by

Mereka yang Terpaksa Mendua

Ketidakmampuan beradaptasi dengan sangat cepat, kemampuan bertahan hidup yang harus meningkat dalam waktu singkat, seringkali hanya menyisakan sedikit saja, dari begitu banyak keragaman kelompok orang-orang yang terisolasi.

MARGOPOST.COM | PAPUA – Tanggal 4 Desember 2012, sebuah helikopter terbang dari Merauke ke arah utara. Dia menempuh 230 mil atau sekitar 370 km penerbangan menuju sebuah lapangan pendaratan berlumpur yang belum selesai. Lapangan itu terletak di tengah-tengah hutan yang berada dalam wilayah orang-orang Korowai.

Rupert Stasch, antropolog dari Cambridge, mencatat peristiwa itu dalam tulisannya yang berjudul From Primitive Other to Papuan Self; Korowai Engagement with Ideologies of Unequal Human Worth in Encounters with Tourists, State Officials and Education. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kurang lebih berarti Tampil Primitif di Luar, Menjadi Papua di Dalam; Cara Orang Korowai Menghadapi Cara Pandang Manusia yang tidak Setara Saat Bertemu dengan Turis, Petugas Negara, dan Institusi Pendidikan.

Rupert Stasch, 48 tahun adalah sarjana antropologi lulusan University of Chicago, Amerika Serikat. Dia menyelesaikan program doktoralnya pada 2001 di universitas yang sama. Dia kemudian bergabung dengan University of California di San Diego pada 2008. Januari 2015, dia pindah menjadi pengajar  di University of Cambridge, Inggris.

Kejadian itu ditulis Rupert dalam serial monograf antropologi yang diterbitkan oleh Australian National University Press pada 2015. Bertemunya beberapa orang yang ada dalam helikopter itu dengan orang-orang Korowai adalah peristiwa yang menjadi perhatian Rupert. Korowai adalah sebutan bagi sekelompok masyarakat di bagian tengah selatan dataran Papua dengan jumlah sekitar 4.000 orang.

Nama Korowai sendiri, sebenarnya adalah nama yang disematkan oleh orang luar. Nama itu diberikan oleh seorang misionaris dari organisasi gereja reformasi Jerman, yang pertama kali kontak dengan masyarakat yang telah lama terisolasi dari dunia global tersebut. Begitu menurut Rupert Stasch dalam sebuah artikel yang ditulis Indopos.co.id pada 27 September 2017.

Minat pertama Rupert bermula ketika dia membaca buku berjudul The Korowai of Irian Jaya; Their Language in Its Cultural Context. Buku ini disusun Geerit Van Enk dan Lourens de Dris. Kedua orang inilah, peneliti dan linguis, yang berasal dari organisasi gereja reformasi ZGK, Jerman.

Sejak saat itu Rupert mulai melakukan penelitiannya. Diawali dengan belajar bahasa Indonesia sejak 1993 di Makassar, dia lalu melanjutkan dengan berkunjung ke beberapa tempat di Papua untuk menyesuaikan dengan lokasi penelitiannya.

Tahun 1995 Rupert baru bisa melakukan penelitian langsung ke pedalaman Papua. Dia tinggal hampir satu tahun lamanya, yakni mulai September 1995 sampai Agustus 1996. Pada wartawan Indopos.co.id dia mengatakan, alasan memilih Korowai karena belum banyak diteliti.

Setelah selesai melakukan penelitian itu karir Rupert pun berkembang pesat. Pada sekitar 1998 dia sudah mengajar di almamaternya dan tahun 2001dia resmi mendapatkan gelar doktoralnya. Saat wawancara dengan Indopos, Rupert sedang menjalankan penelitian yang dibiayai oleh Yayasan Aminef Jakarta.

Menari di Depan Rombongan

Masyarakat Korowai dalam penelitan Rupert adalah masyarakat yang telanjur dikenal dunia karena arsitektur “rumah pohonnya”. Seperti banyak kisah lain tentang kontak pertama suku-suku di Papua dengan masyarakat global, yang menjadi perhatian publik pada umumnya adalah persoalan keterasingan atau isolasi orang Papua dengan masyarakat global. Isolasi ribuan tahun membuat masyarkat Papua memiliki budaya yang dinilai masih memperlihatkan ciri-ciri masyarakat “zaman batu”.

Segala macam kekhasan itulah yang membuat ekspedisi helikopter pada 2012 itu menjadi sangat tidak biasa dalam catatan Rupert. Orang-orang yang berada dalam rombongan itu adalah orang-orang dari Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat disingkat UP4B. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono membentuk unit ini pada 2011.

Lapangan tempat mendarat yang dipersiapkan bagi rombongan telah dibangun sejak dua tahun sebelumnya. Pembuatnya adalah orang-orang Dani bagian barat yang tergabung dengan GIDI atau Gereja Injil di Indonesia yang telah menjalankan misinya di Korowai sejak 2005. Mereka jugalah yang menjadi penghubung kedatangan rombongan UP4B.

Helikopter pun mendarat. Rombongan pun segera disambut dengan tarian sambutan. Tarian itu adalah kombinasi berbagai gerakan disertai pekikan dan lengkingan tinggi yang teratur. Sesakali mereka memeragakan gerakan menarik busur panah atau mengayunkan tombak. Para penari itu hanya mengenakan koteka, pakaian tradisional yang hanya menutup kelamin dengan sejenis labu yang diikat tali.

Yang tidak diketahui oleh rombongan adalah para penari itu sebenarnya hanya mengenakan koteka karena ada acara penting. Sedangkan dalam kesehariannya, mereka memakai baju seperti halnya orang Indonesia pada umumnya. Mereka baru mengganti kostum pada pagi hari, sebelum rombongan datang.

Kecanggungan Peradaban

Bagi Rupert, kejadian kontak antara dua rombongan yang berasal dari dua dunia yang berbeda benar-benar memilukan. Kontak itu tentu saja terjadi antara dua orang kelompok manusia yang sangat sedikit mengetahui latar belakang satu dengan lainnya. Tarian koreografi “primitif” yang dilanjutkan dengan upacara simbolik penyerahan kapak batu agar digantikan dengan alat tebang yang lebih modern adalah sebuah pertunjukan kecanggungan peradaban.

Bagi orang Korowali, pertunjukan tari sambutan yang tidak semestinya, hanyalah semacam permakluman saja. Mereka paham bahwa hanya dengan cara itu kontak dengan orang-orang pemerintah, yang bisa membawa “keuntungan”, bisa dilakukan. Padahal jika dilihat dengan lebih semestinya, orang-orang Korowai yang telah lama diteliti oleh Rupert adalah orang-orang yang memandang diri mereka dan sesamanya sebagai orang-orang yang setara.

Dalam budaya Korowai, antara orang satu dengan orang lain atau antara kelompok satu dengan kelompok lain di lingkup mereka tidak ada pembedaan tingkatan sosial. Semuanya sama. Saat menyerahkan kapak batu dengan menyebut kepala rombongan dengan kata-kata “bos”, para penari Korowai sadar sepenuhnya bahwa itu hanyalah aksi pertunjukan biasa.

Mereka telah lama mengalami proses perubahan kebudayaan terutama sejak kontak dengan para penginjil yang telah membawa perubahan sejak kontak pertama di awal 80-an.

Sekadar Berperan Primitif

Tiga puluh tahun lebih sejak kontak pertama orang-orang Korowai dengan dunia global telah membawa perubahan yang sangat cepat. Rupert mencatat bahwa orang-orang Korowai selama ini telah menjadi objek dari “pariwisata primitif” yang berkembang.

Ribuan orang telah datang ke wilayah ini, dari Eropa, bekas koloni Eropa, dan Asia Tenggara. Dan saat orang Korowai bertemu dengan para pendatang yang suka menonton, mereka kemudian mengembangkan ide-ide bertingkah “primitif” yang memang digemari.

Bahkan media sekelas National Geografic, dalam beberapa tahun terakhir masih menayangkan film dokumenter yang menceritakan tentang kunjungan wisatawan super kaya yang datang ke Papua dengan yacht berkapasitas besar. Mereka datang dalam sebuah hotel terapung yang menyediakan restoran dan anggur yang siap dinikmati di sebelah kolam renang.

Dengan mengenakan kacamata antiultraviolet, pelindung kulit, dan kamera, mereka berkunjung ke wilayah-wilayah orang-orang Papua seperti Korowai, Asmat, atau Dani, dengan dibimbing pemandu wisata sekaligus pelatih kebugaran. Mereka melihat tari-tarian sambutan dan lingkungan asli orang Papua, seperti orang kaya abad 19 yang mengunjungi pameran keajaiban dunia dalam tobong-tobong yang dipersiapkan di kota Paris.

Hal inilah yang membuat Rupert Stasch prihatin. Sudah seharusnya masyarakat dunia melihat Papua dengan kacamata yang lebih beradab. Kata ‘beradab’ sendiri sepertinya juga tidak terlalu pantas untuk menceritakan dua dunia yang memang sangat berbeda.

Dalam dunia global, segala macam standar peradaban telah membuat manusia memiliki standar-standar kehidupan yang dianggap layak. Sedangkan buat orang-orang Korowai, apa yang sedang terjadi sebenarnya, sangat cepat dan terlalu cepat.

Apa yang terjadi dengan orang-orang Indian di Amerika Serikat, atau orang-orang Aborigin di Australia adalah sebuah pelajaran yang seharusnya bisa menjadi pegangan saat bertemu dengan orang-orang yang ribuan tahun sebelumnya mengalami isolasi dengan dunia global.

Ketidakmampuan beradaptasi dengan sangat cepat, kemampuan bertahan hidup yang harus meningkat dalam waktu singkat, seringkali hanya menyisakan sedikit saja, dari begitu banyak keragaman kelompok orang-orang yang terisolasi. Jumlah yang semakin menyusut, tempat bermukim yang semakin terpencil adalah sebuah potret hukum peradaban yang berjalan di atas pemusnahan keberagaman.

Jared Diamond mencatat bahwa kekalahan orang-orang yang terisolasi seringkali bukan karena senjata. Orang-orang yang terisolasi dari dunia global kerap tidak mampu bersaing ketika harus mengubah gaya hidup lamanya.

Saat dia bertemu dengan orang-orang Papua tiga puluh tahun setelah penelitian dia yang terakhir, dia menyadari saat ini mungkin sudah lebih banyak orang Papua yang meninggal karena serangan jantung, dan diabetes. Padahal selama Jared Diamond menjalankan penelitian di tahun 80-an dia sangat jarang bahkan tidak pernah menjumpai kasus serupa itu.

Ketika Jared Diamond bertemu orang-orang Papua beberapa tahun terakhir di Bandara Port Moresby, dia menjadi maklum bahwa sekarang orang Papua sudah lebih banyak tampil dengan perut buncit akibat kebanyak memakan nasi, hal yang tidak pernah dijumpai saat dia meneliti orang Papua, tiga puluh tahun lalu yang rata-rata berotot dan berperut rata.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *