by

Keberpihakan dan Pembiayaan yang Kian Deras

MARGOPOST.COM  | — Rendahnya kredit macet UMKM menunjukkan bahwa sektor itu sangat disiplin dalam membayar kewajiban angsuran mereka.

Kehadiran UMKM di Indonesia memiliki peran penting. Sebab, UMKM menjadi salah satu sektor unggulan dalam menopang perekonomian Indoneaia. Wajar saja keberpihakan ke sektor ini patut tetap dipertahankan untuk terus mendukung pengembangannya.

Indikasi dari keberpihakan itu bisa terlihat dari data Bank Indonesia. Hingga Desember 2018, total kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sudah mencapai Rp970 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnnya sebesar 9,9% atau year on year (yoy).

Tak dipungkiri, sebagian besar pembiayaan kredit ke sektor UMKM itu berasal dari sejumlah bank pelat merah, dan pemberian kredit ke sektor usaha ‘wong cilik’ menunjukkan tren yang terus meningkat.

BRI misalnya, sepanjang 2018 telah menyalurkan kredit ke sektor itu mencapai Rp645,7 triliun, atau setara dengan 76,5% dari total penyaluran kreditnya. Porsi sebesar itu naik dibandingkan periode yang sama 2017 sebesar 75,6%.

Wajar saja nilai penyalurannya cukup besar ke sektor itu. Pasalnya, bank ini memang didedikasikan untuk penopang sektor pemberdayaan dan mengembangkan ekonomi kerakyatan. Bahkan, bank pelat merah itu punya ambisi, yakni portopolio penyaluran kredit UMKM bisa mencapai 80% dari total kredit dalam beberapa tahun ke depan.

Begitu juga dengan Bank Mandiri. Bank dengan kode emiten BMRI itu telah menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) sebesar Rp17,5 triliun sepanjang 2018. Tahun ini, bank BUMN itu berencana menyalurkan KUR sebesar Rp25 triliun.

Bagaimana dengan Bank Negara Indonesia (BNI)? Penyaluran kredit bank itu mirip-mirip dengan Bank Mandiri. Pada 2018, BNI telah menyalurkan KUR Rp15,99 triliun dengan 147.691 penerima. Tahun ini, bank tersebut berencana mengalokasikan pembiayaan KUR sebesar Rp16 triliun.

Menurut data Kementerian Koordinator Perekonomian, pelaku usaha kategori UMKM yang menikmati fasilitas KUR sejak pertama kali diluncurkan pemerintah pada 2015 hingga 2018 mencapai 13,8 juta pelaku usaha.

Pelaku Usaha yang Prudent

Yang patut diapresiasi dari kinerja sektor UMKM, ternyata mereka merupakan pelaku usaha yang sangat prudent. Indikator itu bukan hanya untuk memuja, tapi itulah realitasnya.

Ini terkonfirmasi dari pernyataan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir. Kondisi tersebut, tuturnya, tercermin dari tingkat rasio kredit macet (non performing loan/ NPL) KUR yang sampai dengan 2018 hanya sebesar 1%.

“Rendahnya kredit macet ini menunjukkan bahwa sektor UMKM memang sangat disiplin dalam membayar kewajiban angsuran mereka,” katanya, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan di Jakarta, pekan ini

Besarnya pembiyaan ke sektor UMKM itu adalah wajar saja. Dan, itu merupakan bentuk keberpihakan ke sektor lini usaha yang menyentuh rakyat banyak. Bayangkan, tercatat sebanyak 61,65 juta pelaku usaha yang masuk kategori UMKM berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, atau memberikan sumbangan 60% PDB (Produk Domestik Bruto) nasional.

Bila dibedah lebih jauh lagi, dari total lini usaha itu, yang masuk katagori usaha mikro sebanyak 60,8 juta, usaha kecil (731.047) dan usaha menengah (56.511). Dari sisi serapan tenaga kerja, sektor UMKM serapannya juga luar biasa, yakni sebanyak 112,8 juta orang. Artinya, kontribusi sektor ini dalam hal lapangan pekerjaan sangat besar. Perinciannya, dari usaha mikro sebanyak 103,8 juta orang, usaha kecil 5,4 juta orang, dan katagori usaha menengah sebanyak 3,5 juta orang.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana prospek sektor UMKM di tahun politik ini? Diyakini sektor ini merupakan lini usaha yang sangat tahan banting dalam menghadapi situasi apapun meskipun sejumlah pelaku usaha menyakini tantangan yang dihadapi pada 2019 tentu tidak lebih mudah dibandingkan sebelumnya.

Namun demikian, dalam konteks daya tahan, sejarah pernah mencatat, di tengah krisis ekonomi yang pernah menerpa negara ini, sektor UMKM merupakan sektor yang tetap menggeliat meskipun banyak korporasi menengah atas yang terpuruk.

Alokasi Semakin Besar

Oleh karena itu, rencana pemerintah untuk lebih memperbesar alokasi pembiyaan kredit ke sektor itu tentu patut diapresiasi. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memasukkan sektor UMKM sebagai bagian satu dari lima program prioritas lembaga itu pada tahun ini.

“Kami [OJK] akan terus berusaha memperluas penyediaan akses keuangan bagi UMKM dan masyarakat kecil di daerah terpencil yang belum terlayani lembaga keuangan formal,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) 2019 belum lama ini.

Dari pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK tentu memberikan angin segar dan optimisme bagi pelaku usaha kelas UMKM dalam menghadapi tahun ini. Ada banyak pekerjaan rumah yang tetap harus diperbaiki baik dari sisi regulasi maupun internal dari pelaku usaha UMKM tersebut.

Dari sisi regulasi, misalnya, kebijakan Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia No. 17/12/PBI/2015 berkaitan dengan kewajiban pemenuhan rasio kredit kepada UMKM sebesar 20% belum benar-benar terpenuhi, terutama bank-bank kelas menengah.

Meskipun secara umum, seperti dikatakan Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto, secara industri kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia itu sudah terpenuhi. Dia mengakui, ada beberapa bank yang masih belum mencapai batas 20% tersebut.

“Oleh karena itu, Bank Indonesia berencana mengevaluasi kebijakan pemenuhan rasio kredit kepada UMKM sebesar 20% dari total kredit bank itu. Ke depan, kami akan mencari solusi agar bank bisa memenuhi aturan tersebut.”

Apa yang akan dievaluasi Bank Indonesia dengan beleid PBI itu? Erwin tidak memperinci lebih jauh lagi. Tapi, dia memberikan sinyal bahwa kebijakan itu akan diperlonggar dengan juga memberikan prioritas pelaku usaha yang berorientasi ekspor. “Nanti kami akan evaluasi. Sebentar lagi, [kebijakan itu keluar],” tutur Erwin.

Yang jelas, komitmen pemerintah terhadap sektor UMKM sangat jelas, termasuk masalah pembiayaannya. Dari sisi pelaku UMKM tentu diharapkan juga segera memperbaiki diri termasuk segera adaptasi berkaitan dengan lanskap lingkungan usaha yang sudah berubah, termasuk adanya disrupsi digital.

Keterbatasan yang masih laten menghinggapi pelaku UMKM seperti keterbatasan SDM, akses ke sumber daya produktif, rendahnya kemampuan riset, dan legalitas harus segera dibenahi.

Bila itu semua bisa diminimalisir, mimpi UMKM untuk go internasional, bahkan sumbangsih bagi PDB bisa semakin besar lagi, bukan lagi sebuah mimpi. Tentu tetap perlu kerja keras dan semua pemangku kepentingan—pelaku usaha dan pemerintah– harus saling bahu membahu menuju mimpi itu.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *