by

Industri Otomotif Semakin Berdaya Saing

MARGOPOST.COM  | — Kinerja industri otomotif menunjukkan tren yang positif. Bahkan, dalam lima tahun terakhir ini tercatat terus meningkat. Tahun ini, di tengah tensi politik dalam negeri yang menghangat, produksi kendaraan diyakini tetap naik, baik untuk kebutuhan domestik maupun pasar ekspor.

Bagi pemerintah, itu tentu kabar yang menggembirakan. Wajar saja, pemerintah pun mendorong industri otomotif nasional untuk melakukan ekspor. Imbas dari itu semua adalah kapasitas produksi pun terdongkrak naik.

Menurut data Gabungan Industri Bermotor Indonesia (Gaikindo), sepanjang 2018 produksi kendaraan nasional mencapai 1,34 juta. Namun, ternyata dari total produksi sebesar itu, utilitas pabrik dari 15 pabrik hanya mencapai 59,51% dari total kapasitas sebesar 2,25 juta unit per tahun.

Meskipun demikian, produksi tahun lalu sebesar itu tetap tercatat yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Dari total produksi itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) tercatat yang paling banyak memproduksi kendaraan, yakni 531.573 unit, atau turun 3,8% dibandingkan dengan 2017.

Dari total produksi sebesar itu, TMMIN dengan merek kendaraan Toyota berencana ekspor sebanyak 209.580 unit pada 2019, naik 5% dibandingkan dengan realisasi 2018. Ada tiga model yang menjadi andalan mereka untuk pangsa pasar ekspor, masing-masing Fortuner, Avanza, dan Rush.

Dari sisi kapasitas produksi, pabrikan Astra Daihatsu Motor (ADM) menempati posisi kedua setelah TMMIN. Pabrikan itu memproduksi sebanyak 201.387 unit pada 2018. Beberapa pabrikan otomotif lainnya juga sama, kapasitasnya naik. Pabrikan itu seperti Honda dengan Brio, Mitsubishi dengan Xpander.

Namun, seperti dilaporkan Gaikindo, utilisasi kapasitas pabrikan kendaraan bermotor negara ini baru mencapai 70%-75%. Artinya, masih banyak ruang untuk menggenjot produksi baik untuk memenuhi permintaan kebutuhan pasar domestik maupun ekspor.

Ekspor Digenjot

Kinerja moncer dari pabrikan kendaraan bermotor dalam negeri telah membuat bangga Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Pucuk pimpinan Kementerian Prindustrian itupun mengakui sektor otomotif memang telah ditasbihkan menjadi salah satu dari lima sektor unggulan kementerian itu untuk pasar ekspor.

“Kami memang fokus untuk memacu kinerja ekspor di lima sektor industri yang mendapatkan prioritas pengembangan sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0,” tutur Airlangga.

Kelima sektor itu adalah industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronika serta kimia. Kelima sub sektor maufaktur itu saat ini mampu memberikan kontribusi sebesar 65% terhadap total nilai ekspor nasional.

Kenapa Menteri asal Golkar ini begitu yakin sekali bahwa sektor ini bisa menjadi andalan industri manufaktur nasional untuk pasar ekspor? Tentu bukan asal yakin saja. Industri otomotif dinilai memiliki struktur industri yang kuat dan dalam karena mereka sudah ditunjang oleh industri pendukung seperti baja, plastik, kimia, ban, dan lainnya.

Pernyataan Airlangga itu juga didukung data Gaikindo. Asosiasi itu menyebutkan ekspor kendaraan secara utuh (completely built up/CBU) sepanjang 2018 tumbuh 14,44% menjadi 264.553 unit dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Kenaikan kinerja ekspor kendaraan roda empat nasional itu juga didukung kebijakan fiskal yang semakin menarik. Belum lama ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. 01 tahun 2019 tentang Tata Laksana Ekspor Kendaraan Bermotor dalam bentuk jadi (CBU) yang berlaku mulai 1 Februari 2019.

Regulasi baru itu menyebutkan bahwa Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dapat diajukan setelah barang ekspor masuk ke kawasan pabean. Kemudian pemasukan ke kawasan pabean tidak memerlukan Nota Pelayanan Ekspor (NPE) serta pembetulan jumlah dan jenis barang paling lambat tiga hari sejak tanggal pemberangkatan sarana pengangkut.

Tentu bagi industri otomotif nasional, regulasi itu dinilai membawa manfaat. Pasalnya, adanya regulasi ini menyebabkan akurasi data menjadi lebih terjamin kerena proses bisnis dilakukan secara otomatis melalui integrasi antara perusahaan, tempat penimbunan sementara (TPS), dan Ditjen Bea dan Cukai.

Dengan adanya regulasi, proses logistik industri otomotif semakin efisien. Misalnya, average stock level menjadi turun 36% sehingga meningkatkan efisiensi penumpukan di Gudang eksportir.

Tidak itu saja, biaya trucking juga turun karena kebutuhan truk untuk transportasi turun sebesar 10% per tahun. Artinya, patner logistic tidak perlu investasi truk dalam jumlah banyak. Selain itu, biaya storage dan handling menjadi turun, masing-masing Rp600.000 per unit dan biaya handling trucking turun menjadi Rp150.000 per unit.

“Saya menyambut baik regulasi itu karena ekspor otomotif telah diberikan kemudahan. Ini tentunya sangat berarti bagi industri nasional yang sedang bersaing dengan negara lain,” tutur Airlangga.

Seperti disebutkan di atas, ekspor mobil yang berbentuk CBU mencapai 264.553 unit. Namun ternyata ekspor mobil itu tidak hanya berupa CBU. Ekspor mobil yang berbentuk CKD (Completely Knocked Down) sebanyak 82.000 unit.

Baik ekspor kendaraan maupun ekspor komponen telah memberikan sumbangan devisa 2018 mencapai USD6,6 miliar. Suatu yang tidak kecil dan sumbangan itu berasal dari industri otomotif nasional./RD

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *