by

Orang Laut Nusantara; Laut untuk Hidup, Hidup untuk Laut

Banyak sekali peristiwa dalam sejarah yang terjadi di wilayah laut Nusantara, tetapi cenderung diabaikan oleh peneliti sejarah konvensional.

MARGOPOST.COM | Sejarah mengajarkan bahwa berbagai perubahan di kepulauan Nusantara sebagian besar terjadi karena berbagai peristiwa yang berhubungan dengan laut. Tom Gunnar Hoogervorst, peneliti Belanda yang serius mempelajari linguistik dengan pendekatan sejarah, melihat feonomena itu sebagai hal yang cukup menentukan dalam berbagai tahap sejarah kepulauan terbesar di dunia ini.

Tulisan berjudul Etnicity and Aquatic Lifestyles: Exploring Southeast Asia’s Past and Present Scascapes (2012), mengulas berbagai hal penting tentang orang laut dan sejarah kepulauan.  Tom mencoba menelaah lebih jauh kompleksitas dimensi maritim yang ada di Asia Tenggara atau Nusantara di masa lalu hingga perkembangan terkini. Fokus penelitian dia jatuh pada wilayah bermukimnya sekelompok masyarakat yang kerap disebut sebagai “orang laut”.

Tiga Wilayah Orang Laut

Masyarakat Nusantara umumnya mengenal kelompok itu sebagai “Orang Bajo” atau “Orang Laut”. Sedangkan menurut Tom Hoogervorst, berdasarkan pembagian linguistik setidaknya ada tiga tempat keberadaan orang laut. Yang pertama adalah kelompok yang disebut sebagai “Orang Bajo” atau “Sama Bajau”. Kelompok ini mendiami wilayah kepulauan Sulu dan bagian timur Nusantara. Rentangnya meliputi wilayah Borneo Utara, Filipina Selatan, Laut Banda, hingga Maluku Utara.

Yang kedua, adalah kelompok “Orang Laut” yang mendiami wilayah sekitar Selat Malaka. Rentangnya meliputi kawasan laut Thailand dan Semenanjung Malaysia, serta pantai timur Sumatra. Sedangkan yang ketiga disebut sebagai “Orang Moken”. Mereka mendiami wilayah sekiar kepulauan Mergui yang bentang wilayahnya meliputi perairan Thailand dan Myanmar.

Tom Hoogervorst menilai bahwa banyak sekali peristiwa dalam sejarah yang terjadi di wilayah laut Nusantara tetapi cenderung diabaikan oleh peneliti sejarah konvensional. Untuk mengatasi hal itu Tom mencoba menelusuri kehidupan beberapa kelompok “orang laut” Nusantara yang masih bertahan hingga kini. Dia mencoba mempelajari hubungan yang kompleks antara “orang laut” dan kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Termasuk di dalamnya, hubungan dengan penguasa-penguasa lokal, pemerintahan negara, dan kelompok-kelompok bajak laut.

Dengan itu, Tom ingin mempelajari hirarki sosial “orang laut”, adat dan kesukuan orang laut, serta adaptasi yang mereka lakukan menghadapi berbagai perubahan sosial. Dengan semua itu, Tom mencoba untuk mempelajari dalam berbagai sudut pandang diakronis atau saling keterkaitan.

Belajar dengan Orang Bajo

Secara keseluruhan dalam catatan Tom Hoogervorst, “orang laut” yang mengembara  di seluruh wilayah Asia Tenggara pada saat dia melakukan penelitian jumlahnya sekitar 20.000 orang. Mereka tinggal dalam bentang wilayah sekitar 2.000 mil dari barat ke timur dan 1.600 mil dari utara ke selatan. Penelitian itu sendiri dilakukan Tom sejak Maret 2009 hingga Maret 2011. Kawasan yang diteliti Tom meliputi perairan selatan Thailand, Sabah, Kalimantan, dan Sulawesi.

Karena keterbatasan wilayah yang diteliti, penelitian Tom banyak mendasarkan penelitiannya di dalam kelompok Sama Bajau. Adapun wilayah yang diteliti Tom adalah Sama Bajau yang ada di Sabah, Kalimantan, dan Sulawesi. Di Sabah, kelompok yang diteliti meliputi Kota Belud, Kuala Abai, Sempurna dan Pulau Omadal. Di Kalimantan dia meneliti di Kotabaru, dan di Sulawesi dia mengunjungi Kendari, Bokori, dan Pulau Saponda.

Satu hal yang ingin dicapai oleh Tom adalah melengkapi historiografi Asia Tenggara. Sampai saat Tom melakukan penelitian umumnya sejarah kawasan ini hanya fokus pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di darat. Padahal, sumber-sumber tertulis terdahulu yang ada di kawasan ini selalu menyebutkan tentang komunitas-komunitas maritim atau orang yang tinggal di sekitar laut.

Penelitian “orang laut” ini ingin menjelaskan lebih jauh bagaimana aktor dan agen yang tinggal di wilayah laut Nusantara mempengaruhi perubahan dari zaman dulu hingga masa kini. Siapa sajakah mereka, apa yang mereka lakukan dalam sejarah dan bagaimana saat ini mereka beradaptasi dan mempertahankan kehidupan laut mereka berhadapan dengan kehidupan masyarakat global yang lebih banyak menetap di darat lengkap dengan berbagai batas wilayah yang menjadi penghalang.

Mengandalkan Laut

Gambaran umum masyarakat maritim atau “orang laut” adalah masyarakat yang mengandalkan laut untuk hidup. Seringkali masyarakat ini menghuni pemukiman yang dibangun di atas laut. Bahkan banyak di antaranya yang menghuni rumah perahu.

Pekerjaan sehari-hari mereka umumnya nelayan atau pencari ikan di sekitar pantai atau menjaring ikan pelagis (ikan gerombolan). Sebagian di antara mereka dikenal sebagai penyelam handal untuk mencari mutiara. Mereka juga dikenal sebagai pembuat perahu yang handal dan pedagang berbagai tangkapan dari laut. Karena keahlian mereka berenang dan menyelam mereka sering diambil sebagai anak buah kapal dan yang terkenal dari profesi mereka adalah menjadi bagian dari kelompok bajak laut.

Berbagai sebab mengapa mereka memilih untuk hidup sebagai “orang laut” berbeda-beda. Beberapa memilih untuk tinggal di pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup mereka dari perdagangan antarpulau yang menjamin kebutuhan hidup mereka. Yang lain memilih untuk hidup dengan “cara laut” karena menghindar dari kondisi yang tidak menguntungkan dari tempat asal mereka. Pada zaman dahulu orang mengenal “orang-orang Phoenicia” yang hidup di sekitar laut Mediterania sebagai orang yang pergi ke laut karena “terusir” dari daratan. Beberapa “orang laut” menggantungkan diri pada laut untuk bertahan hidup, yang lain untuk berdagang sedangkan sebagian lain untuk keduanya.

Sebenarnya cukup sulit untuk membedakan antara orang-orang yang benar-benar mengandalkan diri dari laut, orang-orang yang separuh hidupnya mengandalkan laut, dan orang-orang yang hanya musiman hidup dari laut. Beberapa ahli, seperti Yesner (1980), dikutip Tom, menjelaskan bahwa orang laut bisa dilihat dari cara makan mereka. Makanan yang bagian terbesar kalorinya berasal dari laut adalah orang laut. Sementara menurut Prins (1965), orang laut terlihat dari keseharian hidup mereka. Seperti anak-anak yang bermain dengan kapal-kapalan, dan orang-orang dewasa yang membuat kapal dalam keseharian mereka. Demikian halnya dengan adat berupa persembahan, syukuran, dan upacara kematian yang menyertakan laut dan perahu sebagai kelengkapannya.

Masih menurut Prins, orang laut mempunyai mitologi tentang laut yang kuat beserta pahlawan atau orang suci mereka. Mereka juga bisa dikenali dengan cara hidup sehari-hari yang selalu berada di atas laut atau di dekat laut. Orang laut juga bisa dilihat dari cara berkumpul mereka tiap kali kapal datang dan pergi melaut. Orang laut juga bisa mudah dikenali dengan cara mereka memperlakukan ikan di laut, dan masih banyak lagi.

Mitos Orang Laut

Tom Hoogervorts menulis tentang “orang laut” yang bisa dikategorikan sebagai orang-orang nomadis atau tidak bertempat tinggal tetap. Mereka dikenal sebagai pengelana atau berpindah-pindah. Mereka adalah komunitas yang semisedentaris atau kadang menetap. Mereka adalah masyarakat pemburu dan pengumpul yang menggunakan hasil laut sebagai sumber pakan dan barang kebutuhan mereka.

Orang laut berbeda dengan orang-orang semisedentaris yang beroritenasi ke laut seperti orang-orang Bugis dari Sulawesi. Contoh lain adalah orang-orang yang menghuni kawasan pantai Zanzibar di Afrika Timur dan orang-orang Viking dari Normandia.

Orang laut yang dipelajari dalam penelitian Tom adalah orang-orang yang menghabiskan seluruh hidup mereka bersama dengan keluarga mereka dengan melaut atau berada di atas atau di sekitar laut. Sebagai konsekuensinya mereka sedikit sekali memiliki budaya kepemilikan barang atau kekayaan. Hingga saat ini bahkan kecenderungan untuk menumpuk kekayaan bahkan ditolak dalam budaya mereka. Sebagai akibatnya, sangat sedikit sekali jejak arkeologis dari orang-orang laut “terdahulu”. Masa lalu mereka menjadi kabur bahkan membuat mereka tidak dikenal hingga saat sekarang ini.

Akibat lain yang tidak bisa dihindari adalah reputasi “orang laut” yang kental dengan kabar burung dan mitologi. Dalam banyak kultur, orang darat mereka mengenal orang laut karena kemampuan supranaturalnya. Kemampuan seperti mampu menyelam lebih dari satu setengah jam sering dikaitkan dengan ilmu sihir. Begitu juga dengan kemampuan bertahan lama tanpa air tawar, hingga kemampuan bertahan dengan minum air yang keruh kerap dihubungkan dengan kemampuan mereka bernafas dengan insang.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *