by

Sensasi Magis Dataran Tinggi Vulkanis

MARGOPOST.COM | Kawasan Dieng adalah situs sejarah, situs geologi, dan situs budaya. Ada embun es di atas daun, ada kawah vulkanik yang terus berasap. Dieng kini menjadi taman wisata dengan banyak wahana.

Gunung, perbukitan, dan hamparan lembah, itulah bentang alam Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah. Semuanya bertengger di 2.000 meter dari permukaan laut (dpl). Di sisi Utara terlihat Gunung Prau (2.558 meter dpl) dengan puncaknya yang memanjang seperti perahu terbalik. Di sisi Barat-Utara ada Gunung Jimat (2.213 meter dpl.), dan Gunung Bismo (2.365 meter dpl) bersedekap di ujung Tenggara.  Dataran Dieng terbentang di dalamnyaa dengan sejumlah gerumbul perbukitan.

Secara administratif, kawasan Dieng Kulon (Barat) masuk ke Kabupaten Banjarnegara. Yang di sisi wetan (Timur) termasuk Kabupaten Wonosobo. Luas Dataran Dieng ini 10 x 15 km persegi, berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan di sisi Utara dan Kabupaten Temanggung di Timur Laut. Dataran tinggi ini subur karena tanahnya kaya akan debu vulkanis sebagai warisan dari sejarah geologisnya.

Di masa lalu Dieng merupakan kompleks gunung berapi. Pada periode pertama muncul Gunung Prau, Gunung Jimat, Bukit Rogo Jembangan dan Tlerep, yang kini menjadi dinding alam yang membentengi lembah Dieng. Lembah Dieng sendiri adalah kaldera (kawah) raksasa yang terbentuk ratusan ribu tahun silam. Tapi, potensi vulkaniknya tidak pernah berhenti, sehingga dari Kaldera itu tumbuh Gunung Bismo-Sidede, Seroja, Nagasari, Pangonan, dan Pager Kandang.

Semuanya pernah aktif di era masing-masing, dengan skala erupsi freatik, yang hanya menyemburkan debu dan lumpur. Aktivitas vulkanik itu meninggalkan jejak geologis yang jelas. Di seluruh Dieng itu kini terdapat setidaknya 100 kawah. Beberapa di antaranya menjadi danau yang elok seperti Telaga Menjer, Telaga Merdada, Telaga Pengilon yang berdampingan dengan Telaga Warna, atau danau  eksotik seluas satu hektar dengan tebing curam setinggi 70-80 meter yang disebut Sumur Kalatunda.

Sejumlah kawah lain masih aktif berupa telaga keruh yang terus mengeluarkan gelembung berasap dan berbau belerang.  Sebut saja Kawah Timbang, Kawah Sileri, Kawah Candradimuka, Pakuwojo, Sikidang, Sinila, atau Kawah Batur. Seperti di kawah di pegunungan vulkanis yang lain, kawah-kawah Dieng ini ada kalanya menjadi berbahaya bila ada peningkatan kegiatan vulkanis. Eksotisme lingkungannya membuat kawah-kawah itu menjadi destinasi wisata bersama telaga-telaga yang ada.

Dalam 200 tahun terakhir, setidaknya terjadi 10 kali erupsi freatik di Dataran Tinggi Dieng itu. Sumber erupsinya dari kawah-kawah itu. Erupsi freatik itu terjadi ketika sebagian air yang ada di bawah kawah itu berubah menjadi uap, karena pemanasan magma bumi, lalu menjebol batuan di atasnya. Yang akan terhambur dari dalam adalah debu, lumpur, dan yang berbahayanya seperti belerang oksida (SO2) dan karbon monoksida (CO).

Kawah Sileri dan Sinila yang tercatat punya reputasi buruk. Kawah Sileri pernah bererupsi 1944, dengan mengeluarkan suara dentuman deras disertai semburan lumpur, yang mengakibatkan 59 orang tewas dan 55 lainnya hilang. Adapun Kawah Sinila tahun 1979 menghembuskan gas beracun, mengakibatkan  143 warga sekitarnya meninggal dunia.

Dengan segala risikonya, Dieng adalah lembah subur dan padat. Daerah ini telah dihuni sejak lebih dari  1.000 tahun lalu. Dengan adanya ancaman laten, dalam bentuk aktivitas vulkanik alamnya itu, penduduk telah terlatih untuk membaca tanda-tanda alam dan mengevakuasi diri saat bahaya datang. Pemerintah membantu dengan memasang alat pemantau gas yang dioperasikan oleh pos Pengamatan Gunung Api Dieng.

Situs Sejarah

Berada di daerah pedalaman Jawa Tengah, Dataran Tinggi Dieng justru memiliki jejak sejarah yang tua. Di Kawasan Dieng Timur terdapat Kompleks Candi Syiwa yang diperkirakan berasal dari abad ke-7 atau awal abad 8 Masehi. Kini masih ada 8 candi di sana. Warga setempat menyebutnya dengan nama tokoh dunia perwayangan Mahabarata, mulai dari Candi Arjuna, Gatot Kaca, Bima, Srikandi, dan seterusnya.

Candi Dieng dianggap sebagai candi tertua di Jawa. Sedikit lebih tua dari Kompleks Candi Gedong Songo di Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang, dan lebih tua dari Borobudur. Diperkirakan di Dieng itu dulu ada puluhan candi. Di situlah raja, para bangsawan, dan Brahmana dari Kerajaan Kalinga secara periodik melakukan pemujaan. Sejak itulah Dieng mulai dihuni.

Nama Dieng itu diperkirakan berasal dari Kawi. Dari asal kata di yang berarti tempat atau gunung, dan hyang yang berarti dewa. Maka, diasosiasikan sebagai gunung tempat dewa-dewa bersemayam. Maka, di tanah pegunungan yang bernuansa magis itu, para Brahmana dari Negeri Kalinga membangun candi-candi untuk melakukan pemujaan.

Lokasi Dieng tak terlalu jauh dari daerah Pekalongan atau Batang, tempat Kerajaan Kalinga diperkirakan berdiri. Dataran tinggi itu bisa ditempuh dalam tiga hari dengan kereta yang ditarik kerbau. Awalnya di Dieng diperkirakan ada puluhan candi, bahkan mungkin sampai lebih dari 100 buah. Tapi, curah hujan yang tinggi, erupsi gunung, longsor, dan banjir, membuatnya hanya tersisa delapan buah ketika candi ditemukan oleh awal 1800-an dan direkonstruksi Pemerintah Hindia Belanda pada 1856.

Saat ditemukan, kondisi candi dalam kondisi rusak dan merana. Beberapa di antaranya terendam oleh air, karena terletak dalam cekungan tanah. Tidak banyak prasasti yang ditemukan di situ. Satu-satunya prasasti ditemukan di dekat candi Arjuna, dan menyebutkan bangunan candi dibuat tahun 808-809 M. Belum terungkap betul siapa yang membangun kompleks percandian yang indah itu.

Destinasi Wisata

Keunikan Dieng sulit dicari padanannya. Sebagai dataran tinggi vulkanis, Dieng memiliki kawah dalam variasi yang lebih kaya dari kawasan lain di Indonesia. Kombinasi bentang alam dataran tinggi, gunung berapi, situs sejarah, dan budaya Jawa Gunung yang kental, membuat Dieng menjadi tempat menarik untuk dikunjungi. Sudah puluhan tahun Dieng menjadi tujuan wisata.

Belakangan, Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara lebih mengembangkannya sebagai kawasan wisata. Di sana, para pelancong bisa melihat deretan candi dalam landscape pegunungan, hal yang berbeda dari situs Borobudur, Prambanan, atau candi-candi di Jawa Timur. Di Dieng, pengunjung juga bisa menyaksikan fenomena vulkanik dari jarak dekat, di mana kawah-kawah yang berasap, kaldera kecil, dan air hangat yang yang dipanaskan magma dari perut  bumi.

Pada musim musim kemarau, biasanya Juli-Agustus, Dataran Tinggi Dieng sering diwarnai oleh butiran-butiran es yang menempel di atas rerumputan dan sayuran yang banyak ditanam oleh petani di Dieng. Butiran es itu terbentuk menjelang fajar dan hilang pada pukul 9 pagi hari, ketika matahari mulai hangat. Fenomena di sekitar Candi Dieng ini belakangan mengundang banyak pengunjung untuk berswafoto.

Belum ada penjelasan yang memuaskan atas fenomena es itu. Dari sisi meteorologis, suhu minimum di Dieng, yang terjadi di saat Subuh, hanya 10 derajat Celsius.

Embun es itu adalah misteri lain dari alam Dieng. Secara meteorologis, suhu minimum di Lembah Dieng itu mestinya 10-11 derajat Celsius. Ada dugaan, angin muson (monsoon) dingin Australia bertiup melewati Jawa Tengah, sebagian terjebak di lembah Dieng. Massa air yang dingin itu menemukan butiran mikrospora dan serbuk sari berbagai tumbuhan di areal pegunungan itu dan menjadi inti kondensasinya. Kristal es terbentuk dan menempel pada permukaan yang paling dingin, yakni permukaan daun.  Sejauh ini kedatangan embun es itu sulit diperkirakan.

Namun, tak perlu menunggu embun es untuk berswafoto. Banyak lokasi yang instagrammable di Dieng, mulai dari kawah, telaga, candi, kebun kentang, atau puncak-puncak bukit di mana para pengunjung bisa menikmati panorama sekeliling, dan merasakan sensasi matahari terbit atau terbenam. Dengan luasnya areal yang layak dijelajahi, dan obyek yang bisa dinikmati, Dieng ini seperti taman wisata dengan banyak wahana di dalamnya. Perlu waktu untuk menikmati relung-relung keunikannya.

Toh, pengunjung tak harus pulang hari. Di Dieng kini banyak terdapat hotel atau homestay, terutama di Kota Kecamatan Kejajar. Di sana ada sejumlah hotel kelas melati dengan tarif di bawah Rp300 ribu, dan ada layanan homestay yang sebagian berupa satu unit rumah. Yang tipe ini harganya di atas Rp300 ribu per malamnya.

Dieng juga menyajikan budaya agraris pegunungan Jawa. Budaya itulah yang diekspresikan lewat Dieng Culture Festival yang digelar setiap tahun di awal kemarau. Ada tari-tarian rakyat, wayang kulit, bahkan musik jazz. Namun, puncaknya ialah ruwatan rambut  gimbal anak anak Dieng. Sejumlah warga percaya, bahwa ada anak anak yang lahir dengan pembawaan khusus, ditandai dengan adanya segumpal rambut yang saling menguntai, dan baru boleh dipotong ketika anak mau memasuki masa remaja.

Pemotongan rambut  gimbal itu perlu dilakukan dengan upacara adat khusus. Dengan begitu, menurut adat setempat, beban bawaan si anak akan lepas, dan ia bisa tumbuh seperti anak-anak lainnya. Dieng juga bisa disebut situs budaya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *