by

Keniscayaan Keragaman Indonesia dan Pancasila

Saya Indonesia, Saya Pancasila. Slogan itu ialah bentuk penegasan akan internalisasi nilai-nilai Pancasila, yang mewujud dalam sikap kesadaran transendensi, baik sebagai jati diri manusia Indonesia maupun sebagai warga negara.

MARGOPOST.COM | JAKARTA – Kebhinekaan ialah wajah senyatanya Indonesia. Bahkan barangkali sudah sejak zaman antah-berantah, Nusantara telah dihuni oleh berbagai bangsa dan kelompok etnik. Sudah tentu percampuran di antara kelompok-kelompok sosial yang beragam melalui kawin-mawin bukanlah kemustahilan.

Hasil riset Eikjman membuktikan hal itu. Riset biologi molekuler Eikjman mengungkap fenomena campur baur genetik manusia di Nusantara. Fenomena ini telah terjadi selama puluhan ribu tahun lewat empat periode migrasi.

Melalui riset genetika, kita bisa mengetahui nenek moyang orang Indonesia. Menurut Eikjman, secara genetik orang Indonesia ialah produk sejarah pembauran puluhan ribu tahun sejarah manusia di Nusantara. Apa yang penting dicatat, ialah sama sekali tak ditemukan adanya satu pun orang pemilik gen murni yang bisa mengklaim diri sebagai pribumi Indonesia.

Catatan perihal keragaman Indonesia juga menjadi perhatian para Indonesianis. Denys Lombard patut disebut sebagai rujukan. Dalam “Nusa Jawa: Silang Budaya” misalnya, buku yang halamannya mencapai lebih dari 1.000 halaman dengan 2.500 catatan kaki, plus daftar pustaka yang panjangnya 65 halaman dan 45 halaman daftar kata, Lombard menulis dalam ‘Prakata’ buku tersebut:

“Sungguh tak ada suatu tempat di dunia ini kecuali mungkin Asia Tengah yang, seperti halnya Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar dunia, berdampingan, atau lebur menjadi satu.”

Denys Lombard lebih jauh memaparkan, sekitar seribu tahun lamanya, dari abad ke-5 sampai ke-15, kebudayaan-kebudayaan India mempengaruhi Sumatra, Jawa, dan Bali. Namun sejak abad ke-13, dan terutama sejak abad ke-15, dua pengaruh lain mulai terasa menguat yaitu kebudayaan Islam dan China. Peradaban Eropa mulai menorehkan pengaruh kuatnya sejak abad ke-16.

Selanjutnya Lombard menggarisbawahi, kawasan Nusantara bukan “kasus khusus” sejarah dunia. Tetapi letak geografisnya secara khusus menekankan fungsinya sebagai persilangan, dalam arti titik pertemuan. Di sinilah terdapat laboratorium yang hebat untuk mengkaji konsep tradisi, akulturasi, dan etnisitas yang dewasa ini menjadi tren dalam ilmu-ilmu humaniora.

Thesis Lombard ini jelas menyiratkan adanya nilai-nilai pluralisme sebagai konsekuensi dari kekhususan letak geografis Nusantara.

Tak kecuali, sejarawan regional Asia Tenggara, Anthony Reid. Reid (2012) setuju bahwa pluralisme agama ialah sebagai tradisi di Asia, termasuk Indonesia. Reid mencontohkan Pulau Jawa sebagai bentuk pluralisme konkret melalui pembangunan dua candi besar yaitu Borobudur (Budha) dan Roro Jonggrang (Hindu).

Para founding parent tentu menyadari fakta sosiokultural ini. Ideologi Pancasila ialah buah kesepakatan luhur mereka dalam kerangka menjawab problem dan tantangan kemajemukan. Indonesia ialah masyarakat multietnis, multibahasa, multibudaya, dan bahkan juga multiagama atau kepercayaan.

Walhasil, visi tentang pendirian Indonesia bukanlah sebagai negara agama (theocracy state) maupun negara sekuler (secular state). Indonesia dibangun dengan visi sebagai “religious nation state” (negara kebangsaan yang berketuhanan), negara gotong royong, bersatu dalam keberbedaan, bhinneka tunggal ika.

Menariknya, sekalipun saat itu diskursus pluralisme dan multikulturalisme belum mengemuka dalam wacana ilmu-ilmu sosial humaniora, konsepsi ideologi Pancasila seolah telah dirumuskan sebagai bentuk antisipasi terhadap perkembangan zaman.

Seperti diketahui pascaambruknya Uni Soviet pada 1989, dunia ditandai mekarnya fenomena “politik identitas” (identity politics). Di seluruh dunia, politik identitas yang notabene mengukuhkan perbedaan identitas kolektif utamanya ialah berbasis etnis, ras, dan agama terlihat mengalami gelombang pasang. Indonesia, tak kecuali, pasca-Orde Baru terlihat tak sepenuhnya memiliki imun untuk menghadapi terpaan ini.

Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan nalar politik identitas ini bukanlah dialektika “alamiah” yang tak terhindarkan sejalan adanya keragaman identitas, melainkan munculnya keyakinan kuat bahwa identitas kelompoknya (the self) hanya bisa ‘ada’ dan dipertahankan sejarah keberadaannya dengan cara menghilangkan perbedaan dan keberadaan yang lain (the other).

Fundamentalisme keagamaan, apapun agamanya, terang mengemban potensi hadirnya keyakinan identitas kelompok seperti itu. Lebih-lebih ketika ia kemudian secara simultan bersinergi dengan agenda kepentingan politik praktis dalam kontestasi perebutan kuasa, seringkali justru membawa masyarakat bergerak semakin menjauh dari iklim rasionalitas.

Berbagai riset yang dilakukan beberapa lembaga independen memperlihatkan tendensi tersebut. Sebutlah SETARA Institute atau Wahid Institute, misalnya, selama beberapa waktu ini selalu menyuarakan isu ancaman SARA atau potensi perpecahan bangsa karena fenomena penguatan politik identitas.

Kebijakan Revitalisasi Pancasila

Kekeliruan Orde Baru ialah menempatkan ideologi Pancasila sebagai ”pseudo-agama.” Selain membangun aura sakralitas dan model tafsiran monolitik, Pancasila juga didudukkan sebagai ideologi yang tertutup atas kritik dan difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan yang otoriterianisme dan represif serta korup.

Implikasinya, Pancasila mengalami distorsi dan ”krisis legitimasi”. Sebagai akibatnya muncullah fenomena de-Pancasila-isasi. Fenomena ini ditandai oleh munculnya Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekapresetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara.

P4 sebagai materi muatan dan panduan pelaksanaan Pancasila sudah dianggap tidak relevan dengan perkembangan kehidupan bernegara dan situasi zaman. Meski demikian, TAP MPR No XVIII/MPR/1998 sebenarnya mengemban pesan moral dirumuskannya pengganti P4. Namun di sepanjang Era Reformasi, celakanya, panduan pelaksanaan Pancasila versi baru itu nisbi tidak pernah dirumuskan.

Kebijakan ini diikuti pembubaran sebuah lembaga, yaitu BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Melalui Keppres No 27 Tahun 1999 tentang Pencabutan Keppres No 10 Tahun 1979 tentang Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, maka lembaga BP7 resmi dibubarkan pada 31 Maret 1999.

Sialnya, terpinggirkannya wacana ideologi Pancasila plus tidak adanya panduan baru pelaksanaan Pancasila yang ditafsirkan secara relevan dengan situasi perkembangan zaman, justru membuat posisi agama atau setidaknya artikulasi keagamaan menjadi satu-satunya diskursus publik yang mekar di sepanjang Era Reformasi.

Hanya saja, celakanya, dalam dimensi sosiologis posisi agama seringkali memiliki fungsi laten sebagai ”pemecah” (out group) dan sekaligus fungsi manifes sebagai ”perekat” (in group). Ini tidak terlepas karena pada dimensi politik, intrumentalisasi agama sebagai ideologi seringkali melahirkan semangat fanatisme keagamaan secara berlebihan. Sialnya, sikap fanatisme ini, meminjam pengertian Yudi Latief (2008) ialah sikap menolak rasionalitas dan peraturan hukum yang dapat menjamin keberlangsungan kehidupan publik.

Munculnya berbagai gerakan radikal yang terjadi akhir-akhir ini jelas menunjukkan, bahwa ada semacam “kekosongan ideologi” yang dialami masyarakat. Pada titik inilah, bicara ”cacat” agama ini hanya dapat dijembatani melalui konsensus bersama. Artinya, kini dan ke depan kebijakan revitalisasi Pancasila ialah sebuah keniscayaan bagi sejarah Indonesia.

Presiden Joko Widodo tentu menyadari signifikansi kebijakan tersebut. Langkah pertama Presiden Joko Widodo ialah menandatangani Keppres No 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2016. Selain menetapkan 1 Juni sebagai hari libur nasional, kebijakan ini dimaksudkan untuk melengkapi sejarah ketatanegaraan Indonesia.

Selain itu, tak bosan-bosannya Presiden Ketujuh ini mengingatkan, meminta semua pihak agar memisahkan persoalan politik dan agama. Menurut Presiden Jokowi, demikian biasa dipanggil, pemisahan tersebut untuk menghindari terjadinya gesekan antarumat.

“Memang gesekan kecil-kecil kita ini karena pilkada, karena pilgub, pilihan bupati, pilihan wali kota, inilah yang harus kita hindarkan,” kata Presiden ketika meresmikan ‘Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara’ di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada 24 Maret 2017.

Karena rentan gesekan itulah, Presiden Jokowi meminta tidak ada pihak yang mencampuradukkan politik dan agama. “Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik,” ujar Presiden.

Di akhir 2016 sebenarnya telah muncul wacana perlunya dibentuk sebuah badan pengganti BP7. Hanya saja realisasinya baru terwujud pada 7 Juni 2017 dengan dikeluarkannya Perpres No 54 Tahun 2017. Lembaga ini bernama Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).

Namun demikian UKP-PIP ternyata dirasa perlu untuk disempurnakan. Pada 28 Februari 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres No 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Dengan perubahan bentuk unit kerja menjadi bentuk badan, maka diharapkan BPIP secara kelembagaan akan tetap existing sekalipun nanti Presiden Jokowi tidak berkuasa lagi.

Lembaga BPIP boleh jadi ialah pengganti lembaga BP7. Artinya, setelah berselang 18 tahun sejak BP7 dibubarkan, BPIP sebagai lembaga penggantinya barulah terbentuk. BPIP mengemban tugas maha berat: membumikan Pancasila.

Menilik sejarah, di era Sukarno dikenal indoktrinasi Manipol-USDEK, sedangkan di era Orde Baru dikenal P4. Pada titik ini, sejauh mana rumusan baru telah selesai dibuat, dan poin-poin apakah yang membedakan panduan baru dari  panduan lama? Jawabannya “wait and see!” Rumusan ini naga-naganya belum sepenuhnya selesai digodok.

Meskipun, ibarat rumah belum sepenuhnya selesai dibangun, sebagai kerangka desain bentuknya mulai terlihat jelas. Ini setidaknya tercermin dari keseriusan Presiden Jokowi untuk mengukuhkan kembali posisi ideologi Pancasila memang kasat mata.

Lihatlah, hanya selang sebulan dari pendirian lembaga UKP-PIP, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau populer disebut sebagai “Perpu Ormas.” Bersamaan itu, Hizbut Tahrir Indonesia yang berniat membangun Sistem Khilafah di Indonesia pun dibubarkan.

Sekalipun sempat menuai protes, Perpu Ormas ini disahkan DPR menjadi UU. Dengan disahkannya Perppu Ormas menjadi UU, pemerintah melalui regulasi ini memiliki wewenang membubarkan ormas yang memiliki ideologi bertentangan dengan Pancasila dan mengancam NKRI.

Dengan demikian arah kebijakan Presiden Jokowi mengukuhkan kembali ideologi Pancasila dengan semangat mengkompromikan keragaman identitas etnis, budaya, dan agama di Indonesia, setidaknya sementara ini bisa dilihat sebagai upaya mencegah potensi ”clash of cultural” atau ”clash of ideology” dan sekaligus menempatkan kembali posisi Pancasila sebagai aspek pemersatu anak bangsa.

Bisa disimpulkan demikianlah visi kebijakan revitalisasi ideologi Pancasila jikalau di sini diingat kembali pernyataan Presiden Jokowi: “Saya Indonesia, Saya Pancasila.” Slogan itu diciptakan untuk memeriahkan Pekan Pancasila 2017 dan memperingati Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni 2017.

Slogan itu ialah bentuk penegasan akan internalisasi nilai-nilai Pancasila, yang mewujud dalam sikap kesadaran transendensi, baik sebagai jati diri manusia Indonesia maupun sebagai warga negara. Kesadaran transendensi ini ialah kesadaran yang berpamrih melampaui batasan-batasan partikularisme yang sempit, baik atas nama etnis maupun agama atau kombinasi keduanya, untuk tumbuh menjadi universalisme keindonesiaan dan Indonesia.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *