by

KEK Pariwisata Morotai dan Rempah-Rempah Maluku

-Daerah, Maluku, Wisata-3,402 views

MARGOPOST.COM  |  — Kebijakan menetapkan Pulau Morotai sebagai KEK Pariwisata diharapkan membuat kepulauan ini kembali masyhur, laiknya rempah-rempah, pala, dan cengkih yang telah membuat berbagai bangsa di dunia berdatangan ke tanah air, di masa lalu.

Merujuk data UNWTO Tourism Highlight 2014, tercatat kontribusi sektor pariwisata bagi ekonomi dunia nisbi tinggi. Nilai ekonomi sektor ini terhadap GDP dunia ialah sebesar 9%. Berkontribusi atas nilai ekspor dunia sebesar USD 1.4 trilliun. Setara 5% ekspor dunia. Sedangkan bicara penciptaan lapangan kerja secara global, tercatat 1 dari 11 pekerjaan berada di sektor pariwisata.

Menariknya lagi, sungguhpun krisis ekonomi global sedang melanda dunia, jumlah perjalanan wisatawan global toh tetap saja menunjukkan tren pertumbuhan yang positif.

Menyadari signifikansi perkembangan di sektor pariwisata itulah, Presiden Joko Widodo lantas menempatkan ekonomi pariwisata sebagai sektor unggulan. Melalui RPJMN 2015 – 2019, pemerintah menetapkan 25 kawasan strategis pariwisata nasional. Dari 25 kawasan tersebut, 10 di antaranya ditetapkan sebagai 10 destinasi pariwisata prioritas.

Sedangkan dari 10 destinasi pariwisata prioritas itu, salah satunya ialah Kabupaten Pulau Morotai. Terletak di Kepulauan Halmahera, Kepulauan Maluku, dan termasuk sebagai bagian dari Provinsi Maluku Utara.

Secara geografis, Pulau Morotai memiliki posisi strategis, baik dari aspek geopolitik maupun geostrategis. Ini dikarenakan posisinya berada di daerah perbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, sebuah lokus jalur perdagangan antarnegara dan antarbenua, di mana negara-negara di kawasan Asia-Pasifik ini memiliki tren pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Karena itu Pulau Morotai memiliki peluang besar bagi pengungkit pengembangan ekonomi kawasan.

Sebagai kota kabupaten, Kabupaten Pulau Morotai nisbi belum lama terbentuk. Awalnya Pulau Morotai merupakan bagian dari Kabupaten Halmahera Utara. Sejalan disahkannya UU 53 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Pulau Morotai di Propinsi Maluku Utara, sejak 2008 menjadi kota kabupaten tersendiri dengan ibu kota Daruba.

Lebih jauh melalui Peraturan Pemerintah 50 Tahun 2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Morotai, pulau paling terluar di sisi timur laut Indonesia ini diproyeksikan menjadi sentra industri pengolahan perikanan. Selain itu, juga diharapkan dapat menjadi kawasan destinasi wisata internasional dengan estimasi nilai investasi sebesar Rp30,44 triliun hingga 2025.

Penetapan wilayah Morotai menjadi KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) ini dimaksudkan sebagai upaya memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha untuk berinvestasi, tanpa harus melalui prosedur birokrasi yang rumit.

Potensi Wisata

Bicara potensi wisata alam di Pulau Morotai tentu sangat kaya. Morotai memiliki wisata alam bawah laut. Menawarkan panorama bawah laut, snorkeling maupun diving, perairan Morotai menawarkan 28 titik penyelaman yang menarik. Bukan hanya bakal menikmati keindahan terumbu karang dan kekayaan beragam ikan laut, tapi juga bisa ditemui bangkai kapal sisa Perang Dunia ke-2.

Morotai juga memiliki kawasan wisata pantai yang indah. Sebutlah Pulau Dodola, misalnya. Terletak di sebelah barat Pulau Morotai. Dari Kota Kecamatan Daruba, naik speed boat butuh waktu 20-an menit. Uniknya, pulau ini sebenarnya terdiri dari Pulau Dodola Besar dan Pulau Dodola Kecil. Kedua pulau ini terlihat terpisah ketika air laut sedang surut dan membentuk jalan pasir yang memisahkan keduanya.

Obyek wisata alam lainnya ialah Tanjung Gorango terkenal dengan panorama pasir putihnya. Sedangkan Tanjung Sopi yang menghadap Samudera Pasifik terkenal memiliki ombak yang besar, sehingga lokasi ini menjadi ordinat yang menarik bagi para peselancar.

Bukan Cuma Alam

Bicara Moratai bukanlah wisata alam semata. Morotai juga menawarkan wisata sejarah dan budaya yang tak kalah menarik. Sebutlah Pulau Sumsum, misalnya. Selain panoramanya sangat indah, pulau ini juga menyimpan kisah jenderal perang legendaris, Jenderal Douglas Mac Arthur, di masa Perang Dunia ke-2.

Seperti diketahui, pada 15 September 1944, tentara Sekutu mendarat di Morotai. Strategi perang pasukan Sekutu di bawah komando Jenderal Mac Arthur sengaja memilih Pulau Morotai sebagai pangkalan perang untuk melawan Jepang di Perang Pasifik. Khususnya lagi ialah untuk tujuan merebut kembali Filipina. Pulau ini dipilih sebagai pangkalan militer karena letaknya strategis, selain dekat Filipina, juga sekaligus pintu masuk ke Samudera Pasifik.

Segera setelah penaklukan Morotai, angkatan udara Sekutu membangun tujuh landasan pesawat terbang. Tiga di antaranya memiliki landasan pacu sepanjang tiga kilometer, dan sisanya memiliki landasan pacu sepanjang 2 kilometer. Situs ini sohor disebut Landasan Pitoe.

Menarik juga disimak keberadaan Gua Nakamura. Sebuah “Gua Jepang” di pegunungan Galoka. Disebut Gua Nakamarua karena gua itu pernah menjadi tempat persembunyian tentara Jepang.

Alkisah, tentara itu bernama Teruo Nakamura. Menolak menyerah, ia masuk hutan sejak 1943 dan baru ditemukan oleh pejabat Kecamatan Morotai pada 1973. Nakamura dibujuk melalui pengeras suara. Lagu-lagu rakyat Jepang yang lazim dinyanyikan saat Perang Dunia ke-2, juga lagu kebangsaan Jepang, diperdengarkan. Ketika ditemukan, Nakamura masih memiliki senapan organik berikut lima butir peluru. Menurut keterangan penduduk, di samping Nakamura, ada tiga tentara lain yang bersembunyi di hutan.

Bersamaan itu, Pulau Morotai pun menyimpan kenangan tragis masyarakat Jepang dan Taiwan. Dulu banyak tentara Jepang gugur melawan tentara Sekutu dan dimakamkan massal di sini. Tentara pendudukan Jepang sebagian besar ialah orang Taiwan, sedangkan perwiranya ialah orang Jepang.

Objek wisata sejarah lain adalah Museum Trikora. Didirikan monumen peringatan Presiden Soekarno dalam rangka pembebasan Irian Barat. Kabupaten Pulau Morotai dijadikan pangkalan terluar tentara Indonesia untuk menyerang Belanda di Irian Barat.

Catatan Negeri Rempah

Sayangnya, khazanah historiografi masyarakat Maluku Utara dan khususnya Morotai bisa dikata belum banyak tergali. Bicara sejarah Morotai lazimnya berarti bicara sejarah Maluku Utara pada umumnya, di mana Morotai hanya sebagai bagian dari sejarah tersebut.

Ini tentu mudah dimengerti. Bagaimanapun, posisi sejarah Pulau Morotai dalam gugusan kepulauan Maluku Utara itu bukanlah menempati posisi sentrum dan dominan. Kerajaan Moro sebagai asal-muasal Morotai, berlokasi di daratan pantai timur Halmahera Utara—mulai dari tanjung Bisoa di utara sampai Tobelo—bukanlah kerajaan dominan seperti Kerajaan Ternate atau Tidore, misalnya. Walhasil, keberadaannya cenderung terabaikan dari catatan sejarah.

Terlebih merujuk pendapat Prof AB Lapian, sejak VOC Belanda terlibat perang-perang suksesi di Mataram, plus setelah harga rempah-rempah di pasar Eropa anjlog, maka perhatian Belanda jadi lebih terkonsentrasi ke Pulau Jawa dan kemudian di paruh akhir abad ke-19 ke Pulau Sumatra. Walhasil, seturut Prof AB Lapian, muncul kesan umum seolah-olah sejarah Maluku Utara terhenti dinarasikan.

Ya, jikalau sejarah Maluku Utara secara umum saja nisbi kurang tergali, alih-alih bicara sejarah Morotai. Sudah tentu pun lebih bisu ternarasikan, cenderung lebih sepi dari proses pencatatan sejarah.

Dalam perpektif teori kritis dan pascakolonialisme, bicara posisi diskursus sejarah Morotai bisa dimasukkan ke dalam kelompok kajian ‘subaltern’. Artinya, di sini studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora tentu bakal mendapatkan lahan subur yang menarik sekiranya menempatkan Morotai sebagai subyek penelitian.

Merujuk catatan sejarah peneliti lokal yaitu Abd Rahma, ibu kota Kerajaan Moro disinyalir adalah Mamuya, terletak di Morotia, kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Galela. Sayangnya, sementara ini, juga belum diketahui secara pasti kapan kerajaan Moro berdiri dan siapa pendirinya.

Merujuk sumber yang sama, pada artikel “Morotai: Pulau Terlupakan dalam Sejarah Perang Pasifik di Indonesia 1944-1945” itu dikatakan, Kerajaan Moro ini relatif masih eksis hingga pertengahan abad ke-16. Namun sejak menjelang akhir abad ke-16, saat Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate berkuasa, kerajaan kecil ini diintegrasikan menjadi bagian wilayah kuasa Ternate.

Merujuk sumber pemerintah Kabupaten Pulau Morotai, istilah ‘morotai’ berasal dari kata ‘morotia’. Artinya ialah tempat tinggal orang-orang Moro. Menariknya, juga dideskripsikan yang disebut Orang Moro ialah manusia misterius yang hilang (bahasa Jawa: moksa). Sulit dilihat mata biasa. Namun kehidupan Orang Moro diyakini ada, mereka hidup secara pararel di samping kehidupan manusia, dan juga memiliki kebudayaan seperti masyarakat manusia.

Sudah tentu juga tidak terlalu jelas di sini, apakah yang disebut sebagai Orang Moro ini memiliki korelasi dengan keberadaan Kerajaan Moro? Pun tidak terlalu jelas pula, apakah Orang Moro ini memiliki korelasi dengan etnis Moro yang tinggal di Filipina. Dengan demikian Morotai sebagai subyek penelitian yang termasuk kelompok kajian subaltern, jelas memberikan tantangan tersendiri bagi ilmuwan sosial dari disiplin studi etnografi dan historiografi sumber lisan.

Lalu, siapakah penduduk lokal (natives) di Pulau Morotai? Masih merujuk sumber resmi, dikatakan pulau seluas 2.314,90 km persegi ini tidak memiliki penduduk asli yang menetap turun-temurun. Penduduk yang menetap dan beranak-pinak di sini berasal dari etnis Tobelo dan etnis Galela di Pulau Halmahera, tepatnya di Kabupaten Halmahera Utara.

Kedua etnis ini ialah mayoritas penduduk Morotai hingga kini. Migrasi penduduk dari kedua etnis ini disebabkan oleh bencana alam yaitu meletusnya gunung berapi, Gunung Dukono atau Doekono, di Pulau Halmahera Utara. Ditengarai gunung ini meletus cukup hebat pada 1550.

Selain kedua etnis di atas, kelompok-kelompok etnik lain yang mendiami Pulau Morotai di antaranya adalah berasal dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Jawa, Sumatra, Cina Maluku, dan lain-lain. Mayoritas penduduk beragama Islam dan Kristen, dan sebagian kecil lainnya ialah pemeluk agama Konghucu, Hindu, dan Budha. Keseruhan jumlah penduduk berkisar 73 ribu jiwa.

Bicara petunjuk penting perihal sejauh mana peradaban kepulauan Maluku telah dikenal masyarakat dunia sebenarnya bisa dilakukan dengan melacak sejauh mana rempah-rempah, khususnya cengkih dan pala, telah diperdagangkan orang di masa lalu. Beberapa tanaman rempah seperti pala dan cengkih diduga kuat ialah tanaman endemik kepulauan Maluku.

Bicara Maluku umumnya hanya diketahui sebatas bahwa Bangsa Portugis datang menduduki kawasan itu pada 1512. Disusul oleh Spanyol 1521 dan kemudian Belanda 1607. Berikut ada adu kekuatan negara-negara Barat untuk menguasai daerah penghasil rempah-rempah ini. Juga diketahui tentang perlawanan Pangeran Nuku di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Menariknya, di sepanjang dua tiga tahun belakangan ini, jalur rempah kembali menjadi salah satu isu yang mengemuka dalam berbagai diskusi sejarah dan budaya Nusantara. Bagaimana hasilnya? Tentu masih dini sekiranya hendak ditarik kesimpulan.

Namun sedikit catatan hipotetif penting dikemukakan di sini. Berita Tionghoa, misalnya, telah mencatat nama Maluku pertama muncul dalam sejarah raja-raja Dinasti Tang, di sepanjang 618–906. Dikatakan bahwa Bali terletak disebelah timur Kaling dan di sebelah barat “Ma-li-ki”. Nama Ma-li-ki ditengari ialah sebagai Maluku. Sementara, dari sumber lain muncul sedikit catatan bahwa cengkih telah dikenal oleh bangsa Eropa sejak abad ke-4 dan juga bangsa Arab di abad ke-10.

Kembali pada agenda mendorong Pulau Morotai sebagai KEK Pariwisata. Terkait infrastruktur KEK diproyeksikan pada Kuartal I 2019 ini selesai. Serius bermaksud mendongkrak kunjungan wisata, maka “100 Calendar of Events Woderful 2019” menjadwal pada 4–5 Agustus hendak diadakan Festival Morotai.

Festival Morotai sedianya hendak menyajikan sejumlah kegiatan, antara lain, Parade Budaya dalam Bahari Pulau Morotai, Pekan Seni Morotai (lomba fotografi, lomba kerajinan tangan), dan Pekan Olimpiade Motorai (lomba dayung).

Tentu besar harapan bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Pulau Morotai khususnya, bahwa kebijakan menetapkan Pulau Morotai sebagai KEK Pariwisata ini bakal membuat kawasan kepulauan ini kembali masyhur, laiknya rempah-rempah dulu, yang membuat berbagai bangsa bergerak berdatangan ke tanah air./RD

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *