by

Istana Cipanas

MargoPost.com | Bogor – Istana Cipanas terletak di kaki Gunung Gede yang berhawa sejuk. Sejak zaman kolonial Istana Cipanas sudah dijadikan tempat bagi para Gubernur Jenderal. Pemandian air panas, sumber air mineral, serta udara pegunungan yang bersih, makin menyempurnakan kompleks itu sebagai tempat persinggahan yang digemari para pejabat tinggi. Presiden Soekarno menjadikan Istana Cipanas sebagai tempat mencari inspirasi bagi pidato-pidatonya.

Pada 1954, Bung Karno memerintahkan dua orang arsitek, R.M. Soedarsono dan F. Silaban, membuat desain sebuah studio terpencil di salah satu puncak bukit dalam lingkungan Istana Cipanas sebagai tempat merenung.

Pendiri Istana Cipanas adalah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron Van Imhoff, yang juga penggagas pembangunan Buiten zorg. Pada Agustus 1742 dengan pengawalan pasukan grenadiers VOC sang Gubernur Jendral melakukan ekspedisi ke arah Priangan dengan mengajak dua orang anggota Raad van Indie (Dewan Hindia), seorang dokter, seorang juru ukur tanah, dan seorang pendeta.

Pada 23 Agustus 1742 ekspedisi mencapai Kampoeng Baroe, yang kemudiaan oleh Van Imhoff dibangun Buiten zorg  atau sekarang disebut dengan Istana Bogor. Dua hari kemudian rombongan Van Imhoff tiba di Cisarua dan terus mendaki ke arah Puncak hingga mencapai sebuah sumber air panas yang menyembur di bawah sebatang pohon karet munding. Van Imhoff langsung jatuh cinta dengan tempat ini dan berniat  membangun sebuah rumah tetirah. Seorang juru ukur segera dikirim untuk membuat peta dan mematok kapling untuk bangunan yang dicita-citakannya.

Van Imhoff sendiri lalu membuat sketsa bangunan Istana Cipanas yang diilhami rumah musim panas Eropa, tetapi dengan memadukan arsitektur tropis. Pada 1742  pembangunan Istana Cipanas dimulai dengan mendatangkan para tukang kayu dari Tegal dan Banyumas yang dikenal rajin dan rapi garapannya. Hampir seluruh konstruksi bangunan terbuat dari kayu jati.  Besi cor juga dipakai sebagai penguat dan ragam hias bangunan.

Selama masa pembangunan itu, Van Imhoff sering datang menengok, sekaligus untuk berendam air panas. Dokter pribadinya bahkan menyarankan untuk minum air dari sumber itu yang diketahui mengandung belerang dan zat besi dicampur dengan susu yang mempunyai khasiat penyembuhan. Istana Cipanas selesai dibangun pada 1746.

Saat pembangunan Van Imhoff mulai menjalin asmara dengan tukang pijat cantik dari Tegal. Ketika juru pijat ini hamil Van Imhoff segera mempermandikannya menjadi Protestan, dan memberinya nama Helena Pieters. Dari rahim Helena lahirlah tiga anak Baron Van Imhoff.  Van Imhoff meninggal pada 1750 di Istana Cipanas setelah sakit selama dua bulan. Jenazahnya dimakamkan di Tanahabang, Jakarta, dengan upacara kebesaran militer.

Karena semakin ramainya pengunjung, pada 1916 pemerintah kolonial menambahkan tiga bangunan di sekeliling bangunan induk. Paviliun-paviliun itu sekarang bernama Arjuna, Yudhistira, dan Bima. Bagian belakang bangunan induk juga diperpanjang untuk mementaskan berbagai kesenian. Berbagai bangunan ditambahkan lagi pada era Republik Indonesia setelah penetapan rumah tetirah di Cipanas itu sebagai Istana Presiden.

Hanya sebagian Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pernah menggunakan Istana Cipinas untuk tetirah. Para Gubernur Jendral lebih tertarik tetirah di Buiten zorg  yang lebih dekat. Perjalanan menanjak dengan kuda ke arah Cipanas dirasa sangat melelahkan dan kurang menarik. Tercatat hanya tiga Gubernur Jendral yang pernah menempati Istana Cipanas bersama keluarganya diawal abad 20 yaitu, Gubernur Jenderal Andreas Cornelis De Graeff, Bonifacius Cornelis De Jonge, dan Tjarda Van Starkenborgh-Stachouwer.

Di masa pendudukan Jepang, para pemimpin tentara dan pembesar Jepang yang gemar berendam air panas selalu singgah di Cipanas dalam perjalanan antara Jakarta dan Bandung.
Sejak Presiden Soekarno Istana Cipanas mulai dijadikan tempat pernikahan para keluarga Presiden Indonesia. Soekarno memulainya dengan  melangsungkan akad nikah dengan Ibu Hartini pada 1953. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengadakan pernikahan  anaknya Ibas Yudhoyono dengan Aliya Rajasa secara megah di Istana Cipanas yang dihadiri 1000 undangan.

Pada 1954, Bung Karno memerintahkan dua orang arsitek, R.M. Soedarsono dan F. Silaban, membuat desain sebuah studio terpencil di salah satu puncak bukit dalam lingkungan Istana Cipanas sebagai tempat merenung. Bangunan sederhana itu dibikin dari bahan dasar batu kali yang ditonjolkan sebagai ragam hias. Gedung itu hingga sekarang disebut Gedung Bentol karena bentol-bentol batu kali yang diekspos, baik pada dinding maupun pada lantai luar bangunan.

Bila sedang di Istana Cipanas biasanya Bung Karno datang pagi-pagi ke Gedung Bentol dengan membawa bahan-bahan untuk menulis. Pelayan menyediakan segelas kopi, teh, air, dan hidangan ringan seperti pisang rebus, singkong rebus, kacang rebus.

Di Istana Cipanas Presiden Sukarno pada 13 Desember 1965  mengadakan sidang kabinet dan mengeluarkan kebijakan “sanering” yang mengubah nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Sebelumnya, kebijakan “sanering” ini pernah dilakukan oleh PM Hatta pada tahun 1950 dengan  memangkas nilai Rupiah hingga setengahnya.

Pada 1983, di era Presiden Soeharto  dibangun paviliun kembar yang diberi nama Nakula dan Sadewa. Presiden Soeharto juga mendatangkan kursi-kursi ukiran Jepara di berbagai ruang Istana Cipanas, digabungkan dengan perabotan tinggalan lama.

Presiden Soeharto hanya sesekali bermalam di Istana Cipanas. Namun keluarga para Wakil Presiden di era Presiden Soeharto justru sering datang ke Istana Cipanas. Tercatat para Wakil Presiden yang berkunjung kesini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Soetrisno. Pak Umar sering menggunakan Istana Cipanas selama libur Idul Fitri. Pak Try hampir selalu menggunakannya setiap pergantian tahun.

Perubahan yang dibawa Presiden Soeharto ke Istana Cipanas berpadu dengan koleksi lukisan dan patung-patung Bung Karno  yang menjadi hiasan utama interior dan eksterior Istana Cipanas, misalnya saja karya-karya Lee Man Fong, Theo Meier, Batara Lubis, Basoeki Abdullah, Rustamadji, Russel Flynt, Rudolf Bonnet, Dullah, dan S. Sudjojono.

Istana Cipanas memang berfungsi persis seperti di zaman Hindia Belanda, sebagai tempat  istirahat para pejabat tinggi negara. Jarang dijadikan ajang pertemuan formal. Salah satu pertemuan resmi yang pernah dihelat di Istana Cipanas adalah perundingan damai bagi faksi-faksi Filipina yang bertikai. Pada 14-17 April 1993, atas inisiatif Presiden Soeharto, Menteri Luar Negeri Ali Alatas memimpin perundingan antara Pemerintah Filipina dan kelompok Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari./Hdr.-

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment