by

Api Nan Tak Boleh Padam

PERS NASIONAL

Di tengah revolusi perkakas digital, pers Indonesia terus bertekad menghasilkan karya yang valid dan kredibel di atas platform apa pun. Tabloid dan koran boleh surut, tapi komitmen keindonesiaan takkan dibiarkan pudar.

MARGOPOST.COM | Kota Surabaya menjadi tuan rumah perhelatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019. Tak kurang Presiden Joko Widodo dan sejumlah  duta besar negara sahabat  dijadwalkan hadir di  puncak acara tahunan komunitas pers Indonesia yang jatuh pada 9 Februari 2019. Sebelumnya, beberapa menteri dan tokoh masyarakat sempat hadir dalam sejumlah workshop dan seminar.

Namun tidak bisa  dipungkuri, denyut HPN semakin hari kian meredup. Gebyar-gebyar HPN sudah berlalu, seiring menyusutnya peran pers konvensional dalam pengendalian arus informasi di tanah air. Padahal , hingga awal 2000-an, pers nasional masih dianggap sebagai agen utama dalam pengendalian arus informasi di tanah air. Tapi, siapa yang bisa menahan arus perubahan?

Landscap pers nasional sudah berubah secara fundamental, sejalan dengan perubahan yang terjadi di tataran global. Teknologi informasi digital adalah aktor utama di balik perubahan itu. Berangsur-angsur platform media pun bergeser ke arah yang serba digital. Media konvensional seperti koran, majalah, tabloid, dan radio, sudah lebih dari satu dekade tersisih dan berguguran. Medium televisi untuk sementara masih bertahan, meski dengan usia penonton yang makin menua.

Laporan tahunan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 2018 menunjukkan, media digital itu bisa berkembang pesat karena makin masifnya akses internet di masyarakat. Pada 2017 tercatat, pengguna internet di Indonesia telah menembus 132 juta orang, 51% dari total populasi penduduk.  Angka itu meningkat 44 juta (50 %) dari pengguna di tahun 2016 yang tercatat 88,1 juta orang.

Ditunjang oleh ketersediaan beragam mobile smartphone, layanan internet ini lantas memanjakan penggunanya untuk menikmati berbagai aplikasi media sosial (medsos). Nyaris kapan saja, di mana saja. Pada 2017, menurut laporan AJI,  ada 106 juta pengguna medsos di Indonesia, dan 92 juta di antaranya tergolong pengguna medsos aktif dengan sarana mobilenya. Angka itu tentunya masih terus melonjak pada 2019 ini.

Ketersediaan informasi pun makin melimpah ruah. Dari jejaring medsos itu telah mengalir berbagai macam informasi dan narasi produk netizen journalism.  Sebagian dari informasi yang berlalu-lalang itu dicomot dari media online yang pada tahun 2018 lalu jumlahnya hampir 45.000 unit.

Dalam situasi banjir informasi serba gratis ini, media cetak mengalami tekanan kuat. Satu demi satu berhenti terbit (lihat tabel 1 dan 2).  Pada 2017, media cetak yang masih bisa bertahan hanya 793 buah. Turun sebesar 42 persen. Untuk koran harian, 99%  masih sanggup bertahan, meski rata-rata oplagnya merosot 23%. Namun, untuk koran mingguan, majalah, dan tabloid persentase yang rontok masing-masing mencapai 73%, 53%, dan 50%.

 

Untuk menyelamatkan eksistensinya, para pengelola menerbitkan versi elektroniknya, dalam format e-paper, selain membangun portal berita dengan memanfaatkan brand-nya yang masih kredibel dan pernah jaya. Beberapa sangat berhasil seperti portal kompas.com, tribunnews.com, tempo.com, atau republika.com. Besaran valuasi portal ini melesat tinggi karena traffic portalnya yang padat di  setiap harinya. Namun, sebagian besar lainnya tenggelam dalam persaingan.

Belum lagi, di wilayah dotkom itu sudah berjejer portal-portal dengan brand kuat, tanpa berasosiasi dengan media cetak. Sebutlah ada detik.com, liputan6.com, merdeka.com, okezone. comviva.co.id, dan seterusnya. Portal-portal ini juga menguasai traffic berita Indonesia.

Menguatnya klik ke media dotkom itu tentu mengundang datangnya kue iklan. Tapi, dengan traffic yang sangat terukur itu, kue advertensi hanya dinikmati portal besar. Problem laten pers Indonesia pun berulang: distribusi kue advertising tidak cukup merata. Maka, sebagian besar media online ini berjalan tertatih-tatih di bawah skala pemasukan bisnis yang semestinya. Kue iklan terbesar justru jatuh ke portal-portal raksasa seperti googleyoutubefacebook, dan sejenisnya.

Rendahnya pemasukan di unit-unit pengelola media pers berbasis web itu hanya satu soal di antara sejumlah problem di komunitas pers. Urusan yang lebih mendasar adalah karakter media online itu sendiri yang mengedepankan kecepatan informasi, lebih dari urusan lainnya.

Tak heran bila para jurnalis online itu tak lagi bekerja dengan tata cara seperti laiknya standar pers masa lalu. Standar pers tentulah mengacu pada kegiatan mengumpulkan dan mengolah informasi, kemudian mem-publish-nya secara reguler (dengan platform cetak, audio, audio-visual,  dan online). Secara universal di area pers ini berlalu kode etik jurnalistik utamanya check and recheck, verifikasi data, serta  tidak mengekspos isu kekerasan secara berlebihan. Di Indonesia ada norma tambahan, yakni  tidak mempublikasikan berita yang bertendensi SARA.

Badai digital itu membuat situasi berubah. Kecepatan adalah hal yang paling utama untuk berita di media online. Akurasi, verifikasi data, dan check-recheck jadi urusan kedua. Situasi ini melanda di  seluruh penjuru bumi. Informasi yang beredar melalui internet  semakin diminati. Selain gampang diakses, berita internet juga tersaji cepat, dan cepat pula ter-update. Media online menjadi penting karena menjadi penyedia konten yang paling cepat.

Gelombang  digital itu pun mengubah cara masyarakat dunia menikmati layanan media. Televisi masih menjadi  kekuatan terbesar. Penetrasi ke masyarakat masih di atas 90% di negara Barat dan 95% di Indonesia. Pesona audio-visualnya masih belum tertandingi. Namun, penonton setia televisi  umumnya berusia di atas 60 tahun. Semakin muda, prosentase yang menonton televisi makin rendah dan durasi mereka menikmatinya pun semakin pendek. Penonton televisi di Indonesia lebih besar pada program hiburan ketimbang berita.

Di sisi yang lain, penetrasi majalah, tabloid, dan surat kabar harian semakin hari makin rendah. Pada level di atasnya ada radio. Pendengar radio terus merosot meski tak seekstrim di media cetak. Yang terus naik daun adalah media online yang berjalan seiring maraknya penggunaan medsos.

Justru, di jalur online dan medsos ini berbagai dampak buruk sering mengemuka, utamanya konten hoax, ujaran kebencian (hate speech), berita tak akurat, atau narasi dengan framing yang berpotensi mengadu domba. Konten-konten seperti itu yang  kini sering menjadi “penumpang gelap’’ di hampir semua jenis platform online.

Berbagai persoalan itulah yang membayangi peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari ini. Komunitas pers nasional punya banyak PR. Kemajuan teknologi digital, dengan segala macam aplikasinya, telah membuat informasi mengalir begitu saja ke ruang publik, tanpa prosedur tata kelola untuk menjaga akurasi, kredibilitas, dan akuntabilitasnya.

Bahkan, banyak terdengar keluhan bahwa konten berita, yang dirilis lembaga pers online resmipun sering bermasalah. Sejumlah pakar dan praktisi komunikasi sepakat, bahwa selain minim verifikasi berita online itu sering muncul secara dangkal, miskin angle (sudut pandang), kering tanpa deskripsi, dan kurangnya berita menarik. Maka, meski banyak web online, berita yang  bergulir nyaris seragam. Belum lagi soal penyusupan hoax. Rupanya, unsur kecepatan harus dibayar dengan semua soal itu.

Tentu, tidak semuanya menjadi tanggung jawab komunitas pers. Para pemangku kepentingan, yakni komunitas informasi, juga ikut memanggul tanggung jawab untuk mencari solusinya.

Sebagai bagian dari komunitas pers, organisasi jurnalis seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)  tidak menghindar dari situasi ini. Secara terus-menerus, kedua lembaga ini terus menempa anggotanya agar bisa melahirkan karya-karya yang tepercaya, kredibel, dan akuntabel di atas platform media apapun.

Bersama unsur pers lain, kaum jurnalis ini menyerukan perlunya menjaga  komitmen keindonesiaan melalui instrumen pemberitaan. Komitmen ini terkait dengan nilai-nilai keadilan sosial, kedaulatan rakyat, kebangsaan, persatuan dalam keberagaman, penghormatan satu dengan yang lain, menuju cita-cita Kemerdekaan Indonesia.

Nilai-nilai itulah yang mengemuka, ketika para perintis pers Indonesia berkumpul di Solo, 9 Februari 73 tahun lalu. Ketika itu, para tokoh pers  bersepakat menghimpun diri dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang garis perjuangannya sejalan dengan cita-cita kemerdekaan. Api semangat dari Solo itu tak akan dibiarkan padam./hdr.-

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *