

MARGOPOST.COM | JAKARTA –  Sesuai Permendikbud No.14 tahun 2018, kebijakan zonasi sekolah menjadi langkah konkret pemerintah untuk memeratakan kualitas pendidikan di setiap sekolah, memangkas kastanisasi sekolah, ketimpangan daya tampung sekolah. Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) kembali dihelat siang ini, 18 Juli 2018, di Ruang Serbaguna Roeslan Abdulgani, Kemenkominfo. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Hamid Muhammad, Anggota Komisioner Ombudsman RI Ahmad Suandi, dan Anggota Komisi X DPR RI Esti Wijayanti hadir sebagai narasumber utama.

FMB9 kali ini mengusung tema ‘Zonasi sebagai strategi pemerataan akses dan mutu pendidikan’. Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Rosarita Niken Widiastuti saat membuka acara mengatakan, “Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selalu berupaya memberikan keadilan dan pemerataan, oleh karena itu zonasi diberlakukan untuk membuat pemerataan sebagai upaya mencerdaskan bangsa” ungkapnya di depan puluhan awak media.

Mendikbud Muhadjir Effendy menjelaskan bahwa kehadiran sistem zonasi sekolah sesuai Permendikbud Nomor 14 tahun 2018 bertujuan melakukan pemerataan pendidikan. Dirinya menyebutkan, selama ini marak terjadi kastanisasi dan favoritisme sekolah. Seringkali paradigma masyarakat tergelincir pada keharusan memasukkan buah hatinya ke sekolah yang favorit. Paradigma ini akhirnya memunculkan kecemburuan karena ada anak yang tidak sekolah di sekolah favorit. “Pada dasarnya tidak boleh ada favoritasisme, revitalisasi, eksklusif, dan diskriminasi yang dimiliki pelayanan publik, termasuk dalam lembaga pendidikan” jelasnya.

Arah kebijakan zonasi menurut Muhadjir bertujuan untuk mendorong kreativitas pendidik dalam kelas heterogen, mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik, menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah negeri, membantu analisis perhitungan kedudukan dan distribusi guru, meningkatkan akses layanan pendidikan pada kelompok rentan sesuai PP Nomor 66 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, meningkatkan keragaman peserta didik di sekolah, mencegah penumpukan SDM berkualitas dalam satu wilayah, mendorong Pemerintah Daerah dalam pemerataan kualitas pendidikan, dan membantu Pemerintah memberikan bantuan tepat sasaran. Dari 20% APBN yang dianggarkan untuk Pendidikan, 64% nya digelontorkan untuk daerah. Peran Pemerintah Daerah menjadi kunci dalam memastikan layanan Pendidikan yang merata dan berkualitas.

Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini mengatakan kebijakan zonasi merupakan sebuah melakukan sistem reformasi sekolah. Ada beberapa peraturan dalam zonasi sekolah. Pertama, sistem ini mengatur pemerataan guru dan sistem jabatan. Jabatan kepala sekolah nantinya merupakan jenjang karir seorang guru. Jadi tidak ada lagi jabatan kepala sekolah yang datang secara tiba-tiba.

Berdasarkan hasil ‘blusukan’ Muhadjir, masih ditemukan ketimpangan guru di berbagai daerah. Masih ada sekolah yang hanya memiliki satu PNS yakni kepala sekolahnya saja. Di sisi lain, ada sekolah yang justru kelebihan guru. Permasalahannya guru tersebut sudah ada di zona nyaman dan tidak ingin dipindahkan, akhirnya muncul lah penambahan kelas yang tidak berdasar agar jumlah guru seimbang dengan jumlah murid. “Saat ini perlu ada rotasi guru dan kepala sekolah. Maksimum 5 guru ada di satu sekolah hanya maksimal 5 tahun. Semua guru harus pernah mengalami mengajar di wilayah 3T. Kita tidak boleh mendeskriminasi, inilah janji Presiden Jokowi terkait revolusi mental. ” tegas Muhadjir.

Peraturan zonasi yang kedua ialah penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang konkret. Jumlah murid sesudah sistem zonasi berlaku dapat diketahui sebelum masa pendaftaran sekolah dibuka. “Kita tidak akan menerima siswa SMP, kecuali sekarang sudah duduk di kelas 6 SD” tuturnya. Ketiga, akan ada pemerataan jumlah murid dan guru di setiap daerah. Keuntungannya, setiap anak wajib mengenyam belajar 9 tahun tanpa takut akan kehabisan bangku sekolah. “Jika sistem belajar 9 tahun, maka tidak ada yang tidak lulus” paparnya.

Muhadjir menjelaskan pendidikan sebagai salah satu public goods perlu peningkatan pelayanan publik. “Negara sudah memiliki standarisasi pendidikan, sebenarnya tidak ada masalah saat masyarakat lari ke swasta. Justru, sekolah swasta harus didorong dan berikan keleluasaan” ucap Muhadjir.

Muhadjir mengatakan sekolah swasta nantinya akan mendapatkan tawaran untuk menjadi bagian zonasi, tapi harus mengikuti peraturan zonasi. Swasta dapat menjadi pilihan yang baik pula bagi masyarakat. Meskipun tidak ada sekolah unggulan, kompetisi yang dibentuk nantinya diumpamakan Muhadjir akan seperti liga Inggris, maka siapapun dapat menjadi juara tanpa diprediksi.

Muhadjir berharap nantinya setiap anak dapat lebih terpacu ketika memiliki heterogenitas di kelas. Menjadi tantangan bagi guru untuk semakin terpacu dan profesional. Dirjen Dikdasmen Hamid Muhammad juga mengungkapkan bahwa saat ini Direktorat Dikdasmen sudah memiliki program afirmasi untuk membantu permasalahan zonasi yakni menyelesaikan blank spot. Nantinya, pembagian wilayah akan memudahkan tidak ada kekosongan sekolah karena tidak ada murid.

Temuan Ombudsman terkait dampak positif sistem zonasi ialah bukan hanya menghapus ketidakadilan, tapi juga menjauhkan praktik korupsi dan segregasi. Ombudsman melaporkan adanya praktik KKN oleh politisi yang masih merajalela di berbagai daerah.  “Tahun lalu ada perjanjian politik antara politisi dengan pihak online sekolah. Artinya anak anak politisi masih mendapat nilai tertinggi di database online” jelasnya.

Senada dengan itu, sistem zonasi dinilai Anggota Komisi X DPR RI Esty Wijayanti lebih baik. Sejauh ini, Esty mengatakan tidak ada kepala sekolah yang merasa keberatan dengan sistem zonasi. Bersamaan dengan diberlakukannya sistem ini, nantinya tidak ada lagi guru yang merasa guru terbaik saat mengajar di sekolah favorit. Selain itu, Muhadjir menambahkan, melalui sistem zonasi maka ada upaya mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik. “Ini terkait dengan pemahaman Tri Pusat Pendidikan. Di mana, terselenggaranya pendidikan terhadap anak merupakan tanggung jawab keluarga, sekolah, dan masyarakat. / Ratu.-

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *