by

Bencana Alam Tidak untuk Ditutup-tutupi

MARGOPOST.COM | – Indonesia termasuk sebagai salah satu negeri yang istimewa dalam jalur Ring of Fire. Berdiri di atas tiga lempeng Bumi, membuat kondisi alam Indonesia secara geologi begitu kompleks.

Pertemuan tiga lempeng itu menghasilkan dua sisi bagi Indonesia. Di satu sisi Indonesia berlimpah berkah sumber daya alam, mulai mineral logam sampai panas Bumi.

Namun sisi lainnya, tiga lempeng Bumi membuat Indonesia menjadi area ‘merah’, rawan bencana alam mulai dari gempa Bumi serta tsunami sampai letusan gunung berapi.

Sisi bencana tersebut memang tak bisa dihindari. Makanya tak heran wilayah Indonesia kerap diguncang gempa, sedangkan langit maupun atmosfer nusantara terkena debu vulkanik dari muntahan gunung berapi.

Sebagai negeri yang berada di lintasan Ring of Fire, Indonesia telah berkali-kali menghadapi bencana alam. Karena pengalaman menghadapi bencana itu, Indonesia menjadi tanggap atas gempa, letusan gunung berapi sampai tsunami. Makanya tak heran Indonesia menjadi laboratorium bencana alam bagi negara dunia.

Namun demikian, banyak berbagai tantangan membuat ekosistem tanggap bencana. Masyarakat perlu menyadari atas risiko bencana di lingkungan mereka tinggal. Sementara itu, lembaga geologi sampai kebencanaan serta cuaca, juga dituntut untuk sigap menginformasikan sedetail mungkin risiko bencana.

Berkaitan dengan hal tersebut, VIVA mewawancarai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rudy Suhendar. Pria jebolan ITC Enschede Belanda itu mengupas tuntas bagaimana tantangan dan seluk beluk bencana di Indonesia.

Menurutnya, dalam soal bencana tidak ada hal yang ditutup-tutupi. Informasi bencana harus terbuka bagi semua orang, semua kalangan. Berikut petikan wawancara dengan kepala Badan Geologi di kantornya, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan:

Indonesia sering kali terjadi bencana alam, karena terletak di area Ring of Fire. Apa yang bisa digali Indonesia terkait keadaan geologinya?

Jadi dengan posisi geografis Indonesia, saat ini berada di tiga lempeng dunia. Jadi kan bola dunia itu terpecah-pecah, pecahannya itu namanya lempeng. Itulah simpelnya. Kita (Indonesia) posisinya ada di tiga, satu Lempeng Eurasia, yaitu dari utara yang bersatu dengan China ke selatan terus ke kita. Kemudian yang dari selatan, Lempeng Indo-Australia, yang di timur, itu Lempeng Pasifik. Itu adalah given yang enggak bisa diapa-apain.

Akibat dari tumbukan tiga lempeng itu, menimbulkan kondisi geologi yang cukup kompleks. Produk pertemuan itu adalah bisa jadi sumber daya, bisa jadi bencana. Sumber dayanya dari tumbukan-tumbukan itu jadi mineral. Kita ada mineral logam, beberapa mineral tumbuh di situ. Kita sebenarnya kaya (sumber daya alam) dan tumbuh di situ, juga cekungan migas. Karena ada sedimen, cekungan air juga ada.

Tapi di sisi lain juga ada bencana. Tumbukan-tumbukan itu membentuklah Ring of Fire. Ada lagi rentetan gunung api mulai dari Pulau Sumatera, Jawa, terus NTT, Sulawesi naik ke atas, naik lagi Maluku. Plus kita ada gempa, karena kan namanya lempeng. Bumi enggak diam, bergoyang-goyang. Terjadilah dikenal juga memiliki potensi gempa.

Sejauh ini kontribusi Badan Geologi soal bencana bagaimana?

Kontribusi untuk bencana, yang memiliki otoritas tentang kegeologian, amanatnya yang ditugaskan pemerintah adalah Badan Geologi. Khusus untuk mitigasinya, informasinya dari kami. Seperti gunung api, tidak ada lagi lembaga lain yang ngurus gunung api selain Badan Geologi. Gempa, informasinya dari BMKG. Tapi setelah gempa susulan lagi, itu informasinya dari kami. Kemudian gerakan tanah, longsor, yang nyusun petanya (Badan Geologi), termasuk tsunami, akibat gempa yang di laut.

Dari empat hal tersebut, kami menyusun peta kawasan rawan bencana. Kami itu membuat kawasan rawan bencana keempat hal tersebut di seluruh kawasan di Indonesia. Kami wali datanya. Menurut SK dari Badan Geospasial, itu kami yang disiapkan yang menyusun datanya. Itu bagian dari penanganan kita dalam bencana. Ini dari dulu kala, sejak adanya Badan Geologi.

Nah begitu ada bencana, siapa yang melaksanakannya? Itu baru BNPB maupun BPBD, yang mengurus orang-orang yang ‘minggir kamu, minggir ini’. Kalau mengurus dengan alamnya adalah kami.

Termasuk Peta Gempa skala 1:50.000 yang menyusunnya juga Badan Geologi?

Itu dari kami. Kalau peta nasional yang menyusunnya itu tim. Semua stakeholder kepada Badan Geologi.

Ada wawasan apa dari Peta 1:50.000 terbaru itu?

Jadi peta kawasan rawan bencana apapun itu menginformasikan mana daerah rawan tinggi, sampai sedang tingkat kebahayaan. Seperti kebahayaan gunung api, yang merah bahayanya tinggi, yang kuning bahayanya rendah. Enggak boleh ngebangun di zona merah, tidak boleh ini di zona kuning.

Apakah ada perkembangan dari peta terbaru dengan peta sebelumnya?

Kalau sudah ada kejadian, ada perubahan (pada peta). Misalkan peta kawasan rawan bencana gunung berapi. Saat Gunung Merapi sebelum 2010, misalkan kita buat Kawasan Rawan Bencana (KRB) berdasarkan misalkan 2006. Meletus lagi (Gunung Merapi) pada 2010, karenanya kami bisa membuat peta kelihatannya jangkauannya sampai mana. Seperti Gunung Agung, berdasarkan letusan1963, nah kalau tahun ini meletus dahsyat, tahun ini bikin lagi (petanya).

Dari peta terbaru, ada temuan apa yang bisa jadi perhatian?

Kalau dari peta itu bisa dilihat tadi merah, kuning, hijau saja. Kawasannya melebar atau menyempit. Sehingga makna pemakaian dari peta itu untuk menyusun tata ruang, infrastruktur, atau pemanfaatan ruang.

Untuk gunung api, tidak terbatas dari gunungnya. Misalkan dari Aceh, Gunung Seulawah Agam. Ada peta Kawasan Rawan Bencana. Turun lagi Peta Kerinci atau Gunung Marapi di Sumatera Barat. Masing-masing gunung yang aktif kami punya petanya, sampai ke 127 gunung (aktif).

Dari 127 gunung api, mana yang menjadi perhatian?

Dari 127 itu adalah gunung api aktif, 69 gunung api dipantau 24 jam, sudah termasuk Gunung Agung, Gunung Krakatau, Gunung Dukono Sulawesi Utara, Gunung Ibu (Halmahera), dan Gunung Gamalama (Maluku Utara). Perlakuan sama, tingkat kepadatan penduduk sekitar gunung yang membedakannya.

Misalkan Gunung Agung sekarang kan aktif. Gunung Dukono di Maluku sekarang aktif. Persis sama. Karena ini (Gunung Anak Krakatau) tidak ada ancaman terhadap manusia (perlakuannya ya beda) tapi tetap dimonitor. Beda dengan Gunung Agung, saya simpan 15 orang di sana. Karena ada kepadatan penduduk, jadi ya mengancam, ada ancamannya di situ.

Gempa sering yang terjadi di Indonesia, wilayah mana yang paling berisiko?

Gempa itu ada dua. Bisa disebabkan di tengah laut, ada juga di tengah daratan namanya patahan atau sesar. Jadi bisa akibat itu. Di mana yang rawan? Daerah-daerah yang memiliki hubungan patahan dengan lempeng ini.

Beberapa waktu lalu, ramai-ramai soal Megathrust Jawa. Itu kan Selatan dan di bagian Barat di segmen-segmen (patahan). Logikanya umum lempeng terpotong-potong, yang dekat-dekat itu yang berbahaya.

Termasuk Sesar Lembang itu, itu daratnya. Dan memang tidak nyambung dengan yang di laut. Kalau ada getaran di situ, dia mengaplikasikan zona di daerah itu. Satu benda patah melawan benda lemah ketika digoyangkan akan beda.

Kerusakan akibat gempa bumi di Lombok

Secara teori, gempa di laut dan darat tingkat kekuatannya lebih dahsyat yang mana?

Sampai sekarang belum ada teknologi yang bisa mengukur kekuatan gempa keluarnya akan seperti apa. Kalaupun di darat, ada namanya dislokasi, pergeseran. Di darat itu pasti berbahaya, atau terjadi di laut, tapi sesarnya dari darat nyambung ke laut.

Contoh Sesar Cimandiri, mulai dari Pelabuhan Ratu sampai Padalarang. Zona itu teramplikasi. Itu yang artinya gempa, gempa itu pedataran maupun pegunungan risikonya sama saja. Kalau di pedataran, memang tidak runtuh tapi kena bangunan. Pedataran tanah batuan dasarnya belum padat benar, sehingga kayak beras masih lepas-lepas. Kalau di pegunungan akibat gempa, longsor ada kolaps tanah.

Bagaimana dengan kekuatan tsunami, seperti apa?

Di tempat lempeng ketemu lempeng itu terjadi dislokasi, naik ataupun turun. Sehingga dislokasi ini tentunya mengubah dimensi airnya. Dimensi air berubah maka terjadilah gelombang, turun dulu terus naik.

Daerah-daerah rawan tsunami kami sudah petakan. Sama juga Pantai Selatan. Tapi tidak seluruhnya. Kalau topografinya terjal, tidak mungkin masuk ke darat. Kalau landai kami petakan. Topografi terjal seperti apa? Uluwatu kan terjal. Kalau Pantai Kuta, itu topografinya lepas landai.

Beberapa waktu lalu ada kajian tsunami besar 57 meter bisa menerjang Pandeglang. Apakah itu menjadi masukan bagi Peta Rawan Bencana?

Enggak semua, itu bagian dari referensi. Karena kan ilmu pengetahuan semua bisa. Kami kaji kemungkinannya. Teman-teman punya data patahannya, sehingga nanti berapa meter di daerah itu.

Sebagai masukannya. Kalau untuk memfinalisasi yang mana yang merahnya, kami hitung lagi. Karena bisa saja, bikin modelling. Misalkan gempa sekian, maka kami kasih contoh seperti di Aceh. Ada sistemnya, ada programnya.

Apakah banyaknya gempa saat ini itu karena informasi semakin banyak atau memang keadaan geografis Bumi yang tidak pernah diam?

Pertama, mungkin saya juga berpikiran begitu, informasi utamanya. Sekecil apapun gempa (sekarang) tercatat. Alat-alat yang dimiliki BMKG sebarannya sudah rapat. Jangkauan alat-alat yang dipakai, acuannya Badan Geologi Amerika yang juga memantau seluruh dunia. Kemudian geologinya Jerman juga.

Alat-alat semakin canggih, sekecil apapun (gempa) terekam. Pada dasarnya dari dulu gempa sudah ada. Saya kecil juga sudah merasakan gempa. Cuma tidak heboh. Orang Bengkulu paling sering dapat gempa.

Lain persoalan ada perubahan iklim, perubahan gerakan Bumi kita perlu kajian lah. Saya belum melihat itu. Selama Bumi bergerak, pasti ada gerakan lah menurut saya.

Terkait gempa Lombok, apa yang bisa dijelaskan dari sisi geologi?

Secara posisi, Lombok itu diapit dua hal. Di selatan ada zona subduksi, dan di utara itu ada Back Up Thrust Flores (Sesar Naik Flores). Wilayah yang geografinya seperti itu, maka saat ada aktivitas di Subduksi maupun sesar itu, maka ada getaran itu pasti terjadi. Hanya waktunya kapan, itu yang kita belum bisa pastikan kapan terjadi.

Apa benar gempa di Lombok tergolong galak-galak, menurut riwayat beberapa kali terjadi gempa besar di sini?

Rata-rata gempa di Indonesia itu bervariasi. Rata-rata magnitudo-nya 6, 7, dan 8. Hanya kapan gempa terjadi itu belum bisa ditentukan.

Kalau gempa di Lombok, kalau dilihat ada besarnya. Tapi enggak jauh dari magnitudo 6 sampai 7. Kalau dibilang gempanya galak atau besar, kalau enggak makan korban, ya artinya enggak apa-apa. Sebaliknya tapi kalau gempanya kecil tapi makan korban banyak, bagaimana ya.

Lantas mitigasi bencana gempa di Lombok bagaimana, kan sudah jelas area itu risiko dengan diapit subduksi dan sesar tersebut?

Jangankan level pulau atau beberapa pulau. Tingkat lokal saja, gempa yang kecamatan saja tak bisa dihindari. Makanya Badan Geologi bikin peta rawan bencana.

Gempa itu tak homogen, tak semua wilayah yang kena itu akhirnya rusak. Tetap ada wilayah terkena gempa yang aman. Makanya ada peta rawan bencana itu. Tidak akan seluruh Pulau Lombok itu akan hancur, tetap ada daerah yang aman.

Makanya untuk mitigasi, pertama pembangunan bangunan yang dilakukan masyarakat itu seharusnya di area yang aman. Kalaupun terpaksa mengisi lahan yang tak aman, ya ikuti atau adaptasi dengan karakteristik sifat kegempaannya. Kami kan sudah berikan bagaimana bangunan dengan sifat kegempaannya.

Kemudian untuk Kementerian PUPR, mereka sudah bikin rumah tahan gempa, walau bangunannya kecil.

Kedua, harusnya bagaimana sosialisasinya. Misalkan ketika ada bencana atau gempa, maka yang bergerak Badan Geologi, BMKG, BNPB, dan lainnya. Hal ini dilakukan supaya masyarakat tak shock dan traumatik sehingga mereka tak mau kembali lagi ke rumah mereka lagi. Biar tak trauma, harus ada diseminasi.

Apakah ada efek domino dari Ring of Fire?

Antara gempa dengan gunung api meletus, apakah gempa dulu atau gunung api dulu? Enggak selalu juga. Kami mencatat pos-pos gunung api, tidak ada gempa tektonik terus kemudian gunung api meletus. Tidak ada letusan, gempa nyatanya juga jalan.

Itu saja kami rasa sih tidak ada (hubungan) langsung. Walaupun ada satu dua (kasus) terjadi gempa tiba-tiba ada embusan di Gunung Merapi.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar

Secara geologi, apakah kejadian itu berkorelasi?

Makanya belum semua. Karena kan di dalamnya itu liquid. Bumi itu liquid. Sebenarnya menimbulkan energi, untuk mengembuskan gunung api. Energi bisa pindah, bisa iya, bisa enggak. Belum ada yang mengetahui.

Badan Geologi kan juga mengeksplorasi sumber daya alam, untuk hal ini sudah maksimal atau belum?

Sumber daya alam Indonesia itu disurvei sejak Abad 17, data-datanya ada di kami. Mulai dari inventaris emas, nikel, perak, timah. Kami melakukannya di awal-awal. Sehingga kami memetakan di mana ada emas, ada ini, ada itu, itu dilakukan Badan Geologi.

Baru setelah itu, metode sekarang dilelangkan Direktorat Minerba. Itu adalah bagian-bagian kami yang melakukan. Lalu dieksplorasi temuan ini bisa ekonomis atau bisa. Kami tugasnya sampai menemukan saja.

Apakah banyak sumber daya alam yang belum tereksplorasi?

Dari data kami, banyak yang belum dimanfaatkan. Kami keluarkan setiap akhir tahun, neraca mineral. Misalkan emas berapa lagi dari sisi potensi. Kami juga menghitung dari sisi potensi.

Apakah ada sumber daya kita yang habis?

Dari pengamatan saya belum ada yang habis. Sampai sekarang, Pulau Belitung itu timahnya masih berlimpah. Tinggal pengelolaannya saja.

Indikasi dari semua tempat, masih ada. Tinggal mau diambil atau enggak. Sekarang kan masih disimpan dulu untuk anak-cucu kita.

Kontribusi geologi dulu agak terpinggirkan, sekarang geologi jadi tim inti dalam pembangunan. Apa seharusnya seperti itu?

Dulu sejarahnya, dulu geologi untuk mencari bahan tambang. Hari ESDM diawali hari pertambangan. Sebelum 1960-an, mencari sumber daya yang terkait pertambangan.

Kemudian pada 1960, bencana sudah masuk (dalam tugas Badan Geologi), lebih kepada gunung api. Abad 16-17, sudah meletus di mana-mana. Setelah 1970-an, bukan hanya itu masih banyak lagi. Air tanah butuh dipetakan. ‘Oh membuat bangunan itu duduk pada tanah dan bebatuan maka harus mengetahui tanah dan batuan untuk gedung seperti ini. Oh ini ada bencana, bagaimana mengondisikan bencana’.

Sekarang multi aplikasi untuk Badan Geologi. Ada panas bumi, air tanah untuk tata ruang sampai sekarang dekade terakhir. Untuk geowisata, ada Ciletuh dan Gunung Rinjani. Diwariskan ke sana menjadi destinasi wisata.

Dulu sudah ada, tapi kita tidak sadari. Nah kita gali lagi objek geologi yang bisa dikembangkan untuk wisata. Kebutuhannya makin banyak.

Orang bangun jalan tol, butuh data geologi? Butuh karena tidak mau jalannya longsor. Ada cabang-cabang keteknikan untuk infrastruktur.

Jadi geologi menjadi komponen utama sekarang?

Jadi di Undang Undang Tata Ruang Nomor 26 tahun 2017, itu juga ada beberapa tata ruang pertimbangan kegeologian. Undang Undang Kebencanaan masalah geologi ada berperan. Undang Undang Lingkungan, ada juga. Apalagi Undang Undang Migas, Minerba, panas bumi sudah pasti. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, di situ juga ada (peran geologi).

Ada kabar, Jakarta sebenarnya rawan gempa. Tapi karena status ibu kota dan pertimbangan infrastruktur banyak, maka disesuaikan kategorinya. Apakah ini benar?

Kalau menurut saya enggak juga. Informasi yang sifatnya bencana adalah terbuka untuk semua lapisan. Makanya hasil dari kegiatan untuk bencana ada diseminasi, ada sosialisasi. Jadi kalau untuk bencana itu tidak ditutup-tutupi. Seperti Jakarta, saya merasa tidak ada yang ditutup-tutupi. Karena nanti yang membangun gedung, by technology harus menggunakan tingkat kebencanaannya. Ada building code yang dikeluarkan Kementerian PUPR.

Daerah rawan bukannya enggak boleh diapa-apain. Tapi bangunannya terutama itu harus mengikuti building code yang didasarkan tingkat kerawanan dari wilayah tersebut. Enggak boleh kita menutup-nutupi data mengenai kebencanaan itu. Makanya, siapapun yang datang ke pusat bencana di Badan Geologi, boleh ngambil (informasi) apa pun.

Bagaimana tingkat kerawanan bencana di Jakarta?

Jakarta itu tingkat kerawanannya pernah gempa kekuatan tertinggi misalkan Skala 5 atau 4. Bangunan-bangunan yang dibikin di Jakarta, si arsitek menggunakan teknik kekuatan gempa segitu. Itu yang mengawasi di pemda atau di pusatnya, Kementerian PUPR itu. Bandung juga rawan gempa.

Tingkat kepatuhan tata ruangnya di Jakarta seperti apa?

Saya persisnya enggak tahu. By theoretical, pada saat izin bangunan bukan hanya izin tetangga kiri-kanan, tapi juga struktur bangunan juga dites kepada pemberi izin. Siapa itu? Itu di bawah pembinaan Kementerian PUPR, bukan di tempat kami.

Apakah bangunan tertentu itu tahan gempa, saya enggak tahu. Karena enggak tahu bikinnya. Kalau yang untuk rumah-rumah di rawan gempa ‘udah rumahnya panggung saja’, tapi kan untuk perkotaan enggak bisa begitu. Karena di Jepang bangunan tinggi banyak, ada juga (kena gempa) lewat juga.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar

Kalau mitigasi masyarakat atas bencana, sejauh ini seperti apa?

Kalau untuk membina masyarakat di daerah gempa yang nomor satu, seperti bagaimana kami memitigasi masyarakat di seputar gunung berapi. Jadi kami melakukan bersama-sama pemda setempat melakukan tak henti-hentinya, sosialisasi mengenai ancaman dari gunung berapi. Tugas kita cuma itu.

Tugas pemda, membentuklah ada Tanggap Darurat Bencana (Tagana) dan lain sebagainya. Untuk memobilisasi masyarakat, Kementerian PUPR misalkan membuat jalur atau jalan evakuasi dan lain sebagainya. Terus bagaimana early warning system-nya, kalau misalkan terjadi letusan, kita punya jaringan di pos pengamat dan masyarakat. Itu yang dibangun, sama di Merapi, Gunung Agung, juga seperti itu.

Kalau kita sendiri seperti di Gunung Agung hanya berapa orang. Paling-paling yang standby di situ cuma 5 sampai 10 orang atau 15 orang kalau lagi banyak. Akhirnya kami harus punya jaringan di sekeliling kampung-kampung di sekeliling gunung itu.

Kalau di kota besar banyak gedung tinggi, mitigasinya seperti apa?

Kalau untuk kegempaan. Untuk bangunan Kementerian PUPR mengeluarkan pamflet tentang bangunan. Terus di hotel berkewajiban menempelkan jalur keluar, evakuasi yang seperti itu. Itu dalam kaitannya kemasyarakatan. Tapi penting adalah kaitannya dengan bangunannya sendiri.

Penilaian apakah masyarakat siap menghadapi bencana?

Kalau yang saya ranking, untuk gunung api, Insya Allah sudah bagus. Nah kalau untuk gerakan tanah (longsor) yang agak susah. Longsor karena kita kasih rawan merah, tapi karena mereka (penduduk) tidak bisa pindah ke mana-mana. Itu yang agak sulit karena itu bisa terjadi dan tidak terjadi. Tapi dia punya kecenderungan longsor wilayah itu, maka setiap longsor pasti ada korban.

Nah, Jawa Barat selalu nomor satu, juara. Jawa Timur kedua, Jawa Tengah ketiga. Karena penduduknya tinggi dari segi korbannya. Itu yang agak susah. Karena kalau namanya kampung dari dulu sudah ada di situ, susah (untuk pindah). Mencari lahan susah.

Bagaimana memitigasinya? Kita menyosialisasikan jangan membuat kolam di atas rumah misalkan, jangan membuat ini itu. Kalau melihat retakan di sini, maka cepat keluar. Itu salah satu mitigasinya untuk longsor. Namun demikian, korban pun tetap masih ada.

Kalau untuk gempa, ini yang memang agak sulit masyarakatnya. Paling juga kalau ada gempa ngumpet di bawah meja atau cari di bawah pintu kusen, bahasa umumnya seperti itulah. Di samping itu, edukasi melalui guru-guru geografi, guru-guru di SD di sekolah lah.

Negara kita kaya pengalaman dalam mitigasi bencana, bahkan jadi barometer internasional. Tanggapannya?

Kita selalu hati-hati. Sebelum Lebaran, puasa itu kan Merapi (erupsi). Kita tetap melalui media sosial, dan segala macamnya lah.

Gunung Sinabung sampai sekarang masih sering meletus, apa yang bisa menjelaskan fenomena ini?

Gunung yang pernah meletus itu suatu saat pasti meletus. Hanya ada yang usianya puluhan tahun, ada yang usianya pendek, ada yang ratusan tahun. Contohnya Gunung Merapi, gayanya periodiknya hampir 10 tahunan. Sekarang kan ramai, baru 8 tahun kok sudah meletus, atau periodiknya (Merapi) 6 sampai 10 tahun.

Gunung Agung kan tahun 1963 terakhir meletusnya, tiba-tiba kemarin meletus. Jadi masing-masing punya karakteristik. Nah kenapa demikian? Kita enggak bisa memotret di dalamnya.

Seperti Gunung Sinabung, berhentinya paling lama. Terakhir mungkin puluhan atau ratusan tahun. Tiba-tiba meletus. Dari 2009-2010 aktif sampai sekarang, terus Gunung Sinabung mengeluarkan energi. Nah sampai kapannya, kita enggak bisa lihat. Tapi kita cuma bisa lihat terus masih ada grafik. Kapan berhentinya kita tidak bisa melihat. Kita tidak bisa memotret si cerobong (gunung). Paling cuman monitor getaran di dalamnya.

Sama dengan Gunung Agung dan Gunung Merapi. Sebenarnya tidak ada fenomena khusus di Indonesia ini akhir-akhir ini ada gunung meletus, tidak juga. Sudah given alam, kebetulan pada dekade ini pada beberapa tahun ini terjadinya seperti itu.

Gunung Sinabung menyemburkan material vulkanik ketika erupsi, di Karo, Sumatera Utara

Bukannya bisa dipotret itu isi kantong magma?

Tidak bisa memotret itu. Kalau atasnya masih bisa, kalau bawahnya pakai alatnya apa? Enggak bisa, enggak ada.

Cuma kan berdasarkan ilmu pengetahuan kita bisa, para ahli menggambarkan di perut Bumi seperti ini. Keluarnya melalui celah yang ini. Kita hubung-hubungkan saja di atasnya lubang di sini apakah di bawahnya lurus atau miring.

Kalau kedalaman kantung (magma) kita bisa hitung. Dari getaran yang kita lihat itu, oh ini ada di bawah 4 kilometer, oh ini di atas 3 kilometer. Kita bisa dilihat dari tangkapan yang kita tangkap di pos pengamat.

Teorinya kantung magma itu akan habis?

Kantung itu tidak akan habis, yang habis itu energinya. Energinya di dalam, api kan panas yang merah itu, akibat proses kimiawi sumbernya bisa dari mana-mana. Selama proses masih ada di tempat itu, kalau ada satu unsur yang tidak ada, pasti dia akan membeku dulu. Suatu saat di sini ada, dia akan membakar lagi.

Bayangannya seperti itu. Belum ada yang turun ke bawah. Alat belum ada. Orang kan berani lihat di atasnya saja.

Apakah negara lain berguru ke kita dalam penanganan bencana alam?

Kalau berguru ke kita hampir semuanya, enggak lah. Cuma kalau kita dijadikan laboratorium (bencana alam), iya. Jadi Jepang ya laboratoriumnya ada di kita. Kita kerja sama dengan Prancis, kerja sama dengan Amerika Serikat, kita buat jaringan. Mereka juga punya gunung api.

Pesan apa pada masyarakat agar siap menghadapi bencana?

Yang penting tempat kita itu adalah potensi bencananya apa. Harus kita kenal, tempat kita potensi bencananya apa. Setelah kenal, kita harus beradaptasi bencana itu seperti apa. Jadi mengenal bencana.

Misalkan tempat kita rawan longsor, berarti tempat kita harus tahu karakteristik kapan terjadinya longsor. Syukur-syukur bisa pindah sih.

Sama dengan kita tinggal di daerah gunung api. Kita harus apa, kapan kita harus di sini, kapan kita harus menyingkir. Kalau untuk kegempaan, paling tidak rumah kita itu di daerah gempa seperti apa. Sehingga kekuatan paling tidak rumah bangunan kita seperti apa.

Dan ada lagi arahan-arahan. Kalau kita ada gempa, ada arahannya harus apa. Tidak boleh ini, tidak boleh di bawah lereng yang terjal. Harus mencari lapangan yang luas. Ada beberapa arahan, itu sudah ada di pemda. (Viva) //PUT

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *