by

Gelombang Baru Hubungan Indonesia-Australia

MARGOPOST.COM | Jakarta – Sejarah baru terukir di Gedung Parlemen Australia di Canberra, 10 Februari 2020. Hari itu, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara pertama di dunia yang berpidato di Parlemen Australia pada 2020.

Keberadaan Presiden Jokowi di Australia, 9-10 Februari 2020, merupakan bagian dari peringatan 70 tahun hubungan bilateral kedua negara. Kesempatan tersebut juga menjadi momen spesial karena Presiden Jokowi berpidato di hadapan Parlemen Australia menggunakan Bahasa Indonesia.

Penggunaan bahasa Indonesia itu bukan tanpa sebab. Pasalnya, Kepala Negara telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Perpres tersebut salah satunya mengatur bahwa Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lain wajib berpidato dengan menggunakan Bahasa Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.

“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri,” demikian bunyi Pasal 5 Perpres yang mulai berlaku pada 30 Septermber 2019 itu.

Sesuai konstitusi Australia, negara federasi itu memang membuka diri bagi negara asing untuk menyampaikan pidato di Parlemen Australia. Hal tersebut dimulai pada 29 November 1951 saat peringatan 50 tahun Parlemen Australia dengan menghadirkan tiga anggota parlemen dari Inggris Raya, yakni Richard Law, David Rhys Grenfell, dan Jo Grimond.

Kemudian, mulai 1990-an, ketentuan tersebut diubah menjadi terbuka bagi kepala pemerintahan dan atau kepala negara asing yang terpilih untuk berpidato di hadapan Parlemen Australia.

Pada 2 Januari 1992, Presiden Amerika Serikat (AS) saat itu, George HW Bush, pun menjadi presiden asing pertama yang berpidato di depan Parlemen Australia. Empat tahun kemudian, tepatnya 20 November 1994, Bill Clinton memperpanjang deretan Presiden AS yang berpidato di Parlemen Negeri Kanguru itu, disusul George W Bush tujuh tahun kemudian.

Sehari setelah George W Bush, giliran Presiden Tiongkok Hu Jintao yang berpidato di Parlemen Australia, disusul tiga tahun kemudian pada 27 Maret 2006 oleh Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair.

Lalu berturut-turut PM Kanada Stephen Harper pada 11 September 2007, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Maret 2010, PM Selandia Baru John Key pada 20 Juni 2011, dan Presiden AS Barack Obama pada 17 November 2011.

Tiga tahun berselang, pada 2014, Parlemen Australia menghadirkan tiga kepala pemerintahan asing, yakni PM Jepang Shinzo Abe pada 8 Juli 2014, PM Inggris David Cameron pada 14 November 2014, dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada 17 November 2014.

Berlanjut pada 2016, giliran PM Singapura Lee Hsien Loong menyampaikan pidato di Parlemen Australia.

Terakhir, setelah berlalu tiga tahun, Presiden Jokowi pun berkesempatan untuk menyampaikan pidato dalam forum yang sama. Jokowi menjadi Presiden RI kedua dan kepala pemerintahan ke-14 dari tujuh negara di dunia yang pernah berpidato di Parlemen Australia sejak 1951.

Dalam sejarah Australia, sebagaimana dikutip dari portal resmi Parlemen Australia, www.aph.gov.au, kepala negara yang menyampaikan pidato di Parlemen Negeri Kanguru itu merupakan simbol kedekatan hubungan dan kemitraan kedua negara. Berdasarkan konstitusi, hanya kepala negara terpilih yang diberikan kesempatan untuk berpidato di hadapan Parlemen Australia untuk menyampaikan pandangan tentang arti penting hubungan dengan Australia.

Agenda Prioritas dan Ausindo Wave

Dalam pidatonya di hadapan Parlemen Australia, Presiden Jokowi mengusulkan empat agenda prioritas menyongsong satu abad kemitraan kedua negara untuk menghadapi berbagai tantangan global, serta kampanye Ausindo Wave bagi generasi muda.

“Pertama, kita harus terus memperjuangkan nilai demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, dan kemajemukan. Stop intoleransi, setop xenophobia, setop radikalisme, setop terorisme. Terus kikis politik identitas di negara kita dan di berbagai belahan dunia, baik itu atas dasar agama, etnisitas, identitas askriptif lainnya,” tuturnya.

Politik identitas, menurut Presiden Jokowi, merupakan ancaman terhadap kualitas demokrasi, kemajemukan, dan toleransi. Ia menegaskan bahwa ancaman ini semakin nyata jika terus dieksploitasi demi kepentingan politik jangka pendek yang mengakibatkan kebencian, ketakutan, bahkan konflik sosial.

Kedua, lanjutnya, Indonesia dan Australia harus memperkuat prinsip ekonomi terbuka, bebas, dan adil, di tengah maraknya proteksionisme, di mana kedua negara harus terus menyuarakan keterbukaan dan keadilan ekonomi.

Itulah mengapa Presiden Jokowi menyambut baik kesepakatan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership (IA-CEPA). Sebab, kolaborasi menjadi kata kunci yang akan menciptakan peluang, mengembangkan pusat pertumbuhan ekonomi baru, serta menemukan solusi bagi tantangan ekonomi global.

“Yang ketiga, Indonesia dan Australia harus menjadi anchor (jangkar) mitra pembangunan di kawasan Pasifik. Indonesia memahami tantangan pembangunan di kawasan Pasifik. Sebagai sesama negara kepulauan, tantangan yang dihadapi Indonesia dan negara kawasan Pasifik tidak jauh berbeda,” tambahnya.

Menurut Presiden Jokowi, perubahan iklim dan bencana alam, serta pemerataan sosial, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan sumber daya manusia adalah tantangan nyata yang dihadapi negara-negara di kawasan Pasifik.

Maka itu, Indonesia dan Australia harus menjadi teman sejati bagi negara-negara di kawasan Pasifik, berkolaborasi sebagai mitra pembangunan, mengatasi dampak perubahan iklim, memperkecil tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial, serta menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan Pasifik.

Terakhir, Presiden Jokowi mengajak kedua negara bahu membahu bagi pelestarian alam dan pembangunan berkelanjutan, reboisasi hutan dan daerah hulu sungai, mencegah kebakaran hutan dan lahan, berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon, serta pengembangan energi terbarukan dan green technology lainnya.

Selain empat agenda prioritas tersebut, Kepala Negara menyebut bahwa jangkar kemitraan Indonesia dan Australia pada tahun 2050 adalah generasi muda. Sehingga, kedua negara harus menawarkan tren kedekatan Indonesia-Australia kepada generasi muda, yakni menggelorakan kecintaan generasi muda Australia pada Indonesia dan sebaliknya.

Presiden menyebut kampanye tersebut dengan Ausindo Wave atau Australia-Indonesia Wave.

Presiden Jokowi mengungkapkan, saat ini terdapat 160 ribu siswa Australia belajar Bahasa Indonesia dan 21 ribu siswa Indonesia belajar di Australia. Ia menegaskan bahwa jika ini terus dilakukan, maka kemitraan Indonesia-Australia pada usia 1 abad nanti akan bermanfaat bukan saja bagi rakyat kedua negara, tapi juga bagi dunia.

Sebagai penutup pidatonya, Presiden Jokowi pun mengutip musisi Jimmy Little, seorang artis Aborigin Australia, “We’re all gifted with the opportunity to succeed. But you get further if you extend the hand of friendship (Kita semua diberkahi kesempatan untuk berhasil. Tetapi kamu bisa lebih jauh berhasil jika mengulurkan tangan persahabatan).”

“Melalui persahabatan yang tulus, maka hubungan Indonesia dan Australia bukan saja bermanfaat bagi kesejahteraan kedua negara, namun juga bagi kawasan di sekitar kita dan bagi dunia secara keseluruhan,” pungkas Presiden Jokowi./**

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *