by

Arah Baru Pendidikan Indonesia sebagai Sebuah Keniscayaan

Data Kemendikbud pada 2019 menyebutkan bahwa hanya ada 28% sekolah yang bermutu baik. Itu termasuk, SD, SMP, SMA, dan SMK yang akreditasi A & B. Bukan cuma persoalan persentase, nyatanya sekolah-sekolah bermutu baik itupun terkonsentrasi di kawasan perkotaan.

MARGOPOST.COM | JAKARTA – UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas mengamanatkan bahwa sebuah sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan. Hal itu, seperti dituliskan dalam beleid itu, demi menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Lantaran itulah, perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Tak heran jika kemudian, tepatnya sehari sebelum peringkatan kemerdekaan RI, dua tahun silam,  Mendikbud Muhadjir Effendy lantang berkata, “Target kita bukan sekadar pemerataan akses, tetapi akses yang berkualitas.”

Akses yang berkualitas memang menjadi masalah tersendiri bagi pendidikan di negeri ini. Selain rendahnya persentase sekolah bermutu baik, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI juga mencatat bahwa nyatanya sekolah dengan mutu baik itu hanya terdapat di perkotaan.

Bicara infrastruktur, jika dikaitkan dengan hal ini, maka Kemendikbud juga menemukan bahwa kondisi infrastruktur sekolah belum sepenuhnya baik, masih terdapat sekolah yang mengalami rusak berat. Besar kemungkinan, hal-hal itulah yang turut mempengaruhi mutu pendidikan nasional.

Sehingga dari data yang ada diketahui, hasil belajar siswa Indonesia–seperti ditunjukkan oleh hasil PISA, TIMMS, UN, dan AKSI–masih kurang. Bahkan, disebutkan, tidak ada peningkatan mutu pendidikan yang signifikan dalam 10 tahun terakhir.

Data dari kementerian terkait juga tampak bahwa sebanyak 12,2 persen dari sekolah yang ada di tanah air belum memiliki akreditasi. Sebanyak 8.167 SMA/SMK atau setara 29,2% merupakan sekolah kecil dengan jumlah siswa kurang dari 100 orang dan memiliki berkualitas rendah.

Rendahnya kualitas pendidikan, tentunya memiliki korelasi erat dengan kemampuan, keahlian, dan daya saing sumber manusia yang dihasilkan. Sebagaimana diketahui, saat ini ada sebanyak 3.581 sekolah kejuruan negeri tingkat lanjut (SMK) dan ada sebanyak 10.576 SMK swasta.

Dari puluhan ribu SMK swasta itu, yang setara 75 persen dari total SMK yang ada di tanah air, nyatanya 60 persen di antaranya merupakan sekolah kecil dengan jumlah siswa kurang dari 200 orang.

Tidak Sesuai DUDI

Alhasil, Kemendikbud mengindentifikasi pula bahwa sebagian besar sekolah kejuruan itu membuka bidang keahlian yang tidak sesuai kebutuhan pasar kerja. Kesesuaian SMK pada kebutuhan dunia usaha dunia industri (DUDI) masih sangat terbatas. Lantaran, baru sebanyak 10.794 SMK yang bekerja sama dengan DUDI.

Saat ini diketahui, dari total 5.034.496 siswa SMK yang ada di Indonesia, baik negeri ataupun swasta, tercatat sebanyak 1.656.148 di antaranya mengenyam pendidikan di bidang keahlian teknologi dan rekayasa. Berada di urutan kedua, sebanyak 1.255.449 siswa di bidang  bisnis dan manajemen. Urutan ketiga adalah siswa bidang keahlian teknologi informasi dan komunikasi sebanyak 1.135.023.

Selanjutnya, bidang keahlian pariwisata sebanyak 392.395 5 siswa. Disusul bidang kesehatan dan pekerjaan sosial sebanyak 212.971, lalu bidang agribisnis dan agroteknologi sebanyak 215.002. Di urutan ketujuh adalah siswa yang mendalami keahlian di bidang kemaritiman sebanyak 89.814 siswa, lalu bidang seni dan industri kreatif sebanyak 63.795, dan teraknir bidang keahlian energi dan pertambangan sebanyak 13.899 siswa.

Angka Partisipasi Kasar

Tantangan pendidikan nasional memang masih cukup kompleks. Bukan hanya masalah akses pendidikan berkualitas, permasalahan yang lebih mendasar juga nyatanya masih menjadi persoalan. Yakni tentang masih adanya anak usia sekolah yang tidak sekolah. Utamanya, di jenjang pendidikan menengah.

“Ada sekitar 2,8 juta anak usia 16-18 tahun tidak sekolah. Angka itu setara dengan 22,7% dari total anak usia tersebut,” tutur Mendikbud Muhajir Effendy.

Hal itu mengakibatkan, menurut Mendikbud, angka partisipasi kasar (APK) sekolah menengah hanya berada di prosentase 86,9 % dari total jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut.

Ihwal keberpihakan pada masyarakat miskin, catatan Kemendikbud juga menyebutkan banyaknya anak miskin yang bersekolah di sekolah berkualitas rendah dan harus membayar relatif mahal. Ada sebanyak 40% anak usia 16-18 tahun dari kelompok 20 % termiskin yang tidak ada di bangku sekolah.

Pemerataan Pendidikan Berkualitas

Bertolak dari semua persoalan dan tantangan pendidikan nasional tersebut, maka pemerintah menggelar sejumlah strategi untuk meminimlisir dan memutus rantai persoalan tersebut. Di antaranya dengan melakukan percepatan wajib belajar 12 tahun dan memberikan pembelajaran keterampilan abad 21. Tidak hanya itu, pemerintah juga melakukan upaya peningkatan profesionalitas, kualitas, pengelolaan, dan penempatan guru, serta pemenuhan sarana prasarana pendidikan yang berkualitas.

Demi menghasilkan lulusan-lulusan dunia yang berdaya saing dan dibutuhkan untuk dunia kerja, pemerintah juga melakukan perubahan paradigma. Dari semula menghasilkan lulusan didik, menjadikan lulusan didik yang dibutuhkan dunia kerja.

Untuk itu diyakini perlunya melakukan penyesuaian sejumlah aspek pendidikan dengan globalisasi, yakni aspek manajemen, guru dan tenaga pendidikan, infrastruktur, kurikulum dan model penyampaian, serta penilaian sertifikasi.

Selain perubahan paradigma, dipandang perlu juga adanya penyelarasan kurikulum. Selanjutnya, pembekalan kecakapan abad 21 baik itu terkait literasi, karakter, maupun kompetensi. Dan yang terakhir adalah membudayakan kreativitas. Dalam hal ini, diharapkan ke depan SDM Indonesia mampu membayangkan dan menyusun inovasi dalam memetakan permasalahan dan jawaban atau mengekspresikan pengetahuan.

Seiring itu, dalam kurun waktu 2014-2018 pemerintah telah mendirikan 4.299 sekolah baru. Kemudian, pemerintah juga memberlakukan program Indonesia Pintar yang berupa pemberian bantuan yang tunai kepada siswa dari keluarga miskin demi memberikan kesempatan belajar yang sama. Jika pada 2014 dana yang dikucurkan melalui program ini mencapai 4.322.559.975.000 maka pada Desember 2018 penyaluran dana PIP telah mencapai 42.837.024.725.000.

Pemerintah juga melakukan pemenuhan kebutuhan guru dan melakukan rekrutmen guru, baik PNS maupun PPPK.

Terkait SMK, dilakukan revitalisasi lewat penyelarasan kejuruan yang link and match dengan dunia industri, melalui penyiapan kurikulum, implementasi SMK, serta optimalisasi kerja sama dengan DUDI atas 2.700 SMK. Dampaknya, sejak 2016 hingga 2018 terjadi peningkatan jumlah lulusan SMK yang bekerja (dari 12,37 juta menjadi 14,54 juta siswa) dan terjadi pula penutunan tingkat pengangguran terbuka lulusan SMK (9,84 persen menjadi 8,92 persen)./hdr.-

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *