by

Menuju Produksi Setara 2 Juta Barel Minyak

MARGOPOST.COM | Dengan secondary dan tertiary recovery, cadangan minyak Indonesia terangkat 4,6 miliar barel. Dengan insentif yang sepadan, kontraktor migas mampu memproduksi migas setara dengan 2 juta barel minyak di tahun 2028.

Cadangan minyak selalu sulit ditebak. Ia bisa muncul secara tak terduga. Yang terbaru adalah penemuan cadangan baru di Blok Cepu, sebuah kawasan di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Reservoar ini memungkinkan produksi Exxon di Cepu bisa digenjot sampai 225 ribu baret per hari. Sebelunya, awal 2019, Pertamina mengumumkan penemuan cadangan minyak baru di Benewangi, Kabupaten Siak, Riau, di Randuwangi Subang, Jawa Barat, dan di Morea, Banggai, Sulawesi Tengah.

Maka, outlook perminyakan pun sering berubah skenarionya. Sempat ada gambaran pesimistis, bahwa sejarah lifting minyak dari perut bumi di Indonesia akan berakhir di  2030. Namun, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu  Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menunjukkan outlook yang lebih update, bahwa  lifting minyak masih bisa bertahan di level 220.000 hingga 360 ribu barel per hari di tahun 2035. Tergantung kebijakan pemerintah.

Bila pemerintah tidak memperpanjang kontrak mitra perusahaan pertambangan migas, yang sebagian akan berakhir 2023, maka sumur-sumur lama yang beroperasi akan menyusut, sementara sumur baru belum banyak bertambah. Produksi yang mencapai sekitar 770 ribu barel/hari saat ini akan merosot ke 500 ribu barel pada 2024, dan terus menyusut ke 330 ribu barel pada 2030, lalu terperosok di 220.000 ribu barel pada 2036.

Namun, skenarionya akan berbeda bila para perusahaan penambang minyak, biasa disebut kontraktor kontrak kerja sama (K3S), didorong mengoptimalisasikan produksinya. Caranya, dengan menerapkan teknik secondary recovery dan tertiary recovery di sumur-sumur tua mereka. Bila langkah itu dilakukan, slope penurunan produksi akan tertahan, meski tetap sulit terdongkrak. Setidaknya, pada 2030 masih sekitar 560 ribu barel per hari dan turun ke posisi 360 ribu di 2036.

Produksi minyak bumi di Indonesia memang masih ditopang oleh banyak sumur tua. Kondisinya akan berbeda bila kegiatan ekplorasi marak dilakukan untuk membuka ladang minyak baru. Dalam konteks  ini, isu perpanjangan izin pada 19 K3S Migas, yang akan berakhir 2023,  menjadi krusial. Perpanjangan izin akan memberi peluang maraknya kegiatan eksplorasi.

Menurut Nicolas D Kanter, profesional di pertambangan minyak dan gas (migas), produksi nasional minyak di Indonesia memang bergantung sejauhmana pemerintah bisa menstimulasi eksplorasi dan optimalisasi produksi. ‘’Kuncinya ada di situ,” kata Nico di sela-sela Seminar Migas yang dihelat di Bali akhir September lalu. Eksplorasi, kata Nico pula, akan menambah sumur baru, sedangkan optimalisasi akan membuat revervoar minyak lebih produktif.

Dalam teknik pertambangan, minyak terangkat melalui tiga fase, yakni primer, sekunder, dan tersier yang kini populer sebagai EOR (enhanced oil recovery). Pada fase pertama minyak terangkat naik ke permukaan karena adanya tekanan dalam reservoar yang terjadi secara alamiah. Fase kedua (secondary recovery), minyak yang lebih kental dipaksa naik setelah disuntikkan air atau gas melalui “sumur injeksi” yang dibor di sisi sumur aslinya.

Sumur injeksi itu pun bisa dimanfaatkan untuk EOR, baik dengan teknik thermal recovery, gas miscible, dan chemical flooding. Pada teknik pertama, gas hangat disuntikkan ke sumur injeksi guna menurunkan kekentalan (viskositas) minyak agar mudah dipompa. Teknik kedua, yang disuntikkan ialah gas nitrogen atau karbon dioksida dengan tekanan tinggi. Yang ketiga, bahan yang diinjeksikan ialah larutan polimer yang akan “menggandeng” molekul minyak itu terbawa naik selama proses chemical floding itu.

‘’Mana yang dipilih, itu tergantung kondisi sumur masing-masing,’’ tutur Nico, mantan Country Manager BP (British Petroleum), yang kini menjadi Direktur Utama PT Vale/PT Inco itu.

Pemerintah mendukung program EOR ini. Awal 2019, melalui Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, ketika itu masih dijabat Djoko Siswanto, pemerintah berjanji memberikan insentif berupa tambahan porsi bagi hasil sebanyak 5 persen untuk K3S yang terikat kontrak gross split. Dengan merujuk Peraturan Menteri ESDM Nomor 8/2017, dikatakannya bahwa porsi yang semula 57% (negara) dan 43% (K3S) bisa berubah jadi 52:48. Namun, belum ada kepastian lebih lanjut soal isu ini.  Bahkan, insentif untuk K3S yang terikat kontrak pola cost recovery belum dirumuskan.

Menyadari sebagian sumurnya sudah menua, PT Pertamina Hulu sudah melakukan tindakan Enhanced Oil Recovery (EOR) di 9 titik lokasi per 2019 ini. Investasinya USD776 juta (sekitar Rp11 trilun) melalui PT Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) atas sumur-sumurnya yang antara lain ada di Lapangan Sago, Rantau, Ramba, Jirak, Tanjung, Sukowati, serta Jatibarang. Teknik EOR yang dipilih adalah gas miscible. Dari langkah EOR ini, setidaknya produksi PT Pertamina EP akan bertambah 30.000 ribu barel per hari di 2026. Saat ini produksi Pertamina EP sekitar 85.000 barel per hari.

Pertamina tentu belum puas dengan produksi yang ada.  Eksplorasi terus dilakukan, antara lain, dengan survei seismik berplatform 2D dan 3D yang dilanjutkan dengan pengeboran. Sepanjang 2019 ini saja, PT Pertamina Hulu merencanakan melakukan 236 lapak, hampir dua kali dibandingkan  2018, yang telah mengantarkannya menemukan tiga sumber baru, yang salah satunya juga mengandung gas alam. Pelaku K3S seperti Chevron atau Mobil-Exxon juga melakukan langkah serupa.

Maka, bagi Nicolas Kanter, outlook 400.000 barel per hari tahun 2035, termasuk dengan secondary dan tertiary recovery, masih terlalu pesimistis. Ia optimistis masih akan ada temuan-temuan baru, utamanya di offshore. Saat ini, tuturnya, masih ada 76 areal cekungan bumi di Indonesia yang belum tersentuh oleh bor eksplorasi, meski sebagian besar offshore. Toh, 76 kawasan itu dua kali lipat dari 42 cekungan yang telah tereksplorasii dan 18 di antaranya menjadi ladang produksi. Belum lagi, temuan teknologi seperti EOR, yang menurut Nico memberikan cadangan siap angkat sebanyak 4,6 miliar barel.

Potensi besar juga ada pada gas bumi. Indonesia adalah produsen gas terbesar ke-10 di dunia, dengan produksi mencapai 7.400 juta SCFD (million standard cubic feet) atau 7.400 juta feet kubik/hari. Dengan tren terus meningkat, produksinya bisa melampaui 10 juta di dekade 2020-an, kemudian menyusut di tahun 2030-an. Namun, ini bukan vonis mati. Masih banyak cekungan yang belum dieksplorasi seperti di  potensial giant discovery di Sumsel, Sumut, Riau-Jambi, Tarakan Offshore, North East Java-Makassar Strait, Kutai Offshore, Buton Offshore, Northern Papua, Bird Body Papua, dan Warim Papua.

Dengan asumsi secondary recovery dan EOR tercapai, lantas ada tambahan produksi gas setara dengan 250.000 barel minyak bumi per hari, itu sudah mencapai ke tingkat produksi migas yang setara dengan 2.000.000 (dua juta) barel minyak bumi per hari. Gas yang setara 250 ribu barel minyak itu volumenya 2,5 miliar kaki kubik. Jadi, sekitar 35 persen dari produksi gas yang sekarang. ‘’Itu bukan bilangan yang mustahil untuk dicapai dalam waktu dekat,’’ kata Nico Kanter.

Kalau angka dua juta itu tercapai, ditambah dengan sedikit gas ekstra untuk konsumsi domestik, maka Indonesia tak harus pusing oleh defisit neraca migas yang selama beberapa tahun terakhir angkanya di level minus USD500 juta hingga minus USD1,6 miliar setiap bulan. ‘’Surplus di migas untuk Indonesia itu bukan hal yang terlalu muluk,’’ kata Nico Kanter.

Namun, jalan ke sana tidak juga mudah. Kuncinya, kata Nico, adalah regulasi dan kebijakaan yang jelas sekaligus fleksibel,’’ katanya. Kotrak dalam skema gross split, bagi hasil dengan porsi 43% ke kontraktor dan 57% ke negara dan seluruh biaya eksplorasi ditanggung kontraktor KKKS, kata Nico, baik-baik saja. Namun, perlu ada fleksibilitas karena risiko, tingkat kesulitan dan biaya yang timbul  berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Opsi cost recovery perlu dipertimbangkan pula untuk offshore.

Toh, fleksibilitas itu tak cukup memberi ketenangan pada pengusaha bila hanya diputuskan pada level menteri. ‘’Sebaiknya diatur di undang-undang agar lebih kokoh, nggak gampang berubah-ubah,’’ kata Nico pula. Pengaturan perpanjangan kontrak juga diusulkannya agar bisa dilakukan setidaknya 5 tahun sebelum kontrak berakhir supaya kontraktor punya waktu menimbang-nimbang investasinya, termasuk untuk secondary dan enhanced oil recovery (EOR).

Dalam kesempatan beraudiensi dengan Presiden Jokowi, terkait rencana divestasi PT Vale Indonesia, dulu PT Inco yang telah diakuisisi oleh Vale SA Co (Brazil), sejumlah kebijakan industri pertambangan ikut pula dibahas–termasuk isu insentif untuk KKKS Migas untuk eksplorasi offshore-nya. ‘’Presiden akan mempertimbangkan,’’ kata Nico yang ikut menemani CEO dan pemilik Vale SA bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara (23/9/2019).

Dari responss presiden, Nico Kanter yakin, regulasi tentang kontrak migas akan disempurnakan, termasuk menjajaki opsi cost recovery untuk eksplorasi di laut lepas yang berisiko. Namun, Presiden Joko Widodo tidak bisa bekerja sendirian. Ia memerlukan dukungan para pemangku kebijakan untuk melakukan langkah yang lebih konkret./hdr.-

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *