by

Tan Hana Wighna Tan Sirna

Berhasil membangun kapal selam rudal kelas Changbogo dan fregat SIGMA futuristik, industri perkapalan Indonesia naik kelas. Order kapal perang mengalir, juga tanker dan kargo.

MARGOPOST.COM | Namanya sudah disiapkan: Alugoro. Tanggal lahirnya tinggal menunggu hari. Begitulah perkembangan kapal selam  pertama buatan Indonesia, yang kini sedang dalam penyelesaian akhir  di galangan PT PAL Surabaya. Dipastikan, tidak  lama lagi kapal selam terbaru ini akan melayani operasional TNI-AL di samudera raya.

Kehadiran kapal selam baru KRI Alugoro 405 itu akan  menambah kekuatan armada submarine TNI-AL, yang sebelumnya telah memiliki KRI Cakra 401, Nanggala 402,  Nagapasa 403, dan Ardadeli 404.  Kini  Indonesia termasuk yang terbesar di Asean bersama Vietnam yang memiliki enam kapal selam dan Singapura empat unit. Thailand baru mengoperasikan tiga kapal selam buatan Cina, Malaysia dua unit (buatan Perancis), sedangkan yang lainya belum memiliki kapal selam.

KRI Cakra 401 dan  Nenggala 402 telah masuk jajaran armada TNI-AL sejak 1981. Keduanya buatan Jerman, disebut kelas Cakra dengan berat 1.395 ton dan panjang 59 meter. Sedangkan Nagapasa, Ardadeli dan Alugoro dari kelas Changbogo dengan bobot 1.800 ton dan panjang 65 meter. Semua dibekali senjata standar torpedo.

Namun, dengan  ukuran yang lebih besar, kapal selam kelas Changbodo ini punya opsi menambah peluncur guided missile di dalamnya. TNI-AL merencanakan menambahkan roket antikapal perang UGM-84 Harpoon buatan Boeing. Rudal bersayap sepanjang 4.6 meter, berat 221 kg,  dan seharga USD 1,2 juta ini bisa menghantam target dari jarak 124 km.

Pengadaan kapal selam baru kelas Changbogo itu telah dilakukan sejak 2011, di bawah Presiden Susilo Bambang dan berlanjut di era Presiden Jokowi. Pemerintah RI menjalin kontrak dengan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME) Korea senilai USD 1,1 miliar dengan skema transfer of technology.

Dengan kontrak itu Indonesia mendapakan tiga unit kapal selam kelas Changbogo. Yang pertama KRI Nagapasa 403 yang dibangun oleh tenaga Korea. KRI Ardadeli yang diserahkan ke TNI-AL pada Agustus 2018, dibangun di Korea oleh tenaga campuran Indonesia-Korea di galangan Daewoo. Sedangkan Alugoro 405 dibangun di galangan Surabaya oleh tim Indonesia di bawah supervisi tim ahli Korea. Inilah kapal selam pertama buatan dalam negeri.

Kesempatan memproduksi kapal selam ini memberikan pengalaman berharga bagi tenaga ahli RI. Dengan fasilitas yang memadai di Galangan PT PAL Surabaya, tenaga Indonesia dipastikan mampu membangun kapal selam lainnya yang lebih besar, ampuh dengan persenjataan canggih.

Fregat SIGMA

Armada kapal selam tidak akan cukup bila tidak didukung oleh kapal-kapal perang yang digdaya di atas permukaan laut untuk menjaga wilayah laut nasional yang luasnya 3 juta km2. Dengan medan yang berpulau-pulau, TNI-AL memilih mengoperasikan postur kekuatan yang bertumpu pada kapal-kapal perang ukuran kecil-sedang yang cepat, lincah, dan bersenjataan canggih. Kapal jenis Cruiser (penjelajah) yang berpelat baja tebal, berkanon besar, bobotnya di atas 15 ribu ton, atau destroyer (5-10 ribu ton), tidak lagi menjadi pilihan.

KRI Ngurai Rai. Fregat Kawal Rudal pertama buatan Indonesia. Sumber foto: Teknologi Indonesia

Kapal Fregat (3.000–5.000 ton), Korvet (1.000–2.000 ton), dan Kapal Patroli Cepat (di bawah 1.000 ton)  menjadi pilihannya. Saat ini, TN-AL mengoperasikan setidaknya delapan Fregat, 25 unit Korvet, 15 unit Kapal Cepat Rudal, puluhan kapal patroli cepat, kapal angkut, kapal pendarat, kapal amfibi, serta puluhan unit pendukung seperti kapal komando, kapal latih, dan kapal rumah sakit.

Tujuh fregat itu TNI-AL diproduksi di Belanda sejak tahun 1970-an. Namun, dalam skema trasfer of technology  dengan Damen Schiede Naval Ship-Building (DSNS) Belanda, teknologi produksi fregat kawal rudal itu bisa diboyong ke Surabaya. Kerja sama ini dilakukan dengan pelibatan tenaga ahli RI dalam proses produksi kapal perusak kawal rudal (PKR) KRI Martadinata di Belanda.

Selanjutnya,  KRI I Gusti Ngurah Rai sebagai PKR ke-2 TNI-AL diproduksi di PT PAL Surabaya dengan supervisi tim ahli dari Belanda. Dari enam modul besar untuk badan kapal tersebut, hanya sebuah yang dibangun di Nederland, lima lainnya di Surabaya. KRI Ngurah Rai yang bernomor lambung 332 ini mulai masuk ke dalam armada TNI-AL tahun 2017.

KRI Ngurah Rai itu sebagaimana pendahulunya KRI RE Martadinata, dibangun dengan teknik SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approah). Modul-modulnya dicetak seperti monokok pada industri mobil, sehingga sangat  presisi. Teknik serba geometrik ini membuat KRI ini terlihat begitu futuristik, dengan dinding baja yang serba cembung sehingga memberikan efek stealth, tak mudah terdeteksi radar lawan.

Kapal perusak kawal rudal ini panjangnya 105 meter, lebar 14 meter, dan bobot 3.216 ton.  Meriam utamanya OTO Melara 76 mm. Mesti kalibernya kecil, meriam ini bisa  menembak secara cepat bak metraliur. KRI Ngurah Rai juga punya rudal antiserangan udara MICA yang efektif menjangkau lawan dalam radius 20-25 km, torpedo penjejak sonar, senapan mesin 35 mm antiudara, dan Rudal Exocet MM-40 yang bisa melumpuhkan musuh dari jarak 180-200 km.

Desain futuristik dengan teknik SIGMA itu juga dimiliki empat kapal perang jenis korvet TNI-AL yang sudah beroperasi sebelumnya, yakni KRI Diponegoro, KRI Hasanudin, KRI Sultan Iskandar Muda, dan KRI Frans Kasiepo.

Order Mengalir

Dengan kemampuan  membangun kapal selam dan kapal sekelas fregat SIGMA, industri perkapalan Indonesia sudah pada level untuk  memproduksi beragam jenis kapal perang modern. Sebelumnya, galangan Indonesia juga telah memproduksi korvet, kapal cepat rudal, berbagai jenis  kapal patroli kapal pengangkut serbaguna, kapal pengangkut tank, dan beragam lainnya.

Tak heran bila negara tetangga Malaysia dan Filipina pun berminat tertarik membeli produk PT PAL Surabaya itu untuk Angkatan Laut-nya. Kontrak pertama Filipina diteken pada 2015, berupa dua kapal jenis Strategic Sealift Vessel (SSV) kelas Tarlac senilai USD92 juta. Kapal SSV ini cukup besar, dengan panjang 123 m, lebar 21 m, dengan bobot 7.000 ton, dalam kondisi muatan penuh. Ada deck untuk pendaratan helikopter.

Kedua kapal SSV  yang dapat digunakan untuk pendaratan amfibi, operasi SAR, bantuan bencana dan pengangkutan personel-logistik itu sudah selesai diproduksi dan diserahkan ke Filipina. Merasa cocok dengan kapal buatan Surabaya itu, Filipina kembali memesan tiga unit  SSV, satu di antaranya untuk rumah sakit terapung , dan  kapal cepat  rudal.

Ada pun Malaysia memesan kapal militer LPD (Landing Platform Dock)  lebih besar, dengan panjang 163 meter.  Kapal tersebut akan dioperasikan sebagai Multirole Support Ship (MRSS) . Thailand juga telah melirik produk PT PAL  Surabaya. Sementara itu, perusahaan energi listrik dari Turki memesan kapal khusus untuk power plan terapung. Turki  sedang giat menawarkan mesin diesel terapung itu ke negara-negara Asia Pasifik.

Potensi pasar luar negeri dari produk PT PAL Surabaya tak hanya untuk kapal militer. Senegal, salah satu negara  dari pantai Barat Afrika, sedang menjajaki pemesanan kapal kargo dan tanker.

Tentu, tak mudah bersaing di pasar global. Namun, seperti sesanti Pasukan Katak, satuan elit korps pelaut TNI-AL, Tan Hana Wighna Tan Sirna yang berarti “tak ada rintangan yang tak dapat diatasi”./hdr.-

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *