by

Pembangunan Manusia Jadi Prioritas

Presiden Joko Widodo mengingatkan agar dunia pendidikan negara ini lebih fokus untuk menyiapkan tenaga kerja yang terampil bekerja.

JAKARTA – SUARAJABARSATU.COM |Isu ketenagakerjaan menjadi salah satu tema yang diangkat dalam debat ketiga Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Minggu (17/3/2019). Namun, debat kali ini hanya diikuti oleh kedua cawapres, Ma’ruf Amin (01) dan Sandiaga Uno (02).

Selain isu ketenagakerjaan, program bidang kesehatan, pendidikan, dan sosial budaya menjadi topik bahasan di debat tersebut. Dan, tentu topik yang hangat adalah masalah ketenagakerjaan, terutama berkaitan dengan pengurangan angka pengangguran.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2018, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) masih sebesar 5,34% atau setara dengan 7 juta penduduk yang menganggur. Data BPS itu juga menyebutkan jumlah angkatan kerja negara ini saat ini ada sebanyak 131,01 juta orang pada Agustus 2018, naik 2,95 juta orang dibandingkan dengan Agustus 2017.

Sejalan dengan itu, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga meningkat 0,59% poin. Angkatan kerja ini terdiri dari penduduk bekerja dan pengangguran. Pada Agustus 2018, terdapat 124,01 juta orang penduduk bekerja atau bertambah 2,99 juta orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Di sisi lain, jumlah pengangguran saat ini mencapai 7 juta orang atau berkurang 40.000 orang dari 2017. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, pemerintah menargetkan penurunan TPT hingga 4%-5% pada 2019 serta penciptaan lapangan kerja bagi 10 juta tenaga kerja selama periode tersebut.

RPJM itu juga menyoroti perlunya kualitas dan daya saing tenaga kerja yang meningkat. Dalam konteks ini, soal ketenagakerjaan negara ini masih ada persoalan: Kurangnya kompetensi dan daya saing tenaga kerja Indonesia.

Dan, ingat era revolusi 4.0 kini sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, termasuk di dunia industri. Kemampuan tenaga kerja yang adaptif terhadap revolusi 4.0 sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia kerja di industri negara ini.

Wajar saja, kesiapan tenaga kerja yang adaptif terhadap revolusi 4.0 sudah menjadi tuntutan. Persoalannya, apakah tenaga kerja negara ini sudah memenuhi, baik kesiapan maupun keterampilan (skill) terhadap tuntutan tersebut? Ini menjadi pertanyaan besar.

Pemerintah sebenarnya menyadari masalah besar yang dihadapi berkaitan dengan kesiapan dan keterampilan tenaga kerja bangsa ini. Penyebab semua itu adalah masih rendahnya pelatihan dan keahlian tenaga kerja sebelum mereka memasuki dunia kerja.

Bila dilihat dari latar belakang pendidikannya, sebagian besar pencari lapangan kerja, atau  di atas 50% adalah berlatar belakang sarjana, pasca sarjana dan professional. Berikutnya adalah yang berlatar belakang  pendidikan diploma, dan terakhir sekolah menengah.

Dalam satu kesempatan di pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2019 di Pusdiklat Kemendikbud, Bojongsari, Depok, Presiden Joko Widodo sudah menegaskan perlunya fokusnya dunia pendidikan untuk memberikan keterampilan kerja bagi generasi muda, khususnya dalam menyambut bonus demografi dan persaingan yang semakin ketat.

Menurut Kepala Negara, pendidikan dan pelatihan vokasi akan semakin diperkuat seiring bergesernya strategi pembangunan dari pembangunan infrastruktur fisik, menjadi pembangunan manusia.

“Kita ingin pendidikan yang fokus pada keterampilan bekerja. Ini sangat penting,” pesan Presiden Jokowi di acara itu, Selasa (12/2/2019).

Presiden menambahkan kunci bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam memenangkan persaingan terletak pada kualitas sumber daya manusianya. Selain infrastruktur yang telah dibangun dalam empat tahun terakhir, peningkatan kualitas manusia menjadi prasyarat agar Indonesia tidak terjebak dalam perangkap pendapatan menengah (middle income trap).

“Apabila kita bisa meng-upgrade secepat-cepatnya sehingga levelnya melebihi negara-negara di kanan-kiri kita, itulah namanya kemenangan kita dalam bersaing,” ujarnya.

Presiden juga berharap semakin banyak guru sekolah menengah kejuruan (SMK) yang terampil dalam membimbing siswanya agar memiliki keterampilan dan kompetensi kerja yang baik. “Guru yang terampil harus lebih banyak dari guru normatif. Informasi yang saya terima, guru normatif itu persentasenya lebih banyak.”

Pesan Presiden Joko Widodo itu pun telah direspons oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan menyiapkan sejumlah strategi terutama penyediaan guru yang terampil dan mumpuni untuk menyiapkan alumni sekolah kejuruan yang berdaya saing.

Program Kemendikbud itu adalah mempersiapkan guru-guru SMK melalui program keahlian ganda. Tujuannya untuk mendorong revitalisasi vokasi secara keseluruhan dan dapat menghasilkan lulusan yang bisa bersaing di dunia kerja.

Program keahlian ganda merupakan pendidikan dan pelatihan bagi guru-guru SMK kategori normatif dan adaptif. Sebanyak 51 sasaran keahlian diklat keahlian ganda dikelompokkan ke dalam enam bidang, di antaranya kelautan, agrobisnis dan agroteknologi, seni rupa dan kriya, pariwisata, teknologi dan rekayasa, dan teknologi informasi serta komunikasi.

Sebagai tambahan informasi, menurut laporan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, di Indonesia saat ini tercatat ada 10.500 SMK swasta, sedangkan SMK negeri sebanyak 3.500 sekolah.

“Target guru berkeahlian ganda pada 2019 ini mencapai 40.000 guru,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy.

Tak dipungkiri, kesiapan dan ketrampilan tenaga kerja bukan semata-mata tanggung Kemendibud saja, tapi semua kementerian terkait, termasuk Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan dunia usaha. Dalam rangka itu,  Kemenperin juga berencana mempercepat revitalisasi SMK bidang industri.

Program yang didorong Kemenperin adalah dengan mengembangkan program link and match antara sektor pendidikan dan industry. Hingga akhir tahun ini, Kemenperin berencana melakukan penandatanganan perjanjian kerja sama antara 750 perusahaan dan 2.685 SMK.

Itu semua merupakan bagian dari program Kementerian Perindustrian untuk terus mendorong terjadinya sinergi para pelaku usaha, asosiasi dan stakeholder terkait dalam mendorong pertumbuhan industri melalui pembangunan sumber daya manusia lewat investasi di pendidikan vokasi.

Hingga kini, jumlah perjanjian kerja sama vokasi industri telah mencapai 3.708 perjanjian, dari 2.074 SMK dengan 745 perusahaan industri. Pola kerja sama kedua sektor itu berbentuk satu SMK akan dibina beberapa perusahaan industri sesuai dengan program keahlian masing-masing SMK.

Agar pola kerja sama lebih mulus lagi, Kemenperin mengusulkan kepada Kemendikbud agar Dinas Pendidikan dan Kepala SMK untuk menata kelembagaan SMK dan melakukan refocusing ke bidang yang ditekuni sebagai core-business.

Bahkan, bila perlu mengganti jurusan yang sepi peminatnya dengan jurusan yang memberikan peluang kerja. Tentu harapannya, dengan adanya program vokasi sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan melek terhadap tuntutan revolusi 4.0, para lulusan sekolah tersebut nantinya tidak menjadi pengangguran karena sudah ada kepastian bekerja, selain tentunya berdaya saing./RD

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *