by

Pengelolaan Wajib Anut Prinsip Berkeadilan

-Hukum, Nasional-2,554 views

MARGOPOST.COM  | — Persoalan kepemilikan lahan menjadi salah satu topik hangat dalam debat capres yang kedua antara petahana Joko Widodo dan penantangnya, Prabowo Subianto. Namun, terlepas dari semua itu, isu soal kepemilikan lahan tetap menjadi isu yang sangat seksi.

Dalam konteks debat itu, kedua calon presiden menunjukkan visi misinya berkaitan dengan tata kelola lingkungan hidup, termasuk masalah konsesi lahan yang harus dilihat dalam dimensi berkeadilan bagi seluruh rakyat.

Tak dipungkiri, tata kelola penguasaan atau konsesi lahan beberapa puluh tahun silam ditengarai tidak berpihak terhadap rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah menilai perlu melakukan reorientasi soal lahan. Yakni, harus ada keberpihakan terhadap rakyat.

Namun juga perlu dicatat, manakala kepemilikan lahan oleh usaha besar atau swasta tidak diizinkan, dalam tataran demokrasi ekonomi yang benar, harus ada keseimbangan dan berkeadilan. Kepemilikan lahan juga harus dilihat dalam aspek berkeadilan bagi lingkungan yang lebih besar.

Apakah kepemilikan lahan itu juga berpotensi merusak kelestarian lingkungan dan memberikan ancaman bagi dunia terutama soal emisi gas rumah kaca? Nah, dalam konteks inilah Pemerintah Joko Widodo perlu melakukan moratorium terhadap pelepasan kawasan hutan perkebunan kelapa sawit.

Ini sesuai dengan yang tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang dikeluarkan pada 19 September 2018.

Inpres ini berlaku bagi permohonan baru, permohonan yang telah diajukan namun belum melengkapi persyaratan, atau telah memenuhi persyaratan namun berada di kawasan hutan produktif.

Selain itu moratorium juga berlaku terhadap permohonan yang telah mendapatkan izin prinsip namun belum ditata batas dan berada di kawasan hutan produktif. Kebijakan itu tidak berlaku bagi bagi kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang telah ditanami dan diproses berdasarkan Pasal 51 PP No. 104 tahun 2015. Moratorium itu pemberian izin lahan sawit selama tiga tahun.

Sebenarnya, selama Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah mengeluarkan Inpres berkaitan dengan moratorium mulai dari Inpres No. 8/ 2015 dan Ipres No 6/2017 dan terakhir Inpres No 8/2018.

Luas Hutan Turun

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam kurun waktu yang cukup panjang, sejak sistem hutan register hingga hutan dalam tata ruang, telah terjadi penurunan luas kawasan hutan dari 147 juta hektare (pada periode 1978-1999) menjadi 134 juta hektare (1999-2009) dan menjadi 126 juta hektare (2009-hingga sekarang).

Tak dipungkiri, adanya kebijakan moratorium, termasuk melalui Inpres No 8/2018 tentu memunculkan kekecewaan dari pelaku usaha. Mereka selalu mengeluhkan kebijakan itu tentu akan mengganggu iklim usaha, yakni turunnya minat investasi.

Namun, sejumlah Inpres tentang penundaan dan evaluasi perizinan serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit ini, tentunya memiliki tujuan yang baik. Salah satu di antaranya, meningkatkan tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan.

Lewat Inpres, pemerintah juga hendak memberikan kepastian hukum, serta menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca. Selama ini industri kelapa sawit mendapatkan sorotan karena perluasan lahan secara masif berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas karbon.

Deputi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo mengatakan, kebijakan ini dibutuhkan karena banyak perkebunan sawit berada di dalam hutan alami. Di samping itu, pemerintah juga akan memeriksa atau mengklarifikasi aspek legal dari perkebunan yang dimiliki dalam skala kecil.

“Instruksi Presiden ini bagi seluruh pemerintah, baik pusat dan provinsi, termasuk gubernur, wali kota, dan kepala distrik. Di mana diperintahkan untuk mengevaluasi kembali izin. Juga menginstruksikan (mereka) untuk menunda pembukaan perkebunan baru untuk mengurangi konflik,” kata Wibowo Jumat (21/9/2018).

Evaluasi menyeluruh memang sudah menjadi keniscayaan, termasuk menyangkut mengkaji dampak lingkungan, sosial, dan kesesuaian dengan tata ruang yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan demikian, adanya aturan pasca-Inpres No. 8/2018 diharapkan mampu meningkatkan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan, menjaga, dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca.

Tidak itu saja, pemerintah juga berkepentingan terhadap pekebun sawit rakyat. Pasalnya, mereka juga sudah sewajarnya juga mendapatkan keadilan berupa pengakuan hak pengelolaan lahan perkebunan sehingga memperoleh akses permodalan.

Selain itu, regulasi baru nantinya juga diharapkan menyentuh pada penyelesaian konflik sosial di lapangan. Yang jelas, seperti disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Presiden Joko Widodo selalu menekankan perlunya keberpihakan kepada rakyat berkaitan dengan konsesi lahan atau hutan.

“Intinya rakyat harus sejahtera dengan memperoleh akses konsesi lahan atau hutan,” ujar Siti Nurbaya.

Apa yang diupayakan pemerintah dengan lebih mengedepankan prinsip berkeadilan bagi rakyat dalam hal kepemilikan konsesi lahan atau perkebunan tentu patut didukung dan diapreasiasi. Namun, pemerintah juga berkepentingan terhadap keberlangsungan perkebunan sawit.

Pasalnya, komoditas minyak sawit kini telah menjadi tulang punggung negara ini dalam menghadapi tekanan perekonomian global. Selain itu, komoditas itu juga telah menjadi komoditas penting sebagai bagian bauran energi melalui program B20. /RD

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *