by

Menciptakan Nilai Ekonomi Baru bagi Sampah Plastik

MARGOPOST.COM  | — Intinya mengubah cara pandang terhadap plastik kemasan bekas pakai, tidak sebagai sampah, tapi sebagai sebuah komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan

Pengelolaan sampah dari hulu yang salah, menjadikan hasil akhir di tempat penampungan pun menjadi tidak terkelola dengan baik. Pemisahan antara sampah organik dan nonorganik yang seharusnya mudah dilakukan, pun menjadi rumit.

Tak dipungkiri, masalah itu adalah salah satu faktor kunci dalam melahirkan solusi pengelolaan sampah, seperti halnya plastik bekas produk kemasan, terletak pada sinergi semua stakeholder untuk ikut terlibat dalam membangun tata kelola persampahan yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Packaging and Recycling Alliance for Indonesia Sustainability Environment (PRAISE) menyebutkan bahwa salah satu pendekatan yang harus dikembangkan adalah pengelolaan berkelanjutan melalui pendekatan Circular Economy.

Ekonomi melingkar ini intinya mengubah cara pandang terhadap plastik kemasan bekas pakai, tidak sebagai sampah, tapi sebagai sebuah komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan.

Material kemasan bekas pakai, misalnya, plastik kemasan dapat terus dipertahankan nilainya serta dimaksimalkan penggunaannya melalui proses daur ulang (recycling), penggunaan kembali (reuse) ataupun produksi ulang (remanufacture), sehingga selain menciptakan, juga menciptakan rantai ekonomi baru, serta juga akan meminimalisir beban lingkungan ke alam seperti tempat pembuangan akhir atau bahkan lautan.

Pendapat yang sama juga pernah diungkapkan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam satu kesempatan di Karanganyar, Jawa Tengah, belum lama ini. Menurutnya, tren global dengan pendekatan economic circular perlu dilakukan di Indonesia karena memberi pengaruh positif bagi lingkungan dan sesuai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).

“Oleh karena itu, salah satu dari 10 prioritas nasional di dalam inisiatif Making Indonesia 4.0 adalah mengakomodasi standar-standar keberlanjutan. Konsep circular economy dapat meningkatkan nilai tambah di dalam negeri,” ujar Airlangga.

Adapun, prinsip utama dalam konsep ekonomi berkelanjutan adalah 5R, yaitu pengurangan pemakaian material mentah dari alam (reduce), optimasi penggunaan material yang dapat digunakan kembali (reuse), penggunaan material hasil dari proses daur ulang (recycle), proses perolehan kembali (recovery), atau dengan melakukan perbaikan (repair).

Konsep ekonomi berkelanjutan, jelas Airlangga, memungkinkan sebuah produk yang telah digunakan konsumen untuk didaur ulang kembali. Implementasi konsep tersebut menurutnya dapat meningkatkan daya saing manufaktur di masa depan.

“Upaya yang dapat dilakukan, di antaranya melalui efisiensi penggunaan sumber daya, penerapan teknologi rendah karbon, penerapan 3R hingga 5R, minimisasi limbah, dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK),” imbuhnya.

Jadi Musuh Bersama

Dalam konteks ini, keberadaan sampah plastik sudah seharusnya menjadi musuh bersama. Gerakan masif untuk menanggulangi serbuan sampah yang butuh waktu ratusan tahun agar bisa terurai, harus terus digeber.

Berdasarkan data di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sekitar 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan oleh masyarakat Indonesia setiap tahun. Dari jumlah itu, hampir 95% menjadi sampah. Padahal, sampah plastik ini tidak dapat diurai ke lingkungan secara mudah, prosesnya bahkan hingga ratusan tahun.

Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati menyebutkan, jumlah timbunan sampah kantong plastik terus meningkat secara signifikan dalam 10 tahun terakhir.

Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia menempati urutan kedua penyumbang sampah plastik ke laut terbesar di dunia. Catatan yang diterima Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, volume sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton setiap tahun.

Dari jumlah tersebut, sekitar 3,2 juta ton bermuara ke laut. Sampah plastik yang mengalir ke laut selanjutnya terbelah menjadi partikel-partikel kecil atau microplastics. “Microplastics ini sangat mudah dikonsumsi oleh hewan-hewan laut,” ungkap Susi, tahun lalu.

Tidak ada jalan lain, untuk mengurangi pasokan sampah plastik. Benar, penggunaan plastik harus ditekan. Salah satu usulan langkahnya adalah menghentikan penggunaan plastik sekali pakai.

Usulan lembaga nirlaba Greenpeace Indonesia pernah melakukan audit lingkungan yang dilakukan bersama sejumlah komunitas lokal pada September tahun lalu di tiga lokasi yakni Pantai Kuk Cituis (Tangerang), Pantai Pandansari (Yogyakarta), dan Pantai Mertasari (Bali).

Audit itu menemukan ada 797 merek dari sampah plastik ditemukan di tiga lokasi itu. Sebagian besar adalah merek makanan dan minuman yaitu sebanyak 594 merek, merek perawatan tubuh (90), kebutuhan rumah tangga (86) dan lain-lainnya (27). Dari tiga lokasi itu, mereka menemukan sebanyak 10.594 kemasan.

Sampah plastik tersebut bisa berasal dari masyarakat sekitar serta dari tempat yang jauh yang kemudian terbawa arus. Bahkan, mungkin kita juga pernah menemukan sampah plastik yang sudah tidak terlihat mereknya. Ini mengindikasikan bahwa sampah tersebut sudah lama terbuang dan berada di lingkungan tersebut.

Menurut catatan Greepeace, secara global, hanya 9% sampah plastik yang didaur ulang dan 12% dibakar. Dengan kata lain, 79% sisanya berakhir di tempat-tempat pembuangan maupun saluran-saluran air seperti sungai yang bermuara ke lautan.

Merujuk pada UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah khususnya Pasal 15, produsen harus bertanggung jawab atas sampah kemasan, terutama dengan mengubah model bisnisnya untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan kemasan plastik sekali pakai.

Tentu, pemerintah punya kewenangan untuk memaksa produsen mengurangi penggunaan plastik apalagi yang sekali pakai. Beberapa kementerian secara intenal, seperti KKP, KLHK, dan Kemenperin sudah melakukan kampanye pembatasan penggunaan plastik.

Begitu juga dengan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten atau kotamadya bahkan sudah mengeluarkan ketentuan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai. Salah satunya adalah Pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018. Ada tiga bahan terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik yang dilarang, yakni kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik.

Dari sisi kampanye, sejak Juni 2018, Kementerian LHK sudah mengampanyekan aksi mengatasi sampah plastik. Dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia pada 5 Juni tahun lalu, tema yang digelorakan adalah Kendalikan Sampah Plastik.

Menggandeng dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, ditandatanganilah deklarasi bersama soal pengendalian sampah plastik tersebut. Namun itu tentu tak cukup. Perlu ada ksesadaran bersama untuk memerangi sampah plastik itu.

Dan yang juga penting, pemerintah harus berani juga menindak pelanggar ketentuan terkait dengan penggunaan sampah plastik termasuk dengan memberikan kartu—baik kuning maupun merah./RD

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *