by

Dan KPK Akhirnya Diperkuat

Presiden tidak setuju pada beberapa poin yang diajukan DPR dalam  Rancangan revisi UU KPK.

MARGOPOST.COM | JAKARTA – Hari ini Presiden Jokowi memberikan pandangannya soal RUU KPK, yang merupakan inisiatif DPR. Tidak semua poin dalam draf RUU tersebut disetujui. Bahkan hal-hal yang dianggap bakal melemahkan KPK dicoret langsung.

Jokowi misalnya, tidak setuju penyadapan KPK harus minta izin kehakiman atau kejaksaan. Bagi Jokowi, soal penyadapan ini mekanismenya cukup diatur diinternal KPK. Tidak usah ada pihak lain yang terlibat.

Presiden juga tidak setuju jika penyidik KPK hanya berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan. Perlu juga ada penyidik yang diangkat dari unsur lain, asal dilakukan dengan mekanisme yang benar.

Dalam soal penuntutan, pada draf RUU misalnya mensyaratkan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung RI. Poin ini juga ditolak Jokowi. Baginya tata cara penuntutan KPK yang sekarang sudah baik dan tidak perlu diubah.

Terakhir, Presiden juga tidak setuju jika kewenangan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara diserahkan ke lembaga lain. Dalam hal ini, KPK harus tetap sebagai lembaga yang mengurus laporan tersebut.

Namun jika kita lihat perjalanannya, KPK juga tidak harus dibiarkan bergerak tanpa batas. Harus ada mekanisme check and balance. Nah, di sinilah dibutuhkan dewan pengawas yang diangkat dari tokoh masyarakat, akademisi, dan pegiat anti korupsi. Bukan dari politisi, aparat, atau birokrasi.

Mekanisme pengangkatan dewan pengawas, menurut Presiden, dilakukan dengan membentuk tim seleksi seperti pada pemilihan calon pimpinan KPK.  Dewan pengawas ini nanti diangkat oleh Presiden.

“Semua lembaga negara harus diawasi agar tercipta mekanisme check and balances. Presiden juga diawasi,” ujar Jokowi.

Salah satu fungsi dewan pengawas adalah memberi izin dalam soal penyadapan. Artinya dalam.persoalan yang sensitif ini pegawai KPK tidak lagi bisa melakukan tanpa pengawasan. Ada pihak lain yang juga ikut dalam mekanismenya.

Yang paling menarik adalah diberikannya kewenangan untuk mengeluarkan surat penghentian perkara. Memang, sebelumnya KPK tidak diberikan kewenangan tersebut. Akibatnya jika orang sudah dijadikan tersangka oleh KPK harus naik ke pengadilan. Hanya hakim yang memutuskan perkara.

Masalahnya bagaimana jika proses pentersangkaan KPK digugat praperadilan? Ketika hakim memutuskan hal itu bertentangan dengan hukum dalam proses penerbitan tersangka, bagaimana KPK harus menyikapinya. Padahal mereka tidak punya kewenangan menghentikan perkara.

Kedua, karena tidak diberi wewenang SP3, banyak kasus yang menggantung. KPK sudah menetapkan orang sebagai tersangka tetapi buktinya ternyata kurang solid. Jika naik ke pengadilan KPK pasti kalah atau tidak cukup bukti. Akan jadi bahan tertawaan dunia hukum.

Jika mau dihentikan, KPK tidak punya wewenang untuk menghentikannya. Tidak punya wewenang mengeluarkan SP3. Tidak aneh jika tumpukan perkara di KPK menggunung. Ada tersangka yang lima tahun lebih statusnya sebagai tersangka. Tapi tidak pernah diproses juga. Ini berpotensi melanggar HAM.

Oleh sebab itu pemerintah meminta agar KPK diberikan wewenang tersebut. Tentu saja sebagai lembaga KPK bisa menggunakan atau tidak menggunakan kewenangannya.

Bedanya jika dalam draf RUU ajuan DPR ada batas waktu satu tahun sejak orang ditetapkan sebagai tersangka. Maka pemerintah mengusulkan waktu dua tahun. “Agar KPK punya waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik,” ujar Presiden.

Poin penting lain yang diperhatikan Presiden adalah status kepegawaian KPK. Presiden mengusulkan, status kepegawaian KPK ini sebagai ASN. Artinya seluruh pegawai KPK yang ada sekarang otomatis bisa dianggap sebagai ASN dan mekanismenya mengikuti ASN.

Jika diperhatikan dari poin yang dicoret Presiden dari draf RUU yang diajukan DPR, sepertinya konsistensi pemberantasan korupsi tetap akan terjaga. Bila ada satu poin yang dicurigai dapat melemahkan KPK, langsung dicoret oleh Presiden.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *