Berdiri di depan dalam langkah penanggulangan separatisme, HAM, isu khilafah, dan aksi-aksi massa, Jenderal Purnawirawan Wiranto menjadi sasaran ketidakpuasan banyak pihak. Ia memilih ambil risiko itu.
MARGOPOST.COM | JAYAPURA – Dalam usianya yang ke-72 tahun, Jenderal (Purn) Wiranto masih cukup sehat dan bugar. Pembawaannya sebagai perwira TNI tidak mau hilang, berjalan tegak, langkahnya cepat, bicaranya tegas, dan sederhana. Menjelang berakhir masa jabatannya sebagai Menko bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), pria asal Solo itu ingin menyelesaikan pekerjaan rumahnya, memastikan bahwa masalah keamanan dan ketertiban di Papua telah pulih.
Menko Wiranto pun terbang ke Jayapura Senin (7/10/2019) pekan lalu, didampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyono, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita. Di Jayapura, Wiranto berbicara dengan Gubernur, Panglima Kodam, dan Kapolda setempat, memastikan bahwa progres keamanan di Papua sudah membaik.
Esoknya, dengan menumpang pesawat Hercules C-130 TNI-AU, Menko Wiranto dan rombongan menuju Wamena, Kabupaten Jayawijaya. ‘’Kami mengantar pengungsi pulang ke Wamena,’’ kata Wiranto ketika disambut Bupati John Richard Banua di Bandara Wamena. Bersama Wiranto ada 102 orang pengungsi yang kembali ke Lembah Baliem itu.
Di Wamena, Menko Wiranto tampak puas mendengar bahwa kota sejuk itu telah mulai pulih dan dijaga sekitar 6.000 personel TNI-Polri. Sore hari, dia terbang ke Timika untuk bermalam, dan esoknya menemui pengungsi dari Wamena yang terdampar di Timika. Wiranto membujuk agar pengungsi mau kembali ke Wamena yang disebutnya telah aman.
Dari Timika ia terbang kembali ke Jakarta, karena esok harinya ia harus meresmikan auditorium baru di Universitas Mathlaul Anwar, Pandeglang, Banten. Sesuai jadwal, Kamis pagi, Menko Wiranto meluncur ke Pandeglang dengan heli TNI. Titik terdekat pendaratannya ialah alun-alun Menes, kota kecamatan di Pandeglang. Dari Menes, kampus Mathlaul Anwar hanya berjarak 8 km, bisa ditempuh 10 menit dengan mobil.
Usai membawakan kuliah umum dan meresmikan auditorium baru, Menko Wiranto bergegas kembali ke Menes. Di situ sejumlah tokoh masyarakat telah berkumpul menyambutnya. Sempat membetulkan letak peci dan kemeja batik hijaunyanya, mantan Panglima TNI itu keluar mobil lantas menyalami para penyambutnya. Persis saat ia menyalami seorang, seorang berkemeja hitam cepat merangsek sambil menusukkan pisau ke arah perutnya.
Serangan mendadak itu mengakibatkan dua luka di perut kiri, dan salah satunya sedalam 10 cm. Menko Wiranto ambruk. Kapolsek Menes Kompol Dariyanto spontan membekuk pelaku, dan dia diserang dari belakang dengan gunting oleh seorang perempuan dengan burka hitam. Dalam tempo singkat, kedua pelaku dibekuk. Menko Wiranto digotong ke RSU Menes, tapi tak lama ia diterbangkan dengan heli ke ibu kota untuk dibawa ke RSPAD Jakarta.
Setelah menjalani bedah, memotong usus halus yang terluka, sepanjang 30 cm, mantan Panglima TNI itu lolos dari situasi kritis. Jenderal (Purn) Wiranto sempat kehilangan darah tiga liter. Hari berikutnya ia telah sadar dan bisa berkomunikasi, bahkan awal pekan ini, Senin (14/10/2019), kondisinya sudah mulai pulih. Tapi mengapa Jenderal (Purn) Wiranto diincar?
Pelaku penyerangan diketahui sebagai Syahrial Alamsya alias Abu Rara, 51 tahun, dan istrinya bernama Fitria Diana, 21 tahun. Nama Syahrial ternyata sudah ada dalam basis data polisi. Tak lama diperiksa, polisi pun meyakini pelaku adalah anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), organisasi salafi jihadi Indonesia yang berkhidmad pada ISIS. Syahrial berpindah-pindah lokasi. Sebelumnya dia di Kediri, lalu ke Bogor lalu bergeser ke Menes setelah bercerai dengan istrinya yang di Bogor.
Secara hirarkhis, Syahrial di bawah JAD Bekasi. Atas bantuan sesama aktivis JAD, Abu Syamsuddin, yang tinggal di Menes, Syahrial hijrah ke kota kecamatan di Banten itu sejak Februari lalu. Beberapa bulan lalu, ia memboyong istri barunya ke Menes, perempuan muda asal Brebes, Jateng, yang dikenal sebagai Fitria Diana.
Kepada polisi, Syahrial, pria asal Medan itu, mengaku melakukan serangan spontan. Dari rumahnya, ia mendengar raungan heli yang mendarat di alun-alun Menes, 500 meter dari rumah kontrakannya. Syahrial mengaku langsung mengambil keputusan melakukan amaliah, serangan bunuh diri, kepada penumpang helikopter, yang ia yakini pasti pejabat tinggi negara. Ia mengajak serta istrinya.
Tentu, polisi tak percaya begitu saja. Benarkah tak ada rencana serangan? Seraya mendalami kasusnya, polisi melacak jejak digital Syahrial, dan ternyata teman-temannya sedang menyiapkan serangan. Maka, penangkapan dilakukan. Dalam empat hari, 22 orang diringkus dari delapan provinsi. Kelompok teroris salafi-jihadi nyata-nyata tak pernah mati.
Sebagai Menko sejak Juli 2016, Wiranto biasa berdiri di depan dalam menarasikan penegakan hukum terhadap terorisme. Tak heran, bila ia diincar oleh kelompok ini. Ia juga teguh menunjukkan sikapnya menentang aksi-aksi politik yang memakai simbol-simbol khilafah. Bukan rahasia, kalangan prokhilafah ini bermain mata dengan (sebagian) kelompok politk yang mengoposisi Presiden Jokowi. Di dalamnya ada barisan purnawirawan TNI juga.
Tak heran bila Wiranto menjadi target kekerasan. Pascakerusuhan 21-22 Mei 2019, terungkap adanya rencana pembunuhan atas lima tokoh, yang satu di antaranya adalah Wiranto. Di sisi lain, ia pula yang dianggap ikut bertanggung jawab atas apa yang disebut kekerasan terhadap aksi-aksi demo, termasuk yang terjadi pada pekan terakhir September silam.
Pada saat yang sama, sebagai representasi pemerintah dalam urusan polhukam, Wiranto sering dinilai tak berhasil menangani kelompok radikal dan bersenjata di Papua, yang tak saja menimbulkan korban jiwa di kalangan TNI-Polri, tapi juga orang sipil. Kerusuhan brutal di Wamena 23 September, misalnya, menelan korban 32 jiwa, sebagian besar pendatang. Pemerintah dianggap terlalu lembek menangani situasi di Papua. Banyak yang menimpakan rasa ketidakpuasannya kepada mantan Ketua Umum Partai Hanura itu. Sementara itu, Wiranto tak bisa memuaskan semua pihak.
Maka, kabar insiden penyerangan Menko Wiranto pun mengundang reaksi yang beragam, bahkan ada yang keluar dari norma kepatutan, dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat. Wiranto sendiri pernah dikecam sana-sini dan diseret-seret atas kasus kekerasan pada aksi mahasiswa 1998. Ia terantuk isu HAM lagi pada kerusuhan diTimor Timur pasca-Jajak Pendapat di 1999. Peristiwa itu mendorongnya belajar tentang hukum dan HAM, antara lain, ke advokat kondang Adnan Buyung Nasution (almarhum).
Dalam urusan yang terkait isu HAM, seperti pengendalian aksi demo dan penanganan teroris, Wiranto mau tampil di depan, meski kewenangannya terbatas. Ia hanya mengkoordinasikan, mensinkronisasikan, dan mengawasi, kementerian, badan atau lembaga yang ada di bawahnya seperti TNI, Polri, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, dan seterusnya. Menko tak punya kewenangan eksekusi kebijakan. Toh, Jenderal (Purn) Wiranto tak mau lari dari rantai komandonya dan siap mengambil risiko apapun.
Comment