by

Dilema Vaksin MR, Kepentingan Negara atau Fatwa MUI?

MARGOPOST.COM | JAKARTA – Vaksin measles-rubella (MR) yang baru didegungkan oleh Pemerintahan Joko Widodo menuai perdebatan di tanah air, karena vaksin asal India itu dipertanyakan kehalalannya. Misal, Bangka Belitung dan Provinsi Kepualuan Riau secara terbuka mereka mengeluarkan surat edaran, yang isinya mengimbau agar umat muslim menunda vaksin itu, karena belum adanya sertifikasi kehalalannya.

Belum lagi, delapan sekolah berbasis keagamaan di DI Yogyakarta menolak imunisasi yang merupakan program dari pemerintah ini. Penolakan sekolah itu, karena mereka menilai vaksin yang menjadi program pemerintah Jokowi itu haram. Pelaksanaan imunisasi vaksin ini sebenarnya telah dilaksanakan serentak di 28 provinsi luar Pulau Jawa. Vaksin MR dikampanyekan di Indonesia sejak tahun lalu.

Vaksin MR merupakan produk dari perusahaan vaksin asal India, yaitu Serum Institute of India (SII). Perusahaan produsen vaksin asal Indonesia, PT Bio Farma bertindak sebagai importir, yang kemudian mendistribusikannya di Indonesia untuk keperluan program imunisasi MR dari pemerintah.

Saat ini, di dunia hanya ada tiga negara yang sudah bisa memproduksi vaksin MR secara mandiri, yaitu Jepang, China dan India. Sementara, vaksin MR produksi asal Jepang, saat ini hanya cukup untuk kebutuhan dalam negerinya saja dan tidak melayani penjualan ke luar negeri.

Sedangkan vaksin MR produksi China belum memenuhi persyaratan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Nah, hanya vaksin buatan SII ini disebut sudah memiliki persyaratan yang lengkap. Perlu diketahui bahwa vaksin MR dari ketiga negara tersebut belum ada yang memiliki sertifikasi halal dari MUI.

Alhasil, beberapa daerah di Indonesia menghentikan penggunaan vaksin MR buatan SII tersebut. Bio Farma disini bertindak sebagai distributor tak mengupayakan agar SII meregistrasikan sertifikasi halal produknya.

Kendati demikian, Bio Farma terus mendorong SII untuk mendaftarkan sertifikasi halal produknya sejak 2017 lalu. Sebenarnya Bio Farma bisa saja membantu mendaftarkan sertifikasi halal vaksin MR asal India ini, dengan syarat memiliki dokumen terkait komponen vaksin ke BPOM atau LPPOM MUI.

Tapi secara logika, SII tentu tidak akan memberikan “resep rahasia” vaksin MR miliknya kepada Bio Farma yang merupakan sesama produsen vaksin. Dalam pertemuan antara Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek dan MUI pada Jumat (3/8) dihasilkan solusi untuk melanjutkan kampanye imunisasi MR di 28 provinsi luar Pulau Jawa ini.

Caranya, Menkes atas nama negara harus menyurati SII untuk meminta dokumen-dokumen terkait komponen dalam kandungan vaksin MR ini. Itu dilakukan demi kepentingan pemeriksaan unsur kehalalan di LPPOM MUI.

Jika LPPOM MUI sudah melakukan pemeriksaan unsur kehalalan, dengan demikian Komisi Fatwa MUI akan menerbitkan fatwa khusus tentang status kehalalan vaksin MR. Meski sudah melakukan pertemuan dengan MUI, nyatanya Menkes tetap akan melakukan imunisasi kepada anak-anak bangsa.

“Kami tetap melakukan imunisasi meskipun masih terhambat isu sertifikasi halal ini. Kami tetap menjalankannya untuk melindungi masyarakat dari penyakit,” klaim Nila saat di Gedung MUI Jakarta Pusat, Jumat 3 Agustus 2018.

Untuk itu, Menkes akan membantu masalah sertifikasi tersebut dengan mengirimkan surat pada produsen vaksin MR ini. “Kemenkes akan menyurati serum institut of India untuk menanyakan sekali lagi bahan yang sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun lalu, tapi masih dalam proses,” lanjut dia.

Hingga sampai saat ini, MUI belum mengeluarkan sertifikat halal untuk vaksin imunisasi MR, yang tengah menjadi kontroversi. Belum adanya permintaan dari Kemenkes untuk melakukan uji halal vaksin imunisasi MR ke Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI. LPPOM menjadi cikal bakal kenapa vaksin ini dilarang.

“Semestinya jauh-jauh hari ada pengajuan surat pada MUI terutama LPPOM untuk diperiksa vaksin ini tapi suratnya enggak pernah masuk. Bagaimana menindaklanjuti?” ujar Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas di Kantor MUI, Jakarta, Senin 6 Agustus 2018.

Akibat belum adanya pengajuan, MUI mengatakan vaksin imunisasi MR belum halal. Oleh karena itu, MUI mendorong agar Kemenkes segara melayangkan surat permintaan pengkajian. MUI, kata Anwar, sudah menyurati Kemenkes.

Surat itu ditindaklanjuti oleh Menkes yang datang ke kantor MUI. Kedua belah pihak sepakat agar vaksin imunisasi MR diteliti dan diperiksa. Namun, hingga Senin, MUI mengaku belum mendapatkan surat permintaan pengkajian dari Kemenkes.

MUI sejauh ini tidak pernah menghambat permintaan pengkajian halal yang masuk ke LPPOM. “MUI nunggu. Kalau masuk hari ini, kami selesaikan secepatnya. Tetapi mana suratnya?” kata dia.

MUI dalam hal ini menyesalkan sikap Kemenkes yang susah menyuntikkan vaksin MR yang belum mendapatkan sertifikat halal kepada masyarakat. Padahal, kata dia, bagi umat Islam harus tunduk dan patut pada ajaran agama yakni tidak mengkonsumsi yang haram. Sementara itu vaksin imunisasi MR belum jelas halal dan haramnya.

Semantara, Menkes menambahkan, proses sertifikasi sedang dilakukan. “Belum. Belum keluar serifikat halal dari mereka. Tetapi prosesnya apa yang dimintakan sudah kami kerjakan,” kata Nila di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 7 Agustus 2018.

Dokumen untuk kebutuhan sertifikat halal vaksin MR juga, lanjut dia, harus disiapkan langsung oleh sang produsen, yakni SII. Kemenkes pun sudah mengirimkan surat kepada SII yang berisi permintaan agar mereka menyiapkan dokumen terkait dan mengirimnya ke MUI.

“Saya sudah kirim surat ke SII dan kita menunggu jawaban. Saya juga tentu meminta WHO mengatakan kita punya masalah seperti ini, supaya bisa, bukan menekan sih, artinya meminta betul dari SII ini untuk membantu,” kata Nila.

Proses sertifikasi halal vaksin MR ini diharapkan berlangsung cepat. Kendati demikian, ia juga tidak bisa memberikan tenggat waktunya. Sambil menunggu proses sertifikasi selesai, menurut dia, Kemenkes akan tetap terus memberikan vaksin MR kepada masyarakat. Namun, ia memaklumi jika ada masyarakat yang menolak. “Tapi bagi yang tidak (menolak) kita jalan terus,” ujarnya.

Sebelum menerka-nerka program yang tiba-tiba muncul ini, memang adakalanya harus mengenaili terlebih dulu penyakit yang disebut pemerintah bisa mengatasi virus MR. Penyakit MR yang disebut pemerintah ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus.

Penyebab campak yakni Morbilivirus, sedangkan rubella disebabkan oleh golongan togavirus. Gejala penyakit ini mirip sebagainya, yaitu adanya demam disertai ruam. Bedanya, anak yang mengalami campak seringkali terlihat lebih sakit, mata merah, batuk, sesak dan diare.

Sebagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, penderita campak disebut akan sembuh dengan sendirinya seiring waktu karena adanya kekebalan tubuh yang melawan virus. Tetapi campak mematikan karena komplikasinya, yaitu radang paru (pneumonia), diare dengan dehidrasi (kekurangan cairan) berat dan ensefalitis (peradangan di jaringan otak dengan konsekuensi kecacatan seumur hidup, bila penderitanya tidak meninggal. Campak juga dapat menyebabkan kebutaan dan infeksi telinga tengah yang berisiko gangguan pendengaran.

Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, sebanyak 134.200 kematian di seluruh dunia atau setara dengan 367 kematian perharinya atau 15 kematian perjamnya. Angka ini memang jauh menurun seiring meluasnya cakupan imunisasi. Pada tahun 1980 misalnya, campak diperkirakan telah menyebabkan 2,6 juta kematian pertahun.

Di Indonesia, imunisasi campak masuk ke dalam program rutin yang diberikan kepada bayi ketika bayi berusia sembilan bulan sejak tahun 1982. Kemudian pada tahun 1980, berdasarkan catatan ada 28.935 kasus campak di Indonesia dan sempat meningkat menjadi 92.105 kasus di tahun 1990.

Pada data tahun 2016, kemudian ada laporan 6.890 kasus campak dengan jumlah lima kematian. Berdasarkan data Kemenkes RI ada 8.185 kasus campak di Indonesia, dengan 831 kasus kejadian luar biasa atau wabah. Tapi angka kematiannya hanya satu. Apakah data ini menunjukan kondisi penyakit campak di negara Indonesia sudah rendah, sehingga tidak perlu dikhawatirkan?

Memang, itikad baik pemerintah yang ingin tidak adanya kasus campak di Indonesia (eliminasi) harus didukung, bahkan seluruh dunia! Tapi, rencana strategis (Renstra) 2012–2020 yang dibuat oleh WHO mencanangkan eliminasi campak dan rubella di setidaknya lima area WHO, dan Menteri Kesehatan telah menargetkan Indonesia bebas campak di tahun 2020, sejak tahun 2015 lalu harus jelas.

Sekalipun, perencanaan memasukkan vaksin rubella ke dalam program imunisasi nasional sendiri bukanlah hal baru. WHO position paper on rubella vaccines di tahun 2011 merekomendasikan bahwa semua negara yang belum mengintroduksikan (memasukkan) vaksin rubella dan telah menggunakan dua dosis vaksin campak dalam program imunisasi rutin, yang seharusnya memasukkan vaksin rubella dalam program imunisasi rutin.

Kemitraan global pada tahun 2012 telah membentuk The Measles and Rubella Initiative, yang menjadi cikal bakal pemberian vaksin kombinasi MR di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia saat ini. Itu dibahas, dalam pertemuan kesehatan dunia (World Health Assembly).

Negara-negara Asia Tenggara lain bahkan sudah mendahului, seperti Kamboja di tahun 2013, Vietnam di tahun 2014 dan Myanmar di tahun 2015. Di Indonesia, ketika seorang anak mengalami demam yang disertai gejala ruam merah di kulit, maka orangtua menyebutnya sebagai campak, atau “tampak/tampek”.

Di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia, penyakit campak sangat ditakuti. Di AS sendiri, telah mengeliminasi campak sejak tahun 1997, dan negara-negara lain seperti Australia (eliminasi sejak tahun 2005), Kanada (sejak 1998), Inggris dan Wales (tahun 1995 – 2001), dan Korea (tahun 2001 – 2006).

Karena sekarang orang asing banyak lalu lalang di negara Indonesia, virus campak bisa berpindah dari satu orang ke orang lainnya, sehingga negara-negara yang dinyatakan bebas campak ini bisa sewaktu-waktu “mengimpor” virus campak dari warga negara lain. Berdasarkan data, kasus campak di Indonesia yang turun terus, dari 10.712 kasus di tahun 2013, lalu sempat naik menjadi 12.493 kasus di tahun 2014 dan turun ke angka 8.185 kasus pada tahun 2015. Kematian yang dilaporkan pun hanya satu.

Bila merujuk data di atas, Kementerian Kesehatan pun mengakui jumlah kasus itu masih rendah. Berdasarkan, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, cakupan imunisasi campak yaitu 82,1 persen, meskipun laporan dari data rutin imunisasi campak menunjukkan angka 97,8 persen di tahun yang sama, dan turun menjadi 92,3 persen di tahun 2015.

Lalu siapa yang berisko terkena virus ini? Tentu jawabanya setiap orang yang belum pernah divaksinasi Campak atau sudah divaksinasi tapi belum mendapatkan kekebalan, berisiko tinggi tertular Campak dan komplikasinya, termasuk kematian. Rubella adalah penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan. Tetapi yang menjadi perhatian dalam kesehatan masyarakat adalah efek kepada janin (teratogenik) apabila Rubella ini menyerang wanita hamil pada trimester pertama.

Infeksi rubella yang terjadi sebelum terjadinya pembuahan dan selama awal kehamilan dapat menyebabkan keguguran, kematian janin atau sindrom rubella kongenital (Congenital Rubella Syndrome/CRS) pada bayi yang dilahirkan. CRS umumnya bermanifestasi sebagai Penyakit Jantung Bawaan, Katarak Mata, bintik-bintik kemerahan (Purpura), Microcephaly (Kepala Kecil) dan Tuli.

Setiap tahun melalui kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspek campak, dan hasil konfirmasi laboratorium menunjukkan 12–39 persen di antaranya adalah campak pasti (lab confirmed), sedangkan 16–43 persen adalah rubella pasti.

Di Indonesia, rubella merupakah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan upaya pencegahan efektif. Data selama lima tahun terakhir menunjukan 70 persen kasus rubella terjadi pada kelompok usia 15 tahun. Selain itu, berdasarkan studi tentang estimasi beban penyakit CRS di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan terdapat 2.767 kasus CRS, 82/100.000 terjadi pada usia ibu 15-19 tahun dan menurun menjadi 47/100.000 pada usia ibu 40-44 tahun.

Mengapa diperlukan imunisasi massal MR di Indonesia? Penyakit MR tidak dapat diobati. Pengobatan yang diberikan kepada penderita hanya bersifat supportif. Tetapi kedua penyakit ini bisa dicegah dengan imunisasi. Selama ini Indonesia memberikan imunisasi campak sebagai salah satu program imunisasi nasional.

Mengingat besarnya perkiraan beban penyakit ini dan tersedianya vaksin kombinasi MR, maka diputuskan untuk mengganti vaksin Measles dengan vaksin kombinasiMR, yang dimulai dengan kegiatan imunisasi massal MR.

Gambaran imunisasi campak di Indonesia menunjukkan adanya penurunan cakupan imunisasi campak tahun 2014 dan 2015 dan angka insiden penyakit campak cenderung meningkat. Selain itu persentase kabupaten yang mempunyai cakupan campak dosis pertama 95 persen cenderung menurun, dari 45 persen tahun 2013 menjadi 28 persen tahun 2015.

Seiring dengan itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, vaksin MR yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi itu haram. Mengapa demikian? Berdasarkan penelurusan, MUI baru mengesahkan dua vaksin. Vaksin yang disebutkan MUI yakni meningitis ‎Menveo Meningococcal buatan Novartis dan Mevac ACYW135 buatan Tianyuan.

Sedangkan satu sisanya merupakan vaksin diare untuk balita dengan merek Rotarix buatan pabrik obat GSK. Vaksin yang bersertifikasi halal dari MUI baru vaksin meningitis dan flu. Vaksin meningitis ada empat jenis produk, vaksin flu ada dua produk.

Memang, ribut-ribut pro-kontra vaksin sesungguhnya sudah lama menyeruak. Mereka yang kontra beralasan, vaksin mengandung zat gelatin babi, sehingga haram digunakan untuk imunisasi. Sementara mereka yang pro lebih melihat pada manfaat kesehatan dari vaksin.

Komisi Fatwa MUI pun akhirnya menerbitkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi. Fatwa ini diterbitkan pada 23 Januari 2016. MUI mulai menggodok fatwa ini sejak 2013. Ada sejumlah pertimbangan MUI dalam mengeluarkan fatwa ini diantarnya, satu, bahwa ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan, yang dalam praktiknya dapat dilakukan melalui upaya preventif agar tidak terkena penyakit, dan berobat manakala sakit agar diperoleh kesehatan kembali, yaitu dengan imunisasi.

Kedua, bahwa imunisasi sebagai salah satu tindakan medis untuk mencegah terjangkitnya penyakit tertentu, bermanfaat untuk mencegah penyakit berat, kecacatan, dan kematian. Ketiga, bahwa ada penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, baik karena pemahaman keagamaan bahwa praktik imunisasi dianggap mendahului takdir maupun karena vaksin yang digunakan diragukan kehalalannya.

Dalam fatwanya, MUI menyebut imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk usaha untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.

Imunisasi semestinya menggunakan vaksin yang halal dan suci. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram dan tidak dibolehkan, kecuali ada beberapa hal ini:

Pertama, digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat. A-ldlarurat (darurat) ialah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia. Sedangkan al-hajat ialah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.

Kedua, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci. Ketiga, adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal. Fatwa itu juga memutuskan imunisasi wajib hukumnya bila seseorang yang tidak diimunisasi bisa menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya.

Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar).

MUI juga memberikan rekomendasi terkait imunisasi. Ada tujuh rekomendasi dari MUI diantaranya: Pertama, pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.

Kedua, pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Ketiga, pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan sertifikasi produk vaksin.

Kemudian, keempat produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal. Kelima, produsen vaksin wajib menyertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Keenam, pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan sosialisasi pelaksanaan imunisasi. Dan yang ketujuh, orang tua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan, termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi.

Berkaca di kasus yang sama, masih ingat ketika virus flu burung menyerang masyarakat Indonesia pada tahun 2005 lalu dan menewaskan satu keluarga di Tangerang? Ya, keluarga yang meninggal itu disebut terkena virus flu burung. Memang sejarah penyebaran flu burung di muka bumi sebenarnya sudah dimulai sejak lama.

Tercatat pandemi pertama kali terjadi di Spanyol terjadi tahun 1918-1919, ketika itu telah menelan korban sebanyak 40 juta orang dengan jenis virus H1N1. Kemudian yang kedua di Hongkong tahun 1957-1958, sebanyak 1-4 juta orang meninggal dengan jenis virus H2N2. Tahun 1968-1969 di Hongkong juga terjadi pandemi ketiga yang menyebabkan satu juta orang meninggal dengan jenis virus H3N2.

Kasus infeksi virus H5N1 pada manusia yang pertama kali tercatat, terjadi di Hongkong pada tahun 1997, ketika itu virus H5N1 yang menyebabkan penyakit pernafasan sangat berat tersebut menyerang 18 orang, enam di antaranya meninggal. Virus ini kemudian bisa dikendalikan dan kasus infeksi pada manusia lenyap tanpa dapat terdeteksi selama beberapa tahun.

Lama tenggelam, kemudian muncul di kawasan Asia pada tahun 2003 silam. Sejak saat itu, virus tersebut kembali terdeteksi di banyak negara serta menyebabkan penyakit. Bahkan tingginya tingkat kematian pada jutaan unggas. Ketik aitu, lebih dari 140 orang dinyatakan meninggal karena penyakit ini.

Sementara, di Indonesia kasus pertama virus flu burung (Avian Influenza-AI) terjangkit pada manusia ditemukan pada pertengahan tahun 2005. Ketika itu, penentuan diagnosis Indonesia diwajibkan mengirim sampel virus ke WHO Collaborating Center di Hongkong. Hal itu berlangsung hingga Agustus 2006.

Tetapi tanpa sepengetahuan Indonesia, sampel virus tersebut diberikan ke perusahaan pembuat vaksin di negara maju lainnya. Sejak itu pula, Menkes memutuskan untuk memeriksa spesimen flu burung cukup dilakukan dua laboratorium di dalam negeri yakni Laboratorium Badan Litbangkes dan Laboratorium Eijkman. Ini sejalan dengan kemampuan yang dimiliki laboratorium Indonesia untuk memeriksa virus H5N1, yang terbukti selama kurang lebih 1 tahun hasilnya selalu sama dengan laboratorium AI di Hongkong.

Meski begitu, Indonesia tetap membuka akses bagi para peneliti dunia dengan menempatkan data AI pada Gen Bank (public domain). Demi kepentingan umat manusia, pemerintah Indonesia pun menyatakan bahwa data genom pada virus flu burung bisa diakses semua orang, tegas Menkes saat itu. Berbekal dari pengalaman itulah, Menkes Siti Fadilah tergerak hatinya untuk mengubah sistem virus sharing yang sangat merugikan negara berkembang ini, dengan sitem yang lebih transparan, adil dan setara.

Ide Siti Fadilah pun terus diperjuangkan menjadi usulan Indonesia pada Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa Swiss. Diakhir sidang, usulan Indonesia disepakati dan disahkan menjadi Resolusi WHA yang harus dipatuhi semua negara anggota.

Perjuangan itu, kemudian membuat Menkes mewujudkan ke sebuah buku berjudul “Saatnya Dunia Berubah!” Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Dalam bukunya itu diceritakan bagaimana Siti Fadilah mulai tertarik ke dalam lingkaran pergulatan pertukaran virus, sehingga maju menghadapi berbagai intrik dan tantangan yang berkaitan dengan pertukaran virus H5N1.

Alhasil, ketidakadilan mekanisme pertukaran virus yang telah berjalan selama 50 tahun silam itu pun terkuak. Siti Fadilan ketika itu telah menemukan negara-negara yang menyumbangkan virusnya tidak dapat meminta hasil penelitian, dan tidak dapat mengetahui apa yang terjadi dengan virus yang dikirimkannya.

Atas hal itu, Siti Fadilah pun memperjuangkan hak memperoleh perlindungan dari ancaman virus bagi rakyat Indonesia. Siti Fadilah, ketika itu menuntut perombakan sistem kesehatan dunia di bawah WHO. Apalagi, Siti Fadilah menyebut, kemunculan vaksin palsu bagian dari strategi asing dalam menjalankan assymetrical war atau perang asimetris di Indonesia.

Kata-kata Siti Fadilah ketika itu pun benar adanya. Saat ini berduyun-duyun rumah sakit asing telah menyerbu Indonesia, setelah beberapa rumah sakit di Indonedia dituduh menyediakan vaksin palsu.

“Masyarakat dibuat tidak percaya lagi. Sebentar lagi akan ada jargon “makanya belilah vaksin impor”. Inilah kelengahan kita sebagai bangsa, kenapa mendiamkan kapitalisme global dengan mekanime pasar bebasnya dianut dalam politik ekinomi kita secara menyeluruh,” kata Siti Fadilah ketika itu.

Bahkan, ketika itu Siti Fadilah menyuarakan agar berbagai lembaga kesehatan tidak boleh masuk ke mekanisme pasar bebas, karena nyawalah taruhannya. “Menangislah berteriaklah tapi sudah tidak ada gunanya kecuali kita hadapi untuk anak cucu kita kembalilah kita kepada guidance kita pancasila dan “UUD 45 asli” untuk mengatur negara ini. Anda-Anda semua sedang berperang dengan assymetrical war menghancurkan NKRI,” kata Siti Fadilah.

Siti Fadilah pun ketika itu menyebut, menteri yang hanya menurut peraturan-peraturan internasional tanpa melihat kebutuhan rakyatnya sesuai preambule UUD 45 asli hanya akan memposisikan rakyatnya sebagai korban assymetrical war yang sekarang sudah mulai.

“Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi,” tulis The Economist ketika itu.

The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan edisi Maret 2008 lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung. Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.

Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Tetapi, dia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO meminta sampel dikirim ke Hongkong? Fadilah pun ketika itu merasa ada suatu yang aneh.

Yang terlintas dipikirannya itu korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus. Dari bibit virus inilah dibuat vaksin.

Dari situlah, Siti Fadilah menemukan fakta bahwa pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.

Fadilah pun marah besar. Dia merasa kedaulatan, harga diri, hak dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak.

Virus itu pun alhasil menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin. Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS.

Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Ternyata ini berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu ? Untuk vaksin atau senjata kimia ?

Fadilah tak membiarkan situasi ini. Lantas dia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Dia pun terus berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, telah memujinya.

Majalah The Economist ketika itu juga menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, dia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Dia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, tetapi pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

Sejak Siti Fadilah Supari membongkar ketidakadilan WHO dalam kasus flu burung, memang ada banyak kolega yang menemui dirinya, memberikan support. Apalagi, media massa asing, diakui Siti telah menghajar dirinya habis-habisan. Sementara, redaksi masih nunggu hasil dari MUI perihal jumlah vaksin yang telah mendapat sertifikat halal. (Aktual.com) //PUT

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *