by

PARASIT TOXOPLASMA BUKAN HANYA DARI KUCING

MARGOPOST.COM | Pemelihara hewan kesayangan terutama pada yang sering kontak dengan kucing, kemungkinan dapat terjangkit Toxoplasma gondii. Higiene perorangan merupakan salah satu cara pengendalian berbagai macam penyakit salah satunya untuk mencegah Toksoplasmosis. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan keterpaparan terhadap kucing, higiene perorangan yang meliputi kebiasaan cuci tangan, kebiasaan menggunakan APD dan kebiasaan membersihkan tempat tinggal dengan kejadian toksoplasmosis.

Toxoplasmosis merupakan suatu penyakit zoonosis, yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang ditularkan melalui kucing sebagai hospes definitif dan dapat juga menginfeksi famili unggas. Hal ini terjadi karena unggas menelan makanan yang telah terinfeksi oleh ookista dari Toxoplasma gondii. Unggas yang paling banyak dikonsumsi yaitu ayam. Toksoplasmosis bersifat asimptomatik dengan gejala non spesifi k dan mirip gejala penyakit lainnya. Kucing merupakan host defi nit Toxoplama gondii. Kotoran kucing mengandung ookista infektif bagi manusia. Pemeriksaan toksoplasmosis pada manusia dapat dilakukan dengan uji serologi untuk melihat kadar imunoglobulin M (IgM) dan imunoglobulin G (IgG) anti toksoplasmosis. Kata kunci: Toxoplasmosis, Toxoplasma gondii, kucing, ungags, immunoglobulin.

 

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai. negara tropis dan berkembang masih mempunyai banyak permasalahan penyakit yang bersifat endemik pada hewan maupun manusia. Mikroorganisme yang menyebabkan pencemaran. biologi seperti bakteri, jamur, cacing, virus, dan parasit merupakan sebab terjadinya berbagai macam penyakit infeksi. Berbagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit merupakan penyakit yang menjadi permasalahan serius. Akan tetapi, penyakit akibat infeksi yang diakibatkan parasit kurang memperoleh perhatian dari sebagian masyarakat. Hal tersebut disebabkan antara lain sifat penyakit yang tidak mengancam jiwa dan tidak mengganggu, sehingga masyarakat cenderung mengabaikan dan mulai menyadari ketika penyakit sudah memasuki fase kronis (Sardjono 2009).

Salah satu penyakit infeksi Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit protozoa Toxoplasma gondii yaitu suatu parasit intraselluler yang banyak terinfeksi pada manusia dan hewan peliharaan, hal tersebut terjadi akibat keberadaan manusia yang tidak terlepas dari hewan. Munculnya penyakit toksoplasmosis sumber utamanya dapat berasal dari hewan peliharaan famili Felidae termasuk kucing. Protozoa tersebut hidup di dalam sel usus muda Felidae sebagai hospes definitif, dan pada ookistanya dikeluarkan bersama tinja Felidae. Tinja kucing yang mengandung jutaan ookista yang dapat bertahan bertahun-tahun di alam. Manusia yang kontak dengan tubuh kucing yang terdapat ookista Toxoplasma gondii ataupun makan makanan yang terkontaminasi akan terinfeksi oleh parasit tersebut (Chahaya 2010).

Keberadaan adanya parasit protozoa Toxoplasma gondii pada kucing, diketahui bahwa dalam tubuh kucing menghasilkan ookista 31.200.000. ookista setelah mengonsumsi jaringan mencit yang mengandung kista Toxoplasma gondii. Hospes perantara yang mudah terinfeksi selain menyerang pada kucing, penyakit ini juga dapat menyerang pada sapi, kambing, domba, babi, kerbau, anjing karena hewan berdarah panas bahkan juga dapat menyerang manusia (Sasmita 2006). Public Health Agency of Canada, 2011 menyatakan bahwa infeksi Toxoplasma gondii diperkirakan 15%-85% pada orang dewasa di dunia (Krihariyani 2015). Prevalensi Toksoplasmosis di Indonesia berkisar antara 2%-88% yang tersebar di seluruh kepulauan yang ada di Indonesia. Diperkirakan adanya peningkatan prevalensi tersebut karena adanya perubahan pola hidup yang ada pada masyarakat saat ini. Peningkatan toksoplasmosis di Indonesia. ditunjang juga dengan masih adanya keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik dan banyaknya sumber penularan terutama kucing dan. famili Felidae. (Soedarto 2012; Aditama et al., 2016).

Pada penderita orang dewasa Toksoplasmosis sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis (asimptomatis) yang jelas sehingga dalam menentukan diagnosis penyakit toksoplasmosis sering terabaikan. Pemeriksaan serologi merupakan pemeriksaan yang paling banyak digunakan untuk mendiagnosa toksoplasmosis di Indonesia. Dasar pemeriksaan serologis ini adalah antigen toksoplasmosis bereaksi dengan antibodi spesifik toksoplasmosis yang berada dalam serum darah penderita (Basri 2017). Gejala klinis yang umumnya dirasakan oleh penderita adalah keluhan pada pencernaan seperti mual dan muntah, sesak nafas, lemas, sakit kepala, nyeri otot, dan anemia. Infeksi toksoplasmosis pada individu dengan permasalahan immunodefisiensi akan mengakibatkan manifestasi penyakit dari stadium ringan hingga berat tergantung pada immunodefisiensi yang dirasakan (Chahaya 2010).

Pada ibu hamil yang menderita toksoplasmosis gejala penyakit ini tampak jelas karena dapat mengalami abortus (keguguran), janin lahir mati atau bayi yang dilahirkan menunjukkan gejala toksoplasmosis. Hal tersebut dikarenakan parasit dapat menyebabkan kerusakan organ dan sistem syaraf bayi pada Ibu hamil yang terinfeksi Toxoplasma. gondii. Pada trimester pertama kehamilan umumnya mengalami abortus atau janin lahir mati. Infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada trimester terakhir kehamilan akan menyebabkan bayi yang dilahirkan menunjukkan gejala toksoplasmosis antara lain berupa. ensefalomyelitis, kalsifikasi serebral, korioretinitis, hidrosefalus. atau mikrosefalus (Soedarto 2012).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang dalam bidang kesehatan maka upaya untuk diagnosis toksoplasmosis semakin banyak dan beragam. Diagnosis toksoplasmosis dapat dilakukan secara serologi dan non serologi atau berdasarkan morfologi. Diagnosis serologis umumnya sering digunakan karena dinilai lebih praktis dibandingkan uji morfologi. Diagnosis non serologi merupakan pemeriksaan morfologi dengan menggunakan mikroskop. Diagnosis morfologi digunakan untuk mengidentifikasi ada dan tidaknya Toxoplasma gondii dengan jumlah sample sedikit. Teknik diagnosis morfologi sifatnya subjektif dan kualitatif, diagnosis ini digunakan untuk mengidentifikasi terkait ookista, takizoit, serta kista yang terdapat pada bradizoit (Subekti et al., 2010).

 

TOXOPLASMOSIS PADA HEWAN

Toxoplasmosis merupakan suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasama gondii. Infeksi Toxoplasma gondii menyebar pada sebagian besar penduduk dunia, tapi sedikit saja yang bermanifestasi klinis secara nyata (Widagdo 2012). Seropositivitas dari Toxoplasma gondii di daerah Amerika Tengah, Pasifik Selatan serta Eropa Barat mencapai angka 90% pada empat dekade terakhir (Foster 2007). Pada mayoritas populasi manusia, seroprevalensi parasit meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan bervariasi pada jenis kelamin. Ookista juga hidup lebih lama di lingkungan dengan tingkat kelembaban tinggi dan pada daerah dengan ketinggian rendah. Infeksi penyakit ini mempunyai prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada masyarakat yang mempunyai kebiasaan makan daging mentah atau kurang matang.

Di Indonesia faktor-faktor tersebut disertai dengan keadaan sanitasi lingkungan dan banyaknya sumber penularan terutama kucing dan famili Felidae (Hendri 2008). Dinamika kasus toxopolasmosis di Indonesia cukup sulit diikuti secara tepat karena surveilans yang reguler tidak diprogramkan dengan terencana. Prevalensi toxopolasmosis pada kucing berkisar antara 5,56%-40%, pada kambing 23,5%-60%, pada domba 32,18%-71,97%, pada sapi 36,4%, pada kerbau 27,3%, dan pada babi 28%-32%. Secara serologis, kasus toxopolasmosis pada manusia tergolong sangat tinggi yaitu di atas 40% (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2014).

Toxoplasmosis pada hewan banyak menimbulkan kerugian ekonomi yang penting. Hal ini disebabkan karena dapat menyebabkan abortus, kematian dini dan kelainan kongenital, serta biaya pemeliharaan yang sangat besar pada suatu usaha peternakan rakyat dan skala industri (Nurcahyo 2012). Alasan untuk mengontrol lebih ketat dilakukan dengan langkah-langkah untuk mencegah toksoplasmosis yang ditekankan pada masalah penyakit dan ekonomi (Kijlstra dan Jongert 2008). Kasus yang terjadi pada tahun 2002 di Jakarta, menunjukkan lebih dari 90% perempuan usia subur yang diperiksa menunjukkan serum positif terhadap Toxoplasma gondii. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa ibu yang mengalami keguguran menunjukkan prevalensi toksoplasmosis sebesar 21,5% sedangkan yang mengalami kelahiran mati bayi menunjukkan prevalensi sebesar 22,8% (Soedarto 2012).

Kasus toxoplasmosis pada wanita hamil bisa menyebabkan terjadinya keguguran, lahir mati dan kelainan kongenital. Akibat dari keguguran pada kesehatan ibu adalah kematian mendadak akibat perdarahan. Perdarahan tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara mendadak, bertanggung jawab atas 28% kematian ibu (Bappenas 2010). Hewan paling potensial sebagai sumber infeksi utama Toxoplasma gondii yaitu anjing dan kucing. Hal ini disebabkan karena hewan ini secara umum hidup bebas dan makan daging mentah yang mengandung tropozoit (Rampengan 2008). Kucing akan terkena infeksi ketika menelan sekitar 20 juta ookista dalam waktu singkat yaitu 2 minggu, sebelum terbentuk respon imun protektif yang kuat yang akan meminimalisir pecahnya ookista di dalam tubuh hospes. Ookista yang keluar melalui feses dapat mengkontaminasi lingkungan, makanan dan memberikan rute yang efektif untuk infeksi pada manusia dan bahan pangan asal hewan seperti daging (Weiss dan Kim 2007).

Infeksi Toxoplasma gondii telah ditemukan pada famili unggas yaitu ayam, kalkun, itik serta berbagai jenis burung liar. Penularan pada ayam ditemukan sebesar 19,6%-24% dan pada itik 6,1% (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2014). Rantai infeksi terjadi ketika unggas menelan ookista yang berada di lingkungan, ataupun pada tempat pakan unggas. (Soedarto 2012). Unggas merupakan sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi di masyarakat Indonesia. Angka statistik menunjukkan 62% orang Indonesia mengkonsumsi unggas sebagai bahan dasar makanan sebagai sumber protein hewani (Yaman 2010). Salah satu jenis unggas yang paling banyak dikonsumsi yaitu ayam, karena mudah diperoleh dan mudah didapat. Laju perkembangan usaha ayam sejalan dengan pertumbuhan populasi penduduk, pergeseran gaya hidup, tingkat pendapatan, perkembangan situasi ekonomi, politik serta keamanan.

Perkembangan usaha ayam ditunjang oleh pergeseran taraf dan gaya hidup masyarakat Indonesia yang cenderung mengarah ke kehidupan modern. Dewasa ini dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak semakin majunya pemikiran manusia akan pentingnya penyediaan protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan (Masyita et al., 2014). Komposisi nutrisi yang cukup membuat ayam menjadi salah satu sumber konsumsi paling banyak di masyarakat. Populasi ayam ras pedaging (broiler) dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini meningkat dengan pesat. Konsumsi daging ayam ras meningkat sebesar 10,20%, sementara pengeluaran per kapita daging ayam buras hanya meningkat 1,36%. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia lebih banyak mengkonsumsi daging ayam ras dibandingkan dengan daging ayam buras. Hal ini disebabkan oleh faktor harga daging ayam ras jauh lebih murah dibandingkan dengan daging ayam buras (Pusat Data dan Informasi Sistem Pertanian 2014). Ayam ras diternak dengan cara dikandangkan dan diberi makan oleh peternak. Kondisi kandang yang kurang bersih karena kotoran ayam dan sisa-sisa makanan membuat lalat berterbangan dan hinggap di sekeliling kandang. Lalat merupakan salah satu hewan yang berperan dalam penyebaran Toxoplasma gondii, dan dimungkinkan menyebarkan Toxoplasma gondii dengan cara membawa ookista dari parasit tersebut dan mencemari pakan dari ayam ras. Ookista yang tertelan oleh ayam akan berkembang menjadi kista dan menetap dalam tubuh ayam dan akan menginfeksi organ-organ dari ayam. Bentuk kista banyak ditemukan pada organ, terutama otak, otot skelet dan jantung (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2014).

Sistem pemeliharaan pada ayam menentukan kejadian toxoplasmosis, pada pemeliharaan intensif kejadian toxoplasmosis pada ayam dapat ditekan dibanding dengan sistem pemeliharaan ekstensif. Penularan pada ayam dimungkinkan akan mempunyai potensi penularan juga pada manusia ketika dikonsumsi dengan cara pengolahan yang kurang benar (Mufasirin 2008). Manusia punya potensi terinfeksi secara postnatal apabila menelan kista parasit yang terkandung pada daging yang mentah atau kurang dimasak dengan sempurna. Hasil dari beberapa penelitian mengatakan bahwa kebiasaan makan merupakan salah satu faktor terjadinya infeksi parasit tersebut. Ayam merupakan salah satu contoh menu makanan yang sering dikonsumsi oleh manusia. Kebiasaan manusia yang sering mengkonsumsi ayam dalam olahan sate dan makan daging organ visceral merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan manusia terinfeksi Toxoplasma gondii. Hal ini dikarenakan biasanya sate disajikan dengan dibakar dan dalam kondisi yang belum matang sempurna.

Toxoplasma gondii relatif jinak pada umumnya, karena parasit beradaptasi baik terhadap hubungan tuan rumah dan parasit, menimbulkan infeksi laten dan jarang menimbulkan gangguan serius, serta bersifat asimtomatis (Natadisastra 2009). Kekebalan humoral biasanya muncul dalam waktu 1 sampai 2 minggu dan kekebalan seluler baru terbentuk 2 sampai 4 minggu kemudian. Kekebalan humoral maupun seluler sangat penting artinya pada infeksi Toxolasmosis (Komariah dan Susanto 2010). Manifestasi klinis yang paling sering terjadi pada orang dewasa berupa limfadenopati lokal atau umum, superfisial atau dalam, yang biasa diserang kelenjar leher (Wulandari 2017). Tahap infeksi primer menunjukkan manifestasi yang bervariasi dan dipengaruhi oleh kondisi imun dari host dan cara kejadian infeksi. Toxoplasmosis yang didapat pada anak dengan kondisi imun yang normal mungkin tidak memperlihatkan manifestasi adanya penyakit.

Infeksi Toxoplasmosis kongenital pada menyebabkan bayi menderita retinochoroiditis, kalsifikasi serebral, dan kadang-kadang hidrosefalus atau mikrosefalus serta gangguan psikomotor. Bentuk umum dari Toxoplasmosis kongential ditandai dengan adanya limfadenitis, demam, sakit kepala dan sakit otot (Natadisastra 2009). Infeksi pada otot jantung dan otot bergaris tanpa menimbulkan peradangan, pada alat tubuh lainnya, seperti limpa dan hati, parasit lebih jarang ditemukan (Sutanto 2008). Angka kejadian toxoplasmosis berbeda di setiap negara. Penderita toxoplasmosis di Amerika Serikat dilaporkan mencapai presentase 5-30% pada kelompok umur 10-19 tahun dan 10-67% pada kelompok umur di atas 50 tahun (Rampengan 2008). Hal ini menjadi begitu penting sehingga perlu adanya perhatian mengenai penularan Toxoplasmosis. Potensi penularan yang dapat terjadi menjadikan permaalahan ini perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi Toxoplasma gondii stadium kista pada otak ayam ras sebagai salah satu sumber penularan infeksi Toxoplasma gondii.

 

PENUTUP

Ada hubungan higiene perorangan (kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan menggunakan APD dan kebiasaan membersihkan tempat tinggal) dengan kejadian toksoplasmosis. Menjaga kebersihan tangan dan kuku seperti cuci tangan setelah kontak dengan kucing dan terutama sebelum makan untuk mengurangi kemungkinan menempelnya ookista pada tangan, serta memotong kuku secara rutin minimal satu kali dalam seminggu, memakai APD (Alat Pelindung Diri) seperti masker dan sarung tangan ketika membersihkan habitat kucing atau kontak dengan kucing, dan menjaga kebersihan rumah dan halaman rumah dengan cara menyapu dan mengepel rumah minimal sekali dalam sehari, agar terhindar dan mencegah dari kontaminasi oleh adanya parasit penyebab berbagai penyakit termasuk toxoplasma gondii yang dapat menyebabkan Toksoplasmosis.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *