by

Kemerdekaan Belajar bagi Siswa di Negeri Merdeka

Ujian nasional cenderung menjadi indikator keberhasilan individual siswa. Momentum ujian pun menciptakan stres bukan hanya pada siswa, tapi juga orang tua bahkan guru. Konsep pendidikan yang merdeka pun bergegas dimunculkan.

MARGOPOST.COM |Pada saat Kabinet Indonesia Maju dibentuk, seorang pengusaha muda mendapat kepercayaan untuk mengisi salah satu kursi eksekutif. Pria yang sekaligus menjadi menteri termuda di kabinet periode 2019-2024 itu bernama Nadiem Makarim.

Penunjukan Nadiem untuk menduduki jabatan prestisius itu tentunya bertolak dari pertimbangan yang matang dan harapan yang tinggi. Adalah Presiden Joko Widodo yang menaruh harap akan adanya terobosan dalam upaya peningkatan kualitas SDM Indonesia.

Dikatakan Presiden Jokowi, saat memperkenalkan Nadiem sebagai salah satu pembantunya di pemerintahan, harapannya SDM Indonesa itu yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan industri merupakan sebuah keniscayaan.

“Kita akan membuat terobosan yang signifikan dalam pengembangan SDM yang menyiapkan SDM siap kerja, siap usaha yang link and match antara pendidikan dan industri ada di wilayah Mas Nadiem,” ucap Jokowi saat memperkenalkan Nadiem sebagai Mendikbud.

Menyandang segudang harapan di pundaknya, Mas Menteri—begitu Nadiem biasa disapa—bergegas bertindak, diawali dengan memperkenalkan dua ide besar yang dibesutnya. Yakni, konsep Merdeka Belajar khusus untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah yang disampaikan pada Desember lalu, dan konsep Kampus Merdeka yang diterapkan dalam tingkatan pendidikan tinggi.

Konsep Merdeka Belajar merupakan bagian dari upaya-upaya membenahi sistem pendidikan dasar dan menengah. Dengan konsep itu, dipilih strategi  khusus untuk memerdekakan berbagai hal dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk regulasi yang membebani guru-guru agar bisa melakukan tugas utama mereka, yaitu melaksanakan pembelajaran.

Wacana yang Mewujud

Dalam upaya memerdekakan itulah, termasuk salah satu di antaranya penghapusan sistem Ujian Nasional (UN). Diketahui, wacana penghapusan UN sendiri bukanlah barang baru. Wacana itu bahkan telah bergulir sejak beberapa tahun silam.

Kebijakan yang bermula di era Kabinet Indonesia Bersatu itu, dicetuskan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada 2005. Namun kemudian kebijakan itu dievaluasi oleh penerusnya, M Nuh. Mendikbud M Nuh menghapus pelaksanaan UN untuk level sekolah dasar (SD) dan sederajat, pada akhir 2013. Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Mei 2013.

Dengan adanya perubahan itu, sejak 2014 tidak ada lagi pelaksanaan UN SD. Nuh menyebutkan, meski SD tidak ada UN, tetapi evaluasi tetap bisa dilakukan oleh pemerintah provinsi seperti yang telah dilaksanakan selama ini.

Pada 2015, wacana senada kembali santer terdengar. Adalah Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan yang mengungkapkan rencana kementeriannya untuk mengubah konsep UN. Dengan demikian, kata dia, UN tidak lagi menjadi instrumen yang digunakan sebagai indikator kelulusan, tetapi justru menggunakan UN sebagai alat pembelajaran.

“Saat UN menjadi satu-satunya penentu kelulusan, banyak siswa yang distress dan penuh dengan tekanan. Hal itu akhirnya memicu terjadinya kecurangan-kecurangan, itulah yang ingin kami evaluasi,” ucap Anies pada 23 Januari 2015.

Di tahun pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, wacana moratorium pelaksanaan UN pun pernah digulir Mendikbud Muhadjir Effendy. Tepatnya, moratorium pelaksanaan UN 2017. Pasalnya dia menilai, pelaksanaan UN perlu dievaluasi dan dilakukan treatment baru agar lebih berkualitas.

Pada kurun itulah, Kemendikbud mempersiapkan pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) sebagai pengganti UN. Dalam konsep USBN, jenis soal akan terdiri dari pilihan ganda dan esai. Jumlah soal pilihan ganda akan dikurangi, tak seperti UN yang seluruhnya merupakan pilihan ganda.

Menurut Muhadjir, itu dilakukan demi mendeteksi kemampuan berpikir kritis siswa. Lebih dari itu, USBN juga akan dilaksanakan tanpa kertas atau paperless, sehingga dapat menghemat anggaran. Namun wacana tersebut menguap, menyusul penolakan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memandang UN masih diperlukan di dalam sistem pendidikan di Tanah Air. Sebagai respons atas situasi yang ada, dalam rapat kerja terbatas kabinet pada 12 Desember 2016, Presiden Jokowi memutuskan agar pelaksanaan UN tetap dilakukan pada 2017.

Setelah sempat berkutat pada langkah parsial atau bahkan sekadar wacana, pada kepemimpinan Menteri Nadiem langkah penghapusan UN kian mewujud. Pasalnya, Menteri Nadiem mengaku telah banyak mendengar aspirasi murid, guru, dan orang tua yang ingin menghindari hal negatif.

Hal negatif yang dimaksud adalah tingkat stres yang tinggi pada siswa saat persiapan. Selain itu, ada rasa khawatir yang dirasakan siswa saat menghadapi ujian yang mata pelajarannya bukan bidang mereka.

Oleh karena itulah, Nadiem menegaskan, kebijakan yang akan dilakukan bukan sekadar menghapus UN. Melainkan, memperbaiki secara utuh sistem kelulusan siswa. “Jadi bukan sekadar wacana menghapus, tapi juga wacana memperbaiki esensi dari UN itu. Apakah menilai prestasi murid atau menilai prestasi sistem,” katanya, di Kantor Kemendikbud, pada penghujung November lalu.

Disebutkan Menteri Nadiem kemudian, UN itu akan diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. “Penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter,” tandasnya.

Kampus Merdeka

Sementara itu, melalui kebijakan yang esensinya merupakan kelanjutan dari Merdeka Belajar, yakni Kampus Merdeka, dijelaskan Menteri Nadiem, diusung upaya untuk memberikan berbagai keleluasaan atau dalam hal ini kemerdekaan pada perguruan tinggi. Sehingga kelak, sambung dia, perguruan tinggi tidak harus berkoordinasi dengan begitu banyak instansi atau kementerian lainnya.

“Kita menganalisis mana yang bisa dilakukan sekarang, untuk mulai memotong rantai-rantai, sekat-sekat regulasi yang menghalangi proses inovasi di dalam unit pendidikan kita,” papar Nadiem Makarim, di hadapan peserta IDE 2020 di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (30/1/2020).

Terkait kebijakan itu, ada empat hal yang dilakukan demi mempermudah dan memberi keleluasaan bagi kampus. Pertama, kebebasan untuk membuka program studi (prodi) baru dan membebaskan kemitraan kampus dengan pihak ketiga yang masuk kategori kelas dunia. Kedua, kemudahan proses reakreditasi yang selama ini begitu rumit dan mengambil waktu para dosen dan rektor sehingga tidak fokus kepada mahasiswanya.

Ketiga, kemudahan bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk naik kelas menjadi  PTN Badan Hukum (BH) sehingga memiliki keleluasaan untuk melakukan kerja sama. “Dan yang terakhir, yang favorit saya dari kampus merdeka, adalah upaya pembebasan SKS mahasiswa, di mana tiga dari delapan semester diambil di luar program studi,” ungkap dia.

Upaya pembebasan SKS mahasiswa sebanyak tiga semester, dari total delapan semester program S1, dapat diambil di luar prodi maupun di luar kampus. Termasuk di antaranya lewat magang, riset, dan pengabdian masyarakat.

“Itu merupakan hak mahasiswa, demi memerdekakan mahasiswa dari ilmu pengetahuan yang monoton,” tuturnya.

Dalam hal itulah, Menteri Nadiem menjelaskan, kampus akan terdorong untuk melakukan berbagai kegiatan atau kemitraan yang sesuai dengan realitas di dunia nyata. Baik dengan organisasi nirlaba, sambung dia, maupun dunia industri atau perusahaan teknologi industri dan sebagainya, bahkan juga dengan universitas kelas dunia.

“Dari pernikahan massal ini, baik dosen, prodi maupun mahasiswanya akan tercipta suatu link and match,” ujar Nadiem.

Lebih jauh, Menteri Nadiem menjelaskan, link and match dimaksud adalah tatkala yang dipelajari dalam masa empat tahun di S-1 menjadi relevan atau cocok dengan dunia nyata. “Bahwa setiap belajar sesuatu dia mengerti hubungannya apa dengan dunia nyata, bukan sekadar teori melainkan teori yang dikontekstualkan dalam dunia nyata, kompetensi soft skill yang riil buat dia yang tidak bisa dilatih di lingkungan kampus,” paparnya.

Partisipasi Masyarakat

Dua konsep yang telah di-launch, yang dalam waktu dekat bagaikan “bayi” yang siap dilahirkan ke bumi, diharapkan Menteri Nadiem, bakal membuat angka partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan meningkat signifikan.

Diketahui, angka partisipasi pendidikan oleh anak usia sekolah di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Kemdikbud), menurut Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Kemdikbud Suharti Sutar, bertepatan dengan Hari Anak Indonesia, pada 23 Juli 2019, menunjukkan bahwa angka partisipasi kasar jenjang pendidikan menengah mencapai 88,6% pada tahun ajaran 2018/2019.

Sementara itu, untuk SD atau sederajat dan SMP atau sederajat sudah selalu di atas 100 persen. Di samping peningkatan tersebut, partisipasi sekolah penduduk miskin juga mengalami peningkatan. Sementara untuk tingkat perguruan tinggi, pemerintah menargetkan APK pendidikan tinggi mencapai 50% pada 2024.

APK pendidikan tinggi sendiri adalah proporsi anak yang kuliah pada suatu jenjang tertentu terhadap penduduk pada kelompok usia kuliah. APK pendidikan tinggi pada 2019 sudah mencapai 34,58 persen.

Jumlah tersebut sudah melampaui peningkatan target APK pendidikan tinggi di kurun waktu 2014-2019. Di mana pada 2014 ditargetkan pada 2019 naik dari 29 persen  menjadi 34 persen. Ternyata angka itu sudah tercapai pada 2018, dan pada 2019 sudah melebihi target.

Hal itu dipandang penting, karena Nadiem meyakini, jika hanya pemerintah yang bergerak dalam merespons sebuah kebijakan, maka itu sejatinya merupakan sebuah kegagalan.

“Harus ada perubahan pola pikir. Sebab yang bisa melakukan pendidikan secara tepat, holistik, inklusif, dan relevan hanya kombinasi antara pendidikan dan masyarakat. Dan saya harap semua orang mengerti bahwa di Indonesia tidak ada satupun bidang pemerintahan yang tidak harus ada lompatan. Semuanya butuh lompatan. Memang negara kita begitu besar dan kita harus mengejar,” katanya.

Kendati konsep memerdekakan pendidikan di tanah air yang merdeka ini sudah demikian clear dan mampu menunjukkan wajah kewibawaan pendidikan Indonesia, nyatanya masih sebagian kalangan yang meragukan bahkan menolak potensi manfaat dari diusungnya semangat tersebut. Menyikapi itu, Mas Menteri Nadiem pun berujar singkat, “Jika tidak ada yang resisten, artinya perubahan besar tersebut tidak cukup berdampak. Jadi saya melihat resistensi positif itu jadi tantangan buat kita.” (N-1)/**

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *