by

Janetes Belajar Mengetuk Pintu Pasar

Anggur lokal kalah pamor dari jenis impor. Berbagai varietas unggul ditawarkan pemerintah tak dilirik petani dan tak disambut pasar. Kini Janetes SP-1 siap mengadu peruntungannya di lapangan

MARGOPOST.COM | JAWA TIMUR – Manis dan bawaannya mengajak orang tertawa gembira. Sensasi itu yang dirasakan Menteri Pertanian (Mentan) Syahril Yasin Limpo ketika mencicipi buah anggur varietas baru yang dikembangkan di kebun Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) di Grati, Pasuruan, Jawa Timur. Yasin Limpo mengasosiasikan sensasi ini dengan sosok lucu cucu pertama Presiden Joko Widodo, Jan Ethes Srinarendra. Maka, nama Jan Ethes pun disematkan untuk varietas anggur baru itu menjadi Janetes.

Jadilah, varietas anggur ini Janetes SP1, dan kode SP-1 itu sendiri menunjuk sebagai varietas pertama dari galur yang ada. Janetes ini memang menggemaskan. Kulitnya bersih warna hijau anggur, semanis anggur Prancis atau Spanyol, genjah (cepat tumbuh) dan produktif. Satu pohon bisa menghasilkan 25 kg setahun. Dengan potensi agronomisnya yang kuat dan dibekali nama Janetes yang kondang, varietas baru diharapkan punya daya tendang untuk mendobrak pasar yang didominasi anggur impor.

Memang, nama Janetes itu bisa juga mengundang tafsiran politik. Sebelum bergulir lebih jauh, Kepala Balitjestro Herwanto menjamin bahwa penamaan itu tak akan mengaburkan nama-nama penelitinya. Bahkan, pendaftaran hak cipta ke Ditjen Kekayaan Intelektual di Kemenkum-HAM juga atas nama para penelitinya.

Nama varietas lebih dimaksudkan untuk memudahkan urusan sosialisasinya. Orang dekat presiden pun biasa dipinjam untuk tujuan tersebut. Di era Gus Dur ada varietas padi Sintanur dan pada masa Presiden Megawati ada varietas Fatmawati, nama ibunda dari Megawati.

Balitjestro sendiri sudah menghasilkan sejumlah varietas. Ada varietas buah anggur hijau bening Jestro-AG60 (2009), anggur merah Jestro-Ag5 (2009), Jestro-Ag86 (2015) warna unggu tua, di samping varietas yang telah cukup lama dikoleksi Balitjestro seperti Probolinggo Biru-81, Bali, Kediri Kuning, Probolinggo Super, dan Prabu Bestari, yang semuanya telah teruji untuk daerah tropis seperti Indonesia. Toh, areal penanaman anggur lokal ini tetap saja di wilayah yang amat terbatas. Harga anggur lokal itu pun masih di bawah anggur impor dari grade terbawah. Perlu siasat khusus dalam pemasarannya.

Sentra anggur selama ini secara terbatas ada di Jawa Timur (Kediri, Probolinggo, Pasuruan, Situbondo), Buleleng (Bali) dan Kupang (NTT). Beberapa tempat di Jawa Tengah juga terbukti bisa menjadi habitat anggur seperti di Tegal, Pekalongan, dan Ambarawa. Sejak zaman kolonial dulu di situ telah berkembang anggur varietas Isabella. Namun, ada masalah pemasaran sehingga Isabella hanya lebih dibudidayakan sebagai hobi atau peneduh halaman. Sementara, anggur Probolinggo dan Bali merupakan anggur wine, dan tak cocok dihidangkan di meja makan. Sejumlah varietas yang  ada di masyarakat juga mengalami degradasi mutu. Kualitas buahnya kurang prima.

Kementerian Pertanian sendiri memiliki koleksi puluhan jenis anggur, untuk buah segar, wine maupun kismis, yang dikelola oleh Balitjestro di Kebun Percobaan Banjarsari, Pasuruan, Jatim. Sebagian varietas itu telah beradaptasi di lingkungan tropis, dan sebagian lainnya telah menjadi tetua bagi varietas baru yang jauh lebih manis seperti Janetes SP1 itu. Lingkungan agroklimat tak lagi menjadi penghalang. Dari sisi itu mestinya tidak ada masalah. Yang sulit adalah membuka pintu pasar.

Ada anggapan bahwa anggur tropis tak bisa menghasilkan produksi sebesar di alam subtropis. Secara umum, standar produktivitas anggur subtropis adalah 20 ton per hektar per tahun. Sedangkan produktivitas anggur tropis hanya 10 ton per musim. Tapi, penelitian di Balitjestro bisa membuktikan bahwa dengan teknik budidaya yang baik (pemupukan yang cukup, pemangkasan daun tepat waktu, dan pengairan yang terjamin), siklus panen anggur tropis dapat dilakukan 3 kali dalam 13 bulan, dan menghasilkan produk 30 ton.

Pohon anggur terangsang untuk berbunga dan berbuah setelah daunnya dipangkas. Siklusnya 105 hari. Satu siklus selesai diikuti masa istirahat 20 hari. Lalu dilakukan pemangkasan, dan siklus panen kedua pun berlangsung. Begitu seterusnya. Sebagian daerah Pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, serta Nusa TenggaraTimur, terbukti cocok untuk anggur. Tanaman anggur itu perlu penyinaran matahari yang panjang, bukan sinar yang terik.

Daerah penghasil anggur terbaik di Prancis adalah tempat di mana sinar matahari musim panas dapat dinikmati selama 15-16 jam per hari. Sebagian Pantura Jawa, Bali, NTB, dan NTT cocok untuk anggur karena keawanan di musim hujan pun tak terlalu pekat, sehingga rata-rata sehari masih ada matahari 6 jam per hari, dan di musim kemarau rata-rata 10,5 jam per hari. Kelembaban udara yang rendah juga cocok untuk anggur.

Kondisi agroklimat yang sesuai saja tentu tidak cukup. Diperlukan irigasi teknis dan pemupukan yang tepat agar anggur bisa berproduksi optimal. Dengan bibit yang baik, pohon anggur mulai berbuah di usia 2 tahun, bahkan bisa 1,5 tahun. Umur produktifnya sampai 25-30 tahun. Produktivitas anggur meningkat seiring bertambahnya usia.

Selama ini produksi anggur nasional bertumpu pada Bali dan Jawa Timur dalam porsi yang jauh lebih kecil. Dari 10.867 ton produksi anggur nasional pada 2018, lebih dari 90 persen disumbang dari Bali. Sementara itu, impor anggur (terutama dari Tiongkok) diperkirakan lebih dari 100 ribu ton per tahun. Seperti buah-buahan lainya, apel, jeruk, kelengkeng, dan pir.

Anggur lokal tak sanggup bersaing. Kehadiran Jestro-AG60, Jestro-Ag5, Jestro-Ag86,Probolinggo Biru-81, Kediri Kuning, Probolinggo Super, dan Prabu Bestari, tak kunjung mengangkat gengsi anggur lokal. Maka, biarkan Janetes SP-1 itu belajar berjalan mengetuk pintu pasar lokal.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *