by

Kementerian Kesehatan Fokus pada Pencegahan Stunting

Kementerian Kesehatan RI tercatat sebagai pemilik anggaran Rp132 triliun atau  terbesar keenam di APBN 2020. Namun demikian tugasnya cukup besar, salah satunya menurunkan angka stunting menjadi kurang dari 20 persen standar WHO.

MARGOPOST.COM | JAKARTA – Beberapa kali Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya mengembangkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia menjadi  SDM yang unggul. Presiden menyinggung soal anggaran di bidang kesehatan yang disebutnya sangat besar, itupun untuk mendukung cita-cita tersebut. Karena menurut presiden, kunci utama dari lompatan yang akan dicapai adalah tetap ada pada kekuatan sumber daya manusia.

Karena pentingnya pembangunan SDM itulah makanya tak heran bila anggaran bidang kesehatan kali ini menjadi lebih besar dari anggaran sebelumnya. Dalam RAPBN yang sudah disetujui DPR beberapa waktu silam, anggaran Kementerian Kesehatan menjadi terbesar di urutan keenam. Besarnya mencapai Rp132 triliun.

Anggaran yang besar itu diminta Jokowi untuk dikonsentrasikan pada hal-hal yang bisa berdampak langsung kepada rakyat demi pembangunan SDM yang unggul. Jokowi mengingatkan pada dua hal yang harus menjadi fokus perhatian di Kementerian Kesehatan, yakni ketercukupan gizi dan pencegahan penyakit.

“Tolong betul-betul dikonsentrasikan, fokus pada urusan yang namanya ketercukupan asupan gizi, makanan tambahan, yang berkaitan dengan pola hidup sehat, pencegahan penyakit. Itu betul-betul jadi sebuah area yang harus kita kerjakan,” sebut Jokowi.

“Tapi ini juga bukan hanya tugas Menkes, melainkan tugas Mendikbud melalui kurikulum di pendidikan, juga di Menteri PPPA, juga di Mensos, dan kementerian-kementerian lain,” kata Jokowi.

Sekretaris Jenderal Kemenkes Oscar Primadi, dalam siaran berita Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, menjelaskan bahwa 132,2 triliun rupiah anggaran kesehatan dalam RAPBN 2020 adalah untuk seluruh fungsi kesehatan. Sehingga, pengelola anggaran tersebut bukan hanya di Kementerian Kesehatan melainkan lembaga lain, seperti Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), serta rumah sakit di luar Kemenkes.

Namun demikian salah satu fokus Kemenkes dalam penggunaan anggaran 2020 adalah untuk menurunkan stunting. Ini juga terkait dengan visi misi presiden dalam peningkatan gizi masyarakat dan penurunan stunting.

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Stunting mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak. Anak stunting juga memiliki risiko lebih tinggi menderita penyakit kronis di masa dewasanya.

Permasalahan stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru akan terlihat ketika anak sudah menginjak usia dua tahun. UNICEF mendefinisikan stunting  sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi badan di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis). Hal ini diukur dengan menggunakan standar pertumbuhan anak yang dikeluarkan oleh WHO. Selain mengalami pertumbuhan terhambat, stunting juga seringkali dikaitkan dengan penyebab perkembangan otak yang tidak maksimal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengungkapkan bahwa dalam mendukung upaya penanganan stunting, Kemenkes mendapatkan alokasi anggaran sebesar 57,4 triliun rupiah. “Percepatan penanganan stunting tahun 2020 diperluas ke 260 kabupaten/kota yang sebelumnya 160 kabupaten/kota pada 2019,” kata Sri Mulyani.

Seementara Oscar Primadi mengakui bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2021, angka stunting ditargetkan turun hingga 19 persen pada 2024.

Strategi nasional dalam menurunkan stunting dilakukan dengan intervensi gizi spesifik atau langsung menyasar anak yakni untuk anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Upaya yang dilakukan di antaranya pemberian obat atau makanan untuk ibu hamil atau bayi berusia 0-23 bulan. Juga intervensi gizi sensitif yang dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan, antara lain, penyediaan air bersih atau sanitasi, pendidikan gizi, dan ketahanan pangan dan gizi.

Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto, menjadikan penurunan angka stunting menjadi salah satu program utama sesuai arahan presiden. Kasus stunting ditargetkan bisa turun dalam tiga tahun mendatang.

Makanya tak heran, beberapa saat setelah dilantik menjadi Menteri Kesehatan Terawan  pun bergerak cepat untuk mengatasi masalah stunting ini. Terawan langsung melakukan koordinasi dengan BKKBN. Menurutnya perlu langkah-langkah harmonis antarbadan untuk penangangan stunting yang menjadi prioritas.

“Angka kematian bayi, angka kematian ibu bisa kita turunkan drastis otomatis dengan meningkatkan kesejahteraan mereka baik jasmani dan pendidikan,” kata Terawan.

Terawan menjelaskan, koordinasi ini tetap diharapkan untuk mempercepat dalam pelaksanaan program untuk penanggulangan stunting. Tujuan utamanya tetap satu, yaitu mempercepat untuk mengatasi masalah stunting.

Ada dua program penurunan stunting yang akan dilakukan pemerintah dalam menangani masalah ini. Program pertama adalah pengadaan software yang berisi program penurunan stunting. Pembuatan software ini digawangi Direktorat Kesehatan Masyarakat. Dan program kedua melibatkan puskesmas, yang fungsinya kembali menjadi preventif dan promotif bukan kuratif.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Namun Nila F Moeloek  di akhir masa jabatannya sebagai Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa pada 2019 angka stunting sudah turun menjadi 27,67 persen atau berkurang 10 persen. Tapi standar WHO 20 persen. “Oleh karena itu saya ingin menyerahkan tanggung jawab ini untuk menteri berikutnya yang bertugas sampai 2024,” kata Nila.

Perlu diketahui, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) secara periodik 5 tahunan melakukan riset. Mereka riset  terhadap 84.000 balita dalam bentuk Hasil Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI).

SSGBI 2019 dilakukan secara terintegrasi dengan Susenas untuk mendapatkan gambaran status gizi yang meliputi underweight (gizi kurang), wasting (kurus), dan stunting (kerdil). Hasilnya, prevalensi balita underweight atau gizi kurang pada 2019 berada di angka 16,29 persen. Angka ini mengalami penurunan sebanyak 1,5 persen. Kemudian prevalensi balita stunting pada 2019 sebanyak 27,67 persen, turun sebanyak 3,1 persen. Sementara itu untuk prevalensi balita wasting (kurus), berada pada angka 7,44 persen. Angka ini turun 2,8 persen. Semua data dibandingkan dengan hasil survei  dari tahun lalu.

Menurunnya angka stunting di Indonesia merupakan kabar baik. Tapi masih perlu kerja keras semua pihak untuk melakukan segala upaya penurunan stunting. Menurut standar WHO, batas maksimal toleransinya di angka 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita yang sedang tumbuh.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *