by

Indonesia Jadi Raja Digital Asia Tenggara

MARGOPOST.COM | Menkominfo Rudiantara memberikan isyarat akan lahir satu perusahaan rintisan sebagai unicorn selanjutnya, yakni berasal dari sektor pendidikan.

Indonesia kembali mendapatkan pengakuan sebagai raja digital di kawasan Asia Tenggara. Disebutkan, Indonesia menyumbang USD40 miliar, atau sekitar Rp567,5 triliun dari total nilai ekonomi digital di Asia Tenggara pada tahun ini.

Pengakuan ini muncul dari laporan e-Conomy SEA 2019 yang dirilis oleh Google, Temasek, dan Bain belum lama ini. Studi dengan tebal 65 halaman itu merupakan laporan yang keempat dari serangkaian laporan tahunan yang diterbitkan oleh Temasek dan Google sejak 2016.

Tujuan dari laporan dua korporasi global adalah bagian dari upaya melacak pertumbuhan ekonomi digital yang sedang booming di wilayah tersebut. Bain and Company baru bergabung belakangan, terutama dalam laporan terbaru tersebut.

Menurut laporan itu, nilai ekonomi digital di Asia Tenggara hingga akhir 2019 ini diperkirakan mencapai USD100 miliar atau setara dengan Rp1.419 triliun (kurs Rp14.187 per dolar AS). Dan, pada 2025, bisnis ini diprediksi bisa menembus USD300 miliar, naik tiga kali lipat dari kondisi saat ini.

Di antara negara-negara di kawasan itu, masih kata e-Conomy SEA 2019, Indonesia dan bersama Vietnam, tercatat mencetak pertumbuhan ekonomi digital mencapai 40% sejak 2015.

Dan, tahun ini ekonomi digital di Indonesia diproyeksikan bisa mencapai Rp567,5 triliun pada 2019 dengan tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 49%.  Google, Temasek, dan Bain juga memperkirakan ekonomi digital Indonesia menembus USD133 miliar atau sekitar Rp1.887 triliun pada 2025. Luar biasa.

Memang, laporan ekonomi digital itu tidak menghitung pergerakan perputaran dana yang terjadi di media sosial. Tapi,  nilai ekonomi tersebut adalah akumulasi dari aktivitas di lima sektor ekonomi berbasis internet yaitu e-commerce, media daring, ride-hailing, e- travel, dan fintech.

Tidak dipungkiri, sebagai negara yang menganut ekonomi terbuka, persaingan untuk menikmati kue ekonomi digital juga tidak mudah. Siapa yang bisa memanfaatkan dan mengoptimalkannya, dialah yang menjadi pemenangnya.

Kompetisi Keras

Wajar saja, di era ekonomi berbasis internet di Indonesia, kita menyaksikan kompetisi yang keras antara perusahaan teknologi lokal dan luar negeri. Pertarungan antara dua pemain utama di sektor berbagi kendaraan, misalnya, yaitu Grab dan Gojek membuat pasar sektor tersebut tumbuh enam kali lipat dalam 4 tahun terakhir.

Sedangkan pertarungan antara pemain lokal seperti Tokopedia dan Bukalapak dengan perusahaan asal luar negeri seperti Shopee dan Lazada mendongkrak pasar dagang elektronik melonjak 12 kali lipat dalam 4 tahun terakhir. Sektor lain yang juga dinilai berdampak besar pada perkembangan ekonomi digital di Indonesia adalah pembayaran digital.

Bisa jadi persaingan telah memunculkan kreasi untuk terus melakukan inovasi. Dengan laju pertumbuhan saat ini, Google, Temasek, dan Bain memperkirakan ekonomi digital Indonesia menembus USD133 miliar atau sekitar Rp1.887 triliun pada 2025.

Bagi Indonesia, ekonomi digital sudah disadari akan menjadi mesin pertumbuhan baru ekonomi negara ini. Presiden Joko Widodo pun pernah memberikan gambaran berkaitan dengan ekonomi digital tersebut. Pada 11 tahun lalu, kepala negara memberikan ilustrasi, kondisi perusahaan multinasional terbesar kini sudah sangat berbeda.

Sebelas tahun lalu, Presiden mengutip data, hanya ada satu perusahaan teknologi yang masuk ke dalam daftar 10 perusahaan terbesar di dunia dari sisi kapitalisasi pasar.

Namun kini, kondisi tersebut berubah. Dari total 10 perusahaan berkapitalisasi besar skala global, sedikitnya 5 perusahaan teknologi masuk ke dalam daftar tersebut. “Tadi hanya salah satu contoh kecil bagaimana kemajuan teknologi sudah mengubah dunia kita. Revolusi industri 4.0 sedang terjadi dalam proses terus membawa perubahan yang sangat dahsyat dan cepat,” Joko Widodo menjelaskan.

Hal itu terbukti. Kini, Indonesia sudah memiliki tiga startup yang berstatus unicorn—startup dengan nilai valuasi di atas USD1 miliar. Ketiganya adalah Bukalapak, Tokopedia, dan Traveloka. Sedangkan satu startup yang sudah naik kelas menjadi decacorn—bervaluasi di atas USD10 miliar—adalah Gojek.

Menjelang akhir tahun, ada satu lagi startup menyandang status unicorn, yakni OVO, sebuah startup teknologi finansial, atau tepatnya dompet digital. Telah lahirnya unicorn baru dibenarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di sela-sela acara Siberkreasi di Jakarta, Sabtu (5/10/2019).

“Saya sudah bicara dengan founder-nya, dan memang iya [OVO jadi unicorn]. Makanya, saya berani bicara setelah saya konfirmasi,” ujar Rudiantara.

Sebelumnya, firma analisis perusahaan, CB Insight, dalam laporannya menulis valuasi OVO sudah mencarap USD2,9 miliar atau sekitar Rp41 triliun. Situs CB Insight bahkan mencatat valuasi OVO sebesar itu sejak 14 Maret 2019.

Soal potensi perusahaan rintisan lain sebagai unicorn selanjutnya, Rudiantara memberi isyarat bahwa startup itu berasal dari sektor pendidikan. “Bagaimana pun, secara logika, 20% APBN pemerintah untuk pendidikan, 5% untuk kesehatan. Jadi, masa sih tidak ada unicorn dari sektor itu,” ujar Rudiantara.

Harus diakui, Indonesia dengan potensi penduduknya yang luar biasa telah menjadi lahan subur tumbuhnya bisnis berbasis ekonomi Internet, baik lokal maupun dari asing. Dan, pelaku ekonomi Internet dari lokal ternyata mampu berkibar dan bersaing dengan pelaku asing tersebut.

Keberhasilan sejumlah pelaku usaha lokal untuk bersaing itu tidak terlepas dari adanya kemauan kuat untuk terus melakukan inovasi. Benar, terus berinovasi adalah kata kunci untuk bisa bersaing dan bertahan.

Bagi perusahan yang tidak inovatif, ibaratnya tinggal menunggu kematian. Kemajuan teknologi dan perubahan perilaku pelanggan, sudah pasti menuntun perusahaan untuk terus melakukan perubahan. Dan itu terbukti dengan pengakuan e-Conomy SEAS 2019 tersebut.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *