MARGOPOST.COM | JOGJA – Mie lethek merupakan mi produksi masyarakat Srandakan, Bantul, yang berbahan dasar tepung tapioka dan gaplek atau singkong. Jika biasanya mie berwarna kuning cerah atau putih bersih, maka tidak dengan warna mie lethek.
Sesuai dengan namanya “lethek” yang dalam bahasa Jawa berarti kotor atau tidak bersih, warna mie lethek memang benar-benar buruk rupa, lethek alias kusam dan tidak membangkitkan selera. Salah satu tempat pembuatan mie lethek ada di Dusun Bendo, Kelurahan Trimurti, Srandakan, Bantul.
Sebagai salah satu pilihan kuliner khas Bantul, Jogja, kini mie lethek sudah banyak dijual di warung-warung makan kelas rakyat. Umumnya, mie lethek ditawarkan dalam dua pilihan; mie rebus dan mie goreng. Biasanya mie lethek disajikan dengan campuran ayam kampung dan telur bebek. Disantap selagi masih panas, mie lethek terasa nikmat, karena memberi citara rasa gurih, sehingga akan menggugah selera makan yang tak terlupakan pada kuliner asal Bantul ini.
Mari kita tengok bagaimana mie lethek diproduksi di tempat asalnya di Dusun Bendo, Trimurti, Srandakan, Bantul. Di tempat tersebut mie lethek masih diproduksi dengan mempertahankan cara tradisional menggunakan tenaga sapi. Sapi dipakai untuk menggerakkan alat mencampur adonan mie.
Ketika kami berkunjung kesana, terlihat satu sapi terikat dengan batu penggiling besar, menanti tuannya untuk menggiling dan mengaduk adonan mie. Mesin penggiling yang digerakkan oleh tenaga sapi tersebut laksana blender raksasa.
Penggiling tersebut memiliki diameter dua meter dan bobot satu ton. Ada 2 atau 3 pekerja yang berdiri di sekitar sapi yag bertugas membolak-balikan adonan. Pada umumya dalam sehari, pengadukan adonan dilakukan enam kali. Tiap sapi dapat dua sif mengaduk.
Ketika itu, kami berkeliling pabrik ditemani Yasir Ferry generasi ketiga yang kini meneruskan usaha itu. Yasir menceritakan, perusahaan tersebut berdiri pada 1940-an. Sang pendiri adalah kakeknya sendiri, Umar Bisri Nahdi.
Tujuan awal dibukanya perusahaan mie itu sejatinya bukan mencari nafkah, melainkan syiar agama. “Kakek cerita awalnya ya bukan untuk mencari nafkah. Di tahun itu orang sini kan butuhnya makan, sehingga lebih mudah dalam syiar sambil membagikan makanan,” ungkapnya.
Tidak hanya pembuatan mie-nya yang masih tradisioal, dalam perekrutan tenaga kerjanya perusahaan ini pun masih mengguakan sistim tradisioal. Maka tak ayal perusahaan tersebut menjadi ikon bagi warga sekitar. “Kami ini bahasanya ngawulo, dalam menarik karyawan,” kata Yasir.
Proses pembuatan mie lethek diawali dengan menyusun adonan tepung berbentuk kubus dan memanggangnya di dalam tungku kayu bakar. Setelah itu, tepung berbentuk kubus tersebut dikeluarkan dari tungku pemanggang dan digiling di tempat penggilingan yang digerakkan tenaga sapi.
Selama proses penggilingan, adonan tepung singkong atau tepung tapioka dicampur sedikit air sekitar kurang lebih dua jam dan setelah itu dimasukan kembali ke dalam tungku selama dua hingga tiga jam lamanya.
Selanjutnya, adonan dikeluarkan kembali dan siap untuk dimasukan kedalam mesin pencetak mie. Adonan tepung yang sudah berubah menjadi sulur-sulur mie kemudian dikumpulkan, ditata, dijemur sebentar, dan dimasukan lagi kedalam tungku sebelum akhirnya dijemur di bawah terik sinar matahari seharian penuh hingga keesokan harinya.
Mie lethek yang telah kering pasca penjemuran selama delapan jam itu kemudian dibungkus ke dalam kemasan plastik sebelum siap untuk didistribusikan ke pasaran. Karena menganut asas sosial, Yasir tak mau mengambil banyak keuntungan. Dia hanya mematok target laba 6 persen dari modal keseluruhan. “Begitu mie kering dan siap packing, kami langsung bayar pekerja,” terang dia.
Dalam sekali produksi Yasir menyebut pabriknya biasanya menghabiskan 1,1 ton tepung tapioka dan tepung gaplek. Dalam seminggu, perusahaan bisa memproduksi tiga atau empat kali, bergantung kesepakatan dengan pekerja. “Makan minum juga kami yang tanggung karena sudah ada ibu-ibu yang bekerja di sini khusus memasak untuk pembuat mie lethek,” imbuh dia.
Sementara untuk pemasaran mie tersebut masih mencakup kawasan Bantul dan Jogja. Tidak dikembangkan ke wilayah lain. Sebab, pengerjaan masih berasas sosial sehingga pabrik tidak bisa memproduksi banyak./H*
Comment