by

Mengangkat kembali Peradaban Musik Etnik

Dua puluh delapan kelompok anak-anak perwakilan dari 28 provinsi di Indonesia tampil di ajang KKAI 2019. Sebuah konser untuk mengajarkan seni dan budaya bangsa sejak usia dini.

MARGOPOST.COM | JAKARTA – Gedung Kesenian Jakarta di Pasar Baru Jakarta, Jumat (19/4/2019) sore itu sangat riuh. Anak-anak seusia sekolah dasar dari berbagai daerah ini memenuhi pelataran dan juga dalam gedung kesenian. Mereka datang untuk ikut memotivasi teman-temannya yang tampil dalam Festival Konser Karawitan Anak Indonesia 2019.

Konser yang berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta pada 19-21 April 2019 itu diikuti oleh perwakilan 28 provinsi di Indonesia. Yang menurut panitia, mengalami peningkatan baik segi ide dan kualitas.

Ke-28 grup membawakan seni “anak-anak daerah”.  Sebuah kegiatan sehari-hari yang diangkat sebagai sebuah karya seni. Perpaduan musik, tari, dan dialog anak anak dengan bahasa daerah masing-masing.

Direktur Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan, di Jakarta, mengatakan bahwa konser tersebut diikuti oleh kelompok karawitan dari usia 7 sampai 12 tahun.

“Karawitan di sini tidak saja gamelan, tapi sebagai peradaban dari musik etnik atau musik tradisi,” ujar dia.

Konser karawitan ini diharapkan dapat membentuk ekosistem kesenian sebagai titik tolak pemajuan kebudayaan Indonesia. Kelompok-kelompok yang hadir menghadirkan kreasi-kreasi baru dalam musik tradisional, karya yang ditampilkan beragam. Ada yang mencerminkan realitas sosial, sejarah, kehidupan anak-anak sehari-hari, dan lainnya.

Tahun ini adalah kedua kalinya Konser Karawitan Anak Indonesia dilaksanakan, pada kali ini digunakan sistem open call agar dapat menjaring sanggar-sanggar seni masyarakat.

Bens Leo, selaku salah satu kurator dari Konser Karawitan Anak Indonesia, mengaku mendapat kejutan dalam konser tahun ini. Sebelum anak-anak mempersembahkan karyanya, para mentor atau pelatih mereka telah diberikan pelatihan pada Maret.

Direktur Kesenian, Restu Gunawan mengatakan KKAI 2019 merupakan awal titik perjuangan yang luar biasa dalam mengembangkan kesenian musik daerah. Setidaknya, melalui konser ini anak-anak sudah diperkenalkan musik karawitan sejak dini.

“Ini adalah potensi yang harus kita gali bersama-sama. Kegiatan ini akan terus berlangsung hanya saja jenjangnya berbeda-beda. Tahun depan mungkin bukan anak-anak tapi remaja atau umum, dan sebagainya,” ujarnya, saat pembukaan KKAI pada Jumat (19/4/2019).

Selain unjuk kebolehan, lanjut Restu, adapun secara konsep kegiatan konser karawitan ini menjadi upaya perlindungan dan pelestarian seni musik para leluhur. Dia menjelaskan alasan pemilihan karawitan karena cenderung ke tradisional. Karawitan di sini tidak saja gamelan, pengertiannya lebih luas sebagai padanan dari musik etnik atau musik tradisi.

Konser Karawitan Anak Indonesia 2019 yang bertajuk “Perkusiku, Perkusimu, Perkusi Nusantara” diikuti oleh anak-anak berusia 6 sampai 12 tahun. Dua puluh delapan provinsi yang bergabung ialah Papua, Bali, Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, DI Yogyakarta, Lampung, Jawa Barat, Riau, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Sumatra Utara, NTT, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Jambi, Banten, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Gorontalo, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara. Kalimantan Utara, NTB, Maluku Utara dan Jawa Timur.

Pagelaran konser pun dibagi menjadi tiga kelompok, dan masing-masing kelompok tampil di hari yang berbeda-beda. Meskipun berkemas konser, di pengujung acara KKAI 2019 diberikan apresiasi terhadap peserta yang terdiri dari empat kategori, yaitu Penyaji Terpilih, Pemusik Terpilih, Penata Musik Terpilih, dan Penata Artistik Terpilih. Musisi yang terlibat dalam penjurian antara lain Embi C Noer, Bens Leo, Suhendi, Afriyanto, Jabatin Bangun, dan Gilang Ramadhan.

Sementara itu, “Suara Dari Timur” yang ditampilkan perwakilan Papua dalam Konser Karawitan Anak Indonesia (KKAI) berhasil menarik perhatian penonton. Tim Papua yang diwakili oleh Sanggar Seni Nafas Danau Sentani (NDS) Kampung Yokiwa Distrik Sentani Timur, meraih penghargaan Penyaji Terbaik Tingkat Nasional dalam Konser Karawitan Anak Indonesia (KKAI) 2019.

Konsep musik dalam karya “Suara dari timur” menurut penata musik dalam pementasan ini, Yusup Ohee,  adalah pengembangan material bunyi-bunyian yang ada di sekitar lingkungan hidup dalam keseharian. Misalnya, menirukan bunyi daun pohon sagu yang tertiup angin, suara burung, suara air, dan nyayian dari beberapa wilayah di Papua.

Dalam konsep garapan ini juga dikembangkan unsur bunyi dan gerak untuk mencapai estetika baru dalam garapan musik Papua. “Awalnya dari bencana banjir bandang yang terjadi pada 16 maret lalu yang menjadi inspirasi kami untuk menggarap materi suara dari timur. Dari pementasan yang dimainkan, ada pesan moral di sana yang secara alami terbaca oleh semua penonton yang hadir. Ini klimaks yang sangat baik,” ungkap Yusup Ohee

Markus Rumbino selaku koordinator sekaligus pendiri Aliakha Art Center (AAC) mengatakan, pementasan yang dilakukan ini telah menginspirasi semua peserta yang menonton. Diharapkan anak-anak seleruh Indonesia juga bisa mengambil pelajaran bahwa sangat penting menjaga dan melestarikan alam serta lingkungan di mana kita berada.

Dalam wawancara setelah pentas antara pemandu acara dengan peserta, anak-anak Papua ini menjelaskan bahwa sangat penting untuk menjaga kebersihan, lingkungan, serta alam sekitar kita. Jawaban yang polos lahir dari hati anak-anak ini yang telah membawakan materi suara dari timur.

Komposer dan Pengamat Musik Indonesia, Bens Leo, mengatakan bahwa penampilan Papua pada ajang nasional kali ini sangat luar biasa. Menurutnya, suara dari timur yang menjadi background pementasan mereka ini bukan hanya sangat sempurna, tetapi juga seirama dengan musik serta gerak tari yang dimainkan.

“Komposisi dan gerak secara keseluruhan berdasarkan aktualisasi dan kondisi daerah yang saat ini terjadi. Banjir bandang di Sentani sudah diketahui secara nasional tetapi juga international. Lalu ada pesan moral tentang lingkungan yang disampaikan dalam penampilan kali ini,” kata  Bens Leo.

Hal senada juga disampaikan Gilang Ramadhan, komposer dan pengamat musik Indonesia, yang juga menjadi juri dalam kegiatan tersebut. Menurutnya penampilan anak-anak dari Timur Indonesia, kususnya Papua, sudah tidak diragukan lagi. Kata Gilang, sejak awal penampilan peserta Papua sudah menjadi bahan diskusi dewan juri.

“Sangat istimewa sekali, komposisi gerak dan lagu yang dimainkan. Penguasaan panggung serta tingkat kesulitan yang tidak dimiliki oleh peserta lain. Jangankan tingkat nasional seperti ini, tinggal dipoles sedikit saja bisa keliling dunia, salut buat adik-adik kita,” tuturnya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *