by

Masalah lingkungan tak jadi penentu divestasi Freeport

PENCEMARAN LINGKUNGAN

Margo Post.com | Di tengah proses negosiasi pelepasan saham yang nyaris menemukan titik temu, PT Freeport Indonesia dihadapkan pada tenggat lain.

Perusahaan tambang emas yang beroperasi di Papua ini memiliki sisa waktu lima bulan untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran lingkungan yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak setahun lalu.

Saat itu, BPK melakukan pemeriksaan penyelenggaraan Kontrak Karya (KK) tahun anggaran 2013 hingga 2015 dan menemukan enam dugaan pelanggaran lingkungan hidup yang dilakukan Freeport.

Berselang satu tahun kemudian, BPK—didukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—menyebut Freeport bertanggung jawab atas 47 pelanggaranlingkungan hidup dalam pelaksanaan operasionalnya.

Sepanjang laporan tersebut, Freeport diketahui baru menyelesaikan sekitar 30 persoalan, sementara 17 lainnya masih menggantung.

“Yang belum selesai yang berat-berat,” kata Menteri LHK, Siti Nurbaya, dalam KatadataKamis (5/7/2018).

Persoalan lingkungan hidup kemudian menjadi salah satu alat tawar pemerintah dalam proses negosiasi pelepasan saham. Demi menyelesaikan urusan negosiasi yang tak kunjung rampung, pemerintah bersedia berkompromi dengan Freeport terkait masalah ini.

Siti mengatakan, akan menjadi semakin berat bagi Freeport jika masalah lingkungan harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum perjanjian pelepasan saham diteken.

“Membereskannya (soal lingkungan) pakai gradasi. Pemerintahnya harus bantu. Tidak mungkin tanpa dukungan pemerintah. Kasihan dia,” kata Siti dalam KONTANsembari melanjutkan keyakinannya bahwa persoalan lingkungan ini pasti selesai.

Adapun masalah berat yang dimaksud Siti adalah pencemaran limbah tailing miliknya di daerah penimbunan Ajkwa atau Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) di Kabupaten Mimika, Papua.

Pertambangan Grasberg milik Freeport di Timika, Papua, 20 Februari 2017. | STR /EPA

Tailing adalah limbah batuan atau tanah halus sisa-sisa dari pengerukan dan pemisahan (ekstraksi) mineral berharga seperti tembaga, emas, nikel, dan sebagainya.

KLHK menegaskan, kegiatan pengelolaan Limbah B3 tailing oleh Freeport yang mengacu pada Kepmen LHK 431/2008 sudah tidak sesuai dengan situasi saat ini.

Kepmen tersebut mengizinkan perusahaan tambang membuang tailing dengan total suspended solid (TSS) hingga 45 kali ambang baku mutu yang diperkenankan.

Lantaran aturan tersebut, Freeport sejak 2016 tercatat mengeluarkan limbah tailing hingga mencapai 300 ribu metrik ton per hari. Akibatnya, luapan tailing tersebut mengendapkan 4 ribu hektare hutan mangrove.

Padahal, mengacu pada aturan terbaru, Kepmen 175/2018, jumlah tailing yang harus dialirkan ke fasilitas penimbunan ModADA dalam satu hari paling banyaknya adalah 291 ribu metrik ton.

Persoalan ini menjadi berat setelah tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menghitung nilai ekosistem yang dikorbankan dari pembuangan limbah operasional penambangan itu setara dengan Rp185,01 triliun.

Masalah lain yang harus diselesaikan Freeport adalah status Izin Pinjam Pakai Hutan (IPPKH). Freeport ketahuan menggunakan kawasan hutan lindung seluas 4.535,93 hektare untuk operasional penambangannya.

Penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin itu melanggar Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.

Freeport sebenarnya memiliki izin prinsip pemakaian hutan lindung. Persoalannya ada dua, pertama, izin prinsip yang tertera dalam Surat Menhut 399/menhut-VII/2013 itu hanya mengatur Freeport bisa menggunakan lahan seluas 2.738,8 hektare, namun izin itu sudah berakhir sejak Juli 2015.

Yang kedua, izin prinsip bukanlah izin yang sah untuk mengajukan permohonan penggunaan hutan lindung.

Secara terperinci, di dalam data izin prinsip yang didapat Freeport adalah areal penambangan seluas 507,2 hektare, sarana dan prasarana seluas 1328,52 hektare, jalan seluas 164,48 hektare, serta yang secara legal memiliki IPPKH tahun 1998 yakni kawasan hutan untuk jalan dan transmisi dengan luas hanya 738,6 hektare.

Dengan begitu, yang benar-benar mendapatkan IPPKH hanya seluas 738,6 hektare, selebihnya hanya dibekali izin prinsip. Dari pelanggaran ini, Freeport berpotensi merugikan negara hingga Rp270 miliar.

Bantuan solusi

Akhir Mei 2018, Juru Bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, menyatakan perusahaannya tidak mampu mengelola limbang tailing jika mengacu pada Kepmen LHK 175/2018.

Perusahaan pun kemudian mengajukan perundingan dengan pemerintah untuk mencari jalan tengahnya. Menteri Siti, di sisi lain, mengakui bahwa Freeport memang tidak mungkin menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa bantuan pemerintah.

Namun, ditekankan Siti, bantuan itu bukan berarti pemerintah harus bertanggung jawab dengan mengeluarkan duit negara. Bantuan hanya akan sebatas mencari solusi agar mampu mengelola limbah tailing.

KLHK tengah mempertimbangkan cara lain untuk memanfaatkan limbah tailing. Salah satunya memanfaatkan tailing menjadi bahan baku material bangunan seperti batako. Selain itu, ada juga kemungkinan memanfaatkan limbah tailing sebagai bahan baku jalan.

Oleh karenanya, KLHK berencana untuk bertemu dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perindustrian untuk membahas rencana itu lebih lanjut. (Sumber : Beritagar.com) / Hdr.-

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *