by

Denni Purbasari: Jangan Melihat Utang secara Terpotong-potong

MARGOPOST.COM | JAKARTA – Utang pemerintah memang selalu menjadi topik gurih yang digoreng apalagi menjelang pemilihan presiden. Informasi yang disebarkan seringkali sepotong-sepotong, ditambah dengan kata-kata yang membuat cemas masyarakat.

“Sebenarnya, politisasi atau tidak, itu irrelevant dengan tugas kami di KSP (Kantor Staf Presiden). Tetapi, kami memantau diskusi yang berkembang di masyarakat tentang utang ini. Memang banyak yang keliru, yang membuat masyarakat cemas, atau parno tentang utang kita,” kata Denni Puspa Purbasari, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, yang membidangi kajian dan pengelolaan isu-isu ekonomi strategis, dalam program Prime Talk di MetroTV, Senin, 28 Januari 2019.

Informasi sepotong yang disodorkan ke masyarakat salah satunya tentang naiknya utang pemerintah. Di era Presiden SBY, utang pemerintah hanya Rp2.608,8 triliun, sedangkan di era Presiden Jokowi mencapai Rp4.418,3 triliun. Ini kemudian dikatakan mengkhawatirkan. Padahal, wajar sekali kalau semakin besar suatu negara, akan semakin besar utangnya.

“Sangat normal. Pola seperti ini bisa kita amati di tingkat individu, rumahtangga, maupun perusahaan. Orang kaya utangnya lebih besar dibandingkan orang miskin, perusahaan besar utangnya lebih besar daripada perusahaan kecil,” jelas Denni, yang alumnus Department of Economics, University of Colorado at Boulder itu.

Sebagai catatan, PDB Indonesia tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp14.835,3 triliun, naik dari Rp10.542 triliun pada tahun 2014.

Denni menambahkan, berbahaya atau tidaknya utang pemerintah pada perekonomian tidak bisa dinilai dari nominalnya semata. “Ada beberapa indikator yang mesti dicermati, seperti rasionya terhadap PDB, pertumbuhannya, kemampuan bayarnya, dan alokasinya; apakah untuk kegiatan produktif atau konsumtif,” ujarnya.

Utang masih sangat aman

met3

Dengan PDB sebesar Rp 14.835,3 triliun, rasio utang Indonesia terhadap PDB saat ini mencapai 30%. Rasio ini masih sangat jauh di bawah batas yang dipatok oleh undang-undang, yakni maksimal 60% dari PDB. Artinya, masih sangat aman bagi perekonomian.

Dibandingkan dengan negara jiran, rasio utang Indonesia juga paling rendah. Malaysia, misalnya, memiliki rasio utang terhadap PDB 51,5%, Thailand 42%, Singapura 110%, dan Vietnam 62%.

“Saya pastikan, secara teknokrasi, utang kita itu prudent, sangat konservatif, dari aspek jumlah, alokasinya, dan juga kemampuan bayarnya,” imbuh akademisi Universitas Gadjah Mada tersebut.

Denni memberikan ilustrasi, seseorang punya (potensi) penghasilan Rp100 juta per tahun, kemudian mengambil kredit motor senilai Rp30 juta, yang dilunasi selama beberapa tahun. Secara logika, tentu orang tersebut mampu melunasi utangnya.

Derajat kesehatan utang pemerintah juga terefleksi dari peringkat yang diberikan oleh lembaga pemeringkat global. Semua lembaga pemeringkat, baik itu S&P, Moody’s, dan Fitch memberikan status investment grade atau layak investasi dengan outlook stabil pada surat utang pemerintah Indonesia.

Peringkat itu menunjukkan, Indonesia sudah sekelas dengan negara-negara lain yang dinilai secara makro kebijakannya bagus, fiskalnya aman, moneternya bagus, institusinya membaik, dan exposure eksternalnya, baik utang luar negeri maupun cadangan devisanya, aman.

“Perlu kerja keras untuk mengubah dari status junk (berisiko tinggi) ke investment grade. Kini kita bisa disejajarkan dengan negara-negara lain dalam mengakses dana-dana global, dengan term atau suku bunga yang lebih favorabledaripada kalau kita dianggap junk,” tutur Denni, yang pernah menjadi asisten staf khusus Wakil Presiden Boediono.

Utang untuk Alokasi Produktif

met4

Penerima Student Teaching Award dari University of Colorado at Boulder itu juga membantah bahwa utang pemerintah tidak produktif karena lebih banyak dipakai untuk belanja barang dan belanja pegawai.

Sebab, pertumbuhan belanja modal (yang biasanya diidentikkan dengan belanja infrastruktur) sebenarnya lebih tinggi daripada belanja barang. Namun karena ada perubahan nomenklatur, belanja barang jadi naik tinggi daripada belanja modal. Itupun, Denni mengingatkan, belanja modal belum tentu lebih baik daripada belanja barang atau bantuan sosial.

Ketika ditanya apakah kita bisa membangun tanpa utang, Denni menyampaikan, bisa saja, tapi sangat terbatas, karena akan berdampak pada alokasi lain.

Alasannya, tahun ini saja, belanja infrastruktur mencapai Rp415 triliun atau 2,4% dari APBN. Sementara, defisit APBN—yang artinya kenaikan utang—hanya 1,8% dari APBN. “Artinya, kebutuhan belanja infrastruktur kita lebih besar daripada tambahan utang,” cetus Siswa Teladan SMP/SMA Tingkat Nasional ini.

Jadi, bila tidak ada tambahan utang, akan ada alokasi lain dari APBN yang harus dipangkas demi membangun infrastruktur dalam jumlah yang sama. Atau, bila belanja non-infrastruktur tidak ingin dipangkas, maka belanja infrastruktur akan jauh merosot nilainya.

“Namun saya tidak ingin terjebak dalam pertanyaan bisa atau tidak membangun tanpa utang. Saya ingin kembali kepada basic 101 dari utang. Kenapa, sih, utang begitu diharamkan? Sementara, saya saja membeli rumah pakai utang, beli mobil pakai utang, mau mulai usaha pakai utang. Yang terpenting adalah bagaimana kita mampu membayar, alokasinya produktif, dan jumlahnya konservatif,” tegas Denni.

Denni juga menolak anggapan bahwa Pemerintah tidak melibatkan swasta dalam pembangunan infrastruktur.

Selama 2015-2019, total kebutuhan pembangunan infrastruktur diperkirakan mencapai Rp4.800 triliun. Pemerintah, apakah itu lewat APBN, APBD, Dana Alokasi Khusus (DAK), hingga Dana Desa, hanya berperan 36%-nya saja. Sisanya, BUMN dan swasta.

“Lagi pula, infrastruktur seperti embung, sumur, WC, atau irigasi, tidak menarik buat swasta. Jadi harus pemerintah,” imbuh alumni SMA Negeri 3 Semarang itu.

Namun ketika pembangunan infrastruktur itu semua diharapkan bisa menjangkau seluruh tanah air, tentu ada biayanya. APBN memiliki dua sisi, debit dan kredit, yang selalu seimbang. Bila belanja naik, penerimaan pun harus naik.

“Jika tidak mau berutang, tentu sumber penerimaan yang lain, apakah pajak dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak), harus ditingkatkan. Tidak mungkin ingin membangun lebih banyak, namun pada saat yang sama ingin memangkas pajak dan tidak mau berutang. Jadi sekali lagi, buku itu ada dua sisi. Tidak bisa kita melihatnya sepotong-sepotong,” tutup Denni./put

met1

 

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *